GANTI REZIM GANTI SISTEM BANGUN PARTAI KELAS PEKERJA BANGUN SOSIALISME

Sabtu, 28 Agustus 2010

GLOBALISASI

‘GLOBALISASI’, NEO-LIBERALISME  DAN DORONGAN DORONGAN KEMUNDURAN EKONOMI KAPITALIS

Oleh : Doug Lorimer

Hal yang digembar-gemborkan para ekonom, sosiolog, para guru manajemen, wartawan dan politisi borjuis semua tipe bahwa kita saat ini hidup dalam era sejarah baru dimana ekonomi nasional, budaya nasional dan batas-batas  kenegaraan  sudah kehilangan makna dan luntur oleh sebuah proses “globalisasi” yang cepat dan baru.

Sentral diskursus mutakhir ini adalah  klaim bahwa sebuah “ekonomi yang benar-benar global” telah muncul atau sedang muncul dimana keyakinan kebijakan ekonomi dan negara dengan demikian tidak relevan. Ekonomi dunia sekarang didominasi oleh korporasi-korporasi  yang telah meng-internasionalisasikan  aktivitas mereka untuk semacam perluasan, bahwa pembawa produksi dan penjualan ke begitu banyak negara, bahwa mereka tak punya kesetiaan  terhadap suatu negara-bangsa khusus dan akan menempatkan investasi dan operasi mereka dimanapun dalam pasar “global” dimana mereka mendapat penghasilan tertinggi. Modal besar sekarang begitu tanpa kaki dan mobil sehingga usaha apapun  oleh pemerintah-pemerintah  nasional atau gerakan buruh di suatu negara khusus  untuk menerapkan kebijakan-kenijakan  atasnya sehingga peningkatan biaya akan terdorong untuk dihapus dari negara tersebut dan merelokasi operasi-operasinya di tempat lain, yang mana biayainya lebih murah. 

Dalam gerakan buruh argumen-argumen tersebut juga menjadi laku, melahirkan pejabat-pejabat serikat buruh dengan merasionalkan pentingnya kaum buruh menerima potongan gaji, kondisi kerja dan tunjangan-tunjangan sosial dalam rangka mendapat kerja. Konsep globalisasi juga telah memenangkan  persetujuan diantara  mantan penganut kiri radikal yang beralasan bahwa modal besar sekarang begitu mobil dan kuat, dan negara-negara nasional begitu lemah jika dibandingkannya, sehingga tidak penting bagi kelas pekerja untuk merebut kekusaan negara.

Teranglah, jika pikiran para globalis benar lalu para Marxis revolusioner  melalui dunia akan terkonfrotir dengan kebutuhan mengkaji ulang secara radikal kensepsi strategik mereka. Tapi mereka?

Korporasi Transnasional

Menurut  Laporan Investsai Dunia 1993 yang diterbitkan Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) ada 37.000 korporasi transnasional, yang mana memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. 90% dari korporasi-korporasi transnasional tersebut kantor-kantor pusat di negara-negara maju.

Dengan menggabungkan data dari berbagai sumber, seorang akademisi Ingris Paul Hirst dan Graham Thompson, dalam buku mereka yang baru saja terbit Globalization in Question, mencatat  penjualan dan aset korporasi-korporasi transnasional yang maha besar jumlahnya  itu terkosentrasi di negara atau regional “rumah” mereka, “disamping semua spekulasi mengenai globalisasi”.

Bagi korporasi-korporasi transnasional sektor manufaktur dengan kantor pusat mereka yang ada di Amerika Serikat pada tahun 1987, 70% dari penjualan mereka dan 67% dari aset mereka ada di Amerika Serikat sendiri. Sebagian besar dari sisa penjualan dan aset mereka pada tahun 1987 ada di Eropa dan Kanada. Bagi korporasi-korporasi transnasional yang berpusat di Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang jasa, 93% penjualan dan 81% aset mereka ada di Amerika Serikat pada tahun 1987.
Bagi korporasi-korporasi transnasional yang berpusat di Eropa Barat, terjadi distribusi penjualan dan aset mereka secara lebih luas, tetapi antara 70-90% diantaranya ada di negara “induk” dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Bari korporasi-korporasi transnasional yang bergerak dalam bidang manufaktur yang berpusat di Jepang, 75% dari penjualan mereka pada tahun 1993 ada di Jepang, begitu juga 97% aset mereka.

Antara tahun 1987 dan 1993, terjadi perkembangan konsentrasi oleh para korporasi transnasional terhadap aset mereka di negara “induk” masing-masing, ketimbang trend ke arah “globalisasi”. Dus, korporasi-korporasi trnasnasional yang berpusat di Inggris yang bergerak dalam bidang manufaktur memiliki 52% dari aset mereka ada di Ingris pada tahun 1987, tetapi 62% dari aset mereka berada di Ingris pada tahun 1993. Kroporasi-korporasi transnasional yang berpusat di Jepang yang bergerak dalam bidang manufaktur meningkatkan  penempatan  aset mereka di Jepang dari 64% pada tahun 1987 menjadi 75% pada tahun 1993, sementara korporasi-korporasia transnasioal yang berpusat di Jepang yang bergerak dalam bidang jasa menempatkan  asset mereka di Jepang meningkat dari 77% pada tahun 1987 menjadi 92% pada tahun 1993. Korporasi-korporasi yang berpusat di Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang manufaktur mengalami peningkatan  penempatan aset mereka di Amerika Serikat dari 67% pada tahun 1987 menjadi 73% di tahun 1993.

Dari statistik di atas kita dapat melihat bahwa, jauh dari apa yang disebut sebagai penyebaran aset dan penjualan mereka sekalipun menyeberangi bola bumi, justru korporasi-korporasi transnasional telah memusatkan baik produksi dan penjualan komoditi mereka di negara-negara “induk”. Dan dimana mereka telah meng-internasionalisasikan operasi-operasi mereka ini telah terkosentransi di negara-negara kapitalis maju lainnya. Ini mencerminkan adanya distribusi yang sangat tidak merata (uneven)  dalam hal investasi langsung dan perdagangan dalam skala global.


Distribusi Investasi dan Perdagangan Global

Pada tahun 1992 total stok investasi langsung luar negeri seluruh dunia adalah sebanyak US$2 Trilyun. Korporasi-korporasi transnasional mengontrol stok ini membuahkan penjualan sebesar US$5.5 Trilyun di seluruh dunia. Peringkat 100 besar korporasi transnasional memiliki sepertiga dari stok ini. 60% dari investasi langsung luar negeri oleh korporasi-korporasi transnasional adalah berhubungan dengan sektor manufaktir, 37% jasa dan hanya 3% dengan output produk-produk primer, seperti bahan mentah dari tambang dan pertanian.

Distribusi stok investasi langsung luar negeri secara geografis sungguh-sungguh tidak merata. 75% diantaranya berlokasi di negara-negara kapitalis maju, secara prinsip di Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang, yang tertacat hanya 14% dari populasi penduduk dunia. Sisannya, 25% dari investasi langsung luar negeri, 66%nya ditempatkan di 10 negara “sedang berkembang” yang utama --Argentina, Brazil, China, Hong Kong, Malaysia, Mexico, Korea Selatan, Taiwan, Thailand dam Singapura. Negara-negara ini tercatat merupakan populasi 29% dari penduduk dunia. Namun, dengan termasuknya China didalamnya, dengan populasinya yang 1,2 Milyar orang, statistik ini menggambarkan underestimasi mengenai ketidakmerataan yang riil dalam hal distribusi investasi langsung luar negeri secara global. Investasi luar negeri langsung mengalir ke China sangat terkosentrasi di propinsi-propinsi pesisir, plus Beijing.  Jika ini dimasukkan sebagai faktor, nampak bahwa 91,5% dari stok investasi asing langsung global terkosentrasi di wilayah-wilayah bumi ini yang hanya dihuni oleh 28% penduduk.

Selain itu ada juga ketidakmerataan secara geografis dalam hal arus investasi luar negeri secara langsung. 60% dari investasi internasional mengalir di antara  “Trio”  imperialis Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang. Dari sisanya 40% dari aliran investasi langsung luar negeri --sekitar US$34 Milyard di tahun 1990-1993-- 56% nya pergi ke Asia Timur dan 32% nya ke Amerika Latin.  Bukan hanya negara-negara imperialis Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang yang merupakan organisator dan tujuan utama investasi langsung luar negeri, pola aliran investasi langsung luar negeri nagara-negara non-Triad   juga memperlihatkan pol yang amat terkosentrasi. Dus, begitu besar investasi langsung luar negeri negara-negara non-Triad dari Jepang, Asia timur adalah tujuan utama. Bagi investasi langsung luar negeri Eropa Barat untuk negara-negara non-Triad, tujuan utamany adalah Eropa Timur, Brazil, Afrika Utara dan Barat.

Kosentrasi secara geografis dalam hal akumulasi stok dan aliran investasi langsung luar negeri dapat diparalelkan dengan ketidakmerataan  secara geografis dari pola perdagangan global. Pada tahun 1992, total ekspor seluruh dunia adalah US$3.7 Trilyun. 69% dari ekspor seluruh dunia pergi ke anggota negara-negara Triad  imperialis dan selanjutnya 14% daris eleuruh ekspor dunia menuju ke 10 besar Negera Dunia Ketiga terpenting dalam term aliran investasi langsung luar negeri. Berarti, 84% dari perdagangan seluruh dunia adalah hanya diantara wilayah-wilayah bumi yang hanya dihuni oleh 28% penduduk.


Marginalisasi Negara-negara Terbelakang

Dalam kata lain, sebagian besar mayoritas negara-negara di dunia, yang dihuni oleh hampir tiga per empat penduduk dunia --sekitar 3,8 Milyar orang-- tidak hanya tertulis dalam peta seperti halnya yang menjadi  konsern perdagan dunia, mereka secara lengkap termarjinalisasi sebagaimana halnya yang dikonsernkan perdagangan dunia. Jalan utama dimana mereka “terintegrasi” ke dalam ekonomi kapitalis global adalah melalui laporan pembayaran sebesar US$40 Milyar yang mereka buat dalam pembayaran dan servis hutang bagi bank-bank dan pemerintahan anggota Triad imperialis.

Tetapi sementara  servis hutang mereka memberikan tanggungjawab besar bagi pembangunan ekonomi dan sosial mereka, sekalipun hutang ini hanyalah merupakan bagian marjinal dari hutang seluruh dunia. Pada tahun 1990, jumlah keseluruhan dari hutang yang dimiliki pemerintah-pemerintah lokal dan pusat, bisnis rumah tangga dan non-finansial di seluruh Amerika Serikat  sendiri adalah sebesar US$10,6 Trilyun --hampir 10 kali total hutang negara-negara Dunia Ketiga.

Dus, bagi mayoritas penduduk bumi ini, tempat mereka dalam pasar “global”  mirip propinsi-propinsi terbelakang imperium Romawi pada masa epos kemunduran dan kehancuran corak produksi (mode of production) perbudakan --dirampok dan dimiskinkan untuk memperkaya orang-orang yang berkuasa dan kaya yang tinggal di pusat imperium.

Contoh di atas menggambarkan distribusi investasi langsung luar negeri, perdagangan, aset dan penjualan dari perusahaan-perusahaan transnasional memperagakan bahwa, bagi segala intens dan tujuan, adalah negara-negara imperialis yang menyatakan keanggotaan ekonomi “global”, jika entitas semacam itu dapat benar-benar dinyatakan  untuk eksis.

Ekonomi kapitalis dunia terstruktur meliputi tiga blok persaingan perdagangan dan investasi yang terpusat di negara-bangsa imperialis, yaitu Eropa Barat, Amerika Utara dan Jepang. Kekuasaan mayoritas korporasi-korporasi transnasional masih hanya beroperasi di sejumlah kecil negara --secara prinsip di negara-negara “induk” mereka dan di negara-negara “berupah tinggi” lain diantara Triad imperialis.

Bertentangan pernyataan sekalipun yang dibuat  oleh dalil-dalil dalam thesis globalisasi, korporasi-korporasi transnasional tidak mengatur investasi mereka ke wilayah-wilayah bumi dimana upah buruh paling murah. Tidak ada dorongan besar korporasi-korporasi transnasional yang berbasis di Jerman, dimana rata-rata tingkat upahnya sebesar $25 per jam, ke cabang-cabang industri di India yang tak ada serikat buruhnya, dimana tingkat upah rata-ratanya hanya 40 Sen per jam. Faktanya, komponen manufaktur investasi langsung luar negeri dari korporasi-korporasi transnasional secara meningkat diarahkan ke cabang-cabang industri dengan tingkat pembelanjaan modal tetap tinggi, dengan tenaga kerja yang lebih sedikit tapi lebih terlatih (sklilled), dan dengan demikian tingkat upahnya relatif  lebih tinggi (semisal industri kimia, otomotif dan elektronik) dan menjauh dari cabang-cabang industri yang ber-skill rendah, upah-murah dan padat karya semacam tektil, pakain dan sepatu.


‘Divergensi’, bukan ‘konvergensi’

Dalam Laporan Pembangunan Dunia 1995, Bank Dunia memperingatkan “ adalah bodoh jika memprediksikan bahwa perbedaan antara negara-negara kaya dan miskin akan secara cepat melalui konvergensi, ataupun meningkatkan  (upward) ( standar upah dan kondisi hidup negara-negar miskin menjadi sama dengan yang di negara-negara maju) atau menurun (sebaliknya)”.

“Convergensi”, begitu ditulis dalam laporan tersebut, “ adalah sebuah catatan yang ditujukan kepada para ekonom, yang mendogma pada teori [maksudnya, teori mengenai persaingan sempurna dalam wilayah  tingkat-permainan  dimana semua pemilik komoditas seimbang --DL], dan mengerikan bagi para populis di negara-negara kaya, yang melihatnya sebagai ancaman bagi pendapatan mereka. Pengalaman yang lalu, bagaimanapun, dukungan ataupun harapan terhadap yang terdahulu atau ketakutan terhadap yang berikutnya...Diatas  segalanya, divergensi, bukan konvegensi, telah menjadi hukum...”.

Lebih jauh : rata-rata pendapatan per kapita negara-negara kaya adalah 11 kali pendapatan per kapita negera-negara miskin pada tahun 1870, meningkat menjadi 38 kali pada tahun 1965, dan 58 kali pada tahun 1985.

Diantara sekitar jumlah tenaga kerja global sebesar 2,5 Milyar orang, 59% sekarang berada di tempat yang oleh Bank Dunia  golongkan sebagai “negara-negara dengan upah murah”, 27% di “negera-negera dengan upah menengah” dan hanya 15% yang tinggal di “negara-negara dengan upah mahal”. Itu adalah proyeksi 30 tahun lalu, hanya 10% dari tenaga kerja global yang akan tinggal di “negara-negara dengan upah mahal”. Disamping itu, laporan Bank Dunia tersebut menjatuhkan ide bahwa sebuah “pasar bebas” global yang “terintegrasi’ pasti akan menghasilkan konvergensi bagi para buruh seluruh dunia. Berikut adalah contoh tipikal dari laporan tersebut:

Cerita-cerita mengenai hilangnya integrasi sering menjadi headline: bagaimana Joe kehilangan pekerjaan karena persaingan dengan orang-orang miskin Mexico seperti Maria, dan bagaiaman upah dia (Maria) menurun karena adanya ekspor murah dari China. Tetapi Joe sekarang mempunyai pekerjaan yang lebih bagus, dan ekonomi Amerika Serikat telah mendapat untung dengan adanya ekspor yang meluas k eMexico. Standar kehidupan Maria telah meningkat, dan anaknya dapat mengharapkan masa depan yang lebih baik. Produktifitas dua pihak buruh tersebut meningkat dengan adanya peningkatan investasi, bagian yang terdanai dengan meningkatkan tabungan buruh di negara lain, dan dana pensiun Joe akan dibayar lebih tinggi melalui kesempatan diversifikasi dan investasi baru.

Laporan  yang sama, ternyata, secara faktual dinyatakan: “Ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan, antara kelompok-kelompok etnik, dan antara wilayah geografis secara khusus bersifat kekerabatan...Wilayah  miskin, semacam negara bagian Chiapas di Mexico, selalu tetap miskin secara relatif sekalipun ekonomi seluruh dunia meningkat”!

Cerita singkat Bank Dunia mengenai Joe dan Maria, tentu, tidak menceritakan kepada kita menganai sesuatu hal yang realistis terhadap kehidupan umumnya seorang “Joe” di Amerika Serikat ataupun kehidupan  umumnya seorang “Maria” di Mexico. Ini memang sengaja dirancang untuk mengaburkan fakta bahwa daya beli dari upah buruh-buruh non-supervisory di AS telah jatuh sejak tahun 1973 sampai pada level tahun 1950an, dan rata-rata upah riil di Mexico jatuh hampir 50% selama tahun 1980-an dan standar hidup mayoritas rakyat Mexico sekarang lebih rendah dibanding sebelum Perang Dunia II dulu.


Internasionalisasi Modal

Tak diragukan lagi, ada tendensi yang kuat ke arah internasionalisasi modal pada beberapa dekade terakhir ini.   Munculnya korporasi transnasional akhir-akhir ini sebagai bentuk dominan organisasi modal besar dibawah kapitalisme monopolis terbaru adalah merupakan buktinya. Tetapi untuk memahami dinamika riil dari tendensi ini adalah penting sekali untuk tidak mengacaukan antara internasionalisasi produksi dan penjualan komoditi  (misalnya, internasionalisasi produksi dan realisasi nilai lebih (surplus value)) dengan internasionalisasi kekuasaan mengendalikan modal (misalnya, sentralisasi secara internasional terhadap modal).

Internasionalisasi realisasi nilai lebih, misalnya internasionalisasi penjualan komoditas adalah sebuah tendensi yang sifatnya inheren dalam kapitalisme, tetapi ia telah berkembang sangat berbeda dalam sejarah corak produksi ini. Dengan perkataan yang lebih luas, internasionalisasi meningkat dari sejak awal abad 19 sampai permulaan Perang Dunia I (waktu itu, ekspor meningkat dari dari 3% dari out put seluruh dunia pada tahun 1800 menjadi 16% pada tahun 1913). Ini jatuh lagi selama gelombang depresi panjang yang menyebabkan tahun-tahun dua Perang Dunia dari 1913 sampai 1939. Ini mulai mendaki lagi pada periode setelah Perang Dunia II --tetapi hanya mencapai 15% dari output dunia pada tahun 1990. Hal yang mirip, stok investasi langsung dunia yang terakumulasi, pada tahun 1913, ekuivalen dengan 12% out put seluruh dunia, tetapi pengalaman dari kemunduran di masa tahun-tahun  antar dua Perang Dunia; tahun 1990, masih tetap tidak lebih dari 10%.

Sebelum Perang Dunia II, hanya ada internasionalisasi yang sifatnya marginal dalam hal produksi nilai lebih, diluar bahan mentah utama. Berarti, sangat sedikit perusahaan besar yang membelanjakan modal konstan dan variabel nya diluar negara-negara “induk” mereka. Ini mulai berubah setelah Perang Dunia II, karena perusahaan-perusahaan besar berbasis di negara-negara kapitalis maju --terutama, perusahaan yang berbasis di AS-- mulai menginvestasikan dalam bidang manufaktur luar di negeri, atau dengan cara mendirikan perusahaan-perusahaan yang dimiliki anak cabang mereka di negara asing atau melalui cara membeli perushaan-perusahaan manufaktur asing. Sejak tahun 1960-an, ini telah mulai menjadi fenomena umum bagi pemodal  besar di seluruh negara-negara kapitalis maju, yang mana untuk pertama kalinya secara aktual mencetak semua frame-work internasional dengan cepat bagi persaingan modal.

Namun demikian, pembelanjaan  internasionalisasi modal adalah tidak perlu kongruen dengan internasionalisasi kepemilikan modal, yakni fusi modal-modal dari berbagai bangsa menjadi korporasi-korporasi multinasional yang bersifat genuin, misalnya, perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh kapitalis dari berbagai bangsa dimana kewenangan mengatur modal korporasi tersebut tidak berada dalam tangan kapitalis  satu bangsa tertentu. Diluar Eropa Barat, ada sedikit bukti bahwa fusi modal internasional semacam itu sudah atau sedang mulai.


Kekuasaan Negara dan Persaingan Antar-Imperialis

Jika benar-benar ada proses fusi modal besar secara internasional kita akan dapat melihat sautu dalil menurunnya persaingan antar-imperialis, yakni, perbedaan kepentingan ekonomi diantara pemilik-pemilik modal dari berbagai bangsa akan cenderung menghilang dan ini akan mencerminkan  menurunkan penggunaan kekuasaan negara-negara imperialis untuk mempertahankan dan memperluas kepentingan kelompok-kelompok kapitalis nasional (AS, Eropa dan Jepang) melawan satu sama lainnya. Sekalipun dalam kasus semacam ini,tentunya, kekuasaan negara imperialis akan tidak  saja sekedar “melenyap”.

Semua itu akan melenyap adalah peranannya sebagai instrumen persaingan antar-imperialis. Peranan negara adalah sebagai pusat pertahanan kepentingan bersama dari para pemilik modal imperialis dalam perjuangan kelas antara modal dan tenaga kerja akan lantang dibandingkan sebelumnya.

Lagi, tak ada bukti perihal adanya kemunduran peranan negara-bangsa imperialis sebagai senjata persaingan antar-imperialis. Sebaliknya, semenjak akhir perang dingin  telah terjadi intensifikasi penggunaan kekuasaan negara imperialis, khususnya oleh para kapitalis AS, untuk meningkatkan kepentingan ekonominya melawan rival dari Jepang dan Eropa Barat. Contoh yang paling besar adalah konflik dalam hal perjanjian Helms-Burton  dalam  Kongres AS. Perjanjian tersebut mengijinkan mantan pemilik perusahaan yang diambil alih oleh negara buruh Kuba untuk memboikot perdagangan luar negeri dengan Kuba sebagai kompensasinya. Ini tidak hanya mendorong gelombang protes dari pemerintah-pemerintahan imperialis lain, yang telah menolak menyetujui sanksi hukum terhadap cabang-cabang perusahaan AS di negara-negara masing-masing.

Undang-undang Helms-Burton tidak sekedar membantu dalam hal mengetatkan blokade ekonomi AS terhadap negara sosialis Kuba. Ini dirancang oleh para lawyer dari perusahaan penyulingan alkohol Bacardi, yang terkenal dengan rum putihnya (non-Kuba). Sasaran utama Bacardi adalah perusahaan Pernod-Richard dari Perancis, yang telah melakukan negosiasi yang menghasilkan deal-deal besar bagi Kuba untuk menyediakan sulingan rum bagi operasi pasar seluruh dunia perusahaannya.

Persaingan ekonomi terbuka antara korporasi-korporasi transnasional AS dan Eropa Barat juga berakar pada perjanjian D’Amato-Kenedy  yang menyetujui  sanksi pengadilan AS  terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan investasi dan perdagangan untuk bidang minyak dengan Iran dan Libya. Perusahaan-perusahaan  ini termasuk Total dari Perancis, konglomerat minyak dan gas Italia Agip, Petrofina dari  Belgia dan Verba dari Jerman. Perusahaan lain yang jadi sasaran adalah ENI, perusahaan negara Italia yang bergerak dalam bidang energi, yang telah menginvestasikan sebanyak US$6 Milyar dalam pembangunan pipa gas Libya. Dalam menanggapi isi perjanjian D’Amato-Kennedy oleh Kongres AS, Komisi Eropa menerapkan sebuah “black list” perusahaan-perusahaan AS untuk dijadikan sasaran untuk sanksi balasan oleh pengadilan-pengadilan di Eropa.

Konflik dan rivalitas antara imperialis AS dan Perancis secara terbuka termanivestasikan selama kejadian baru-baru ini di Zaire. Selama Perang Dingin, Washinton, yang mana menjumpai sumberdayanya macet di tempat lain, tunduk pada kelanjutan militerisme  Perancis, dominasi diplomasi dan ekonomi pada bekas koloninya di Afrika. Tetapi, dengan berakhirnya Perang Dingin, Washinton tidak mau lagi membiarkan modal Perancis mempunyai akses istimewa  negara-negara yang kaya tambang  di kawasan Afrika Francofon seperti Zaire. Sejak jatuhnya rejim  suku Hutu yang di-baking Perancis tahun 1994, Washinton telah meningkatkan kebencian rejim baru terhadap Perancis untuk memperkokoh pengaruh diplomatiknya di Afrika tengah dan timur. Washinton secara terbuka menentang  usaha-usaha Perancis untuk bersama-sama menempatkan kekuatan militer untuk intervensi di Zaire timur guna memproteksi orang-orang Zaire dan kerabatnya dari suku Hutu Rwanda dari serangan pemberontak Zaire. Dalam rangan menentang rencana Perancis tersebut, juru bicara kementerian luar negeri AS Nicholas Burns menyatakan: “ Beberapa orang di Paris nampak hidup dibawah angan-angan  bahwa bagian tertentu dari Afrika dapat dipesan atau didominasi oleh kekuatan kolonial tertentu ...Itu adalah pernyataan yang mundur jauh ke belakang. Waktunya telah lewat saat...kekuatan asing dapat melihat keseluruhan kelompok di negara-negara lain sebagai dominasi pribadi mereka.”

Ketika datang persaingan antar-imperialis  untuk akses terhadap pasar dan peluang investasi sama sekali tidak ada garis pemisah antara penggunaan kekuatan hukum, diplomatik  dan militer. Dus, pemerintah AS menggunakan baik kekuatan diplomatik maupun kekuatan militernya pada bulan September 1996 untuk membendung rencana PBB “food for oil”  untuk Irak yang merupakan inisiatif Perancis. Dibawah rencana itu, Irak diijinkan menjual sampai $2 Milayar  dari minyaknya setiap 6 bulan dalam rangka untuk membeli makanan dan obat-obatan. Banque Nationale de Paris yang akan menangani rekeningnya dimana hasil penjualan minyak Irak didepositokan. Washinton telah memblokade persetujuan rencana ini dengan Dewan Keamanan PBB selama lebih dari satu tahun. Pada bulan Mei rencana ini terpaksa disetujui. Namun, hanya menjelang rencana ini dilaksanakan, Washinton menggunakan peningkatan intervensi Bagdad dalam konflik rivalitas partai-partai borjuis Kurdi di Irak utara untuk memproklamirkan bahwa Bagdad melanggar traktat antara Kuwait dan Saudi Arabia. Clinton memerintahkan serangkaian serangan Amerika dengan sasaran Irak Utara dan secara sepihak menyatakan bahwa rencana “food for oil” PBB ditunda.

Pada bulan Desember 1996, pemerintah AS membiarkan  rencana  PBB tersebut dilaksanakan, tetapi dengan satu perubahan yang tidak signifikan --sekarang hasil penjualan minyak Irak tidak  alan lagi didepositokan di sebuah bank di Paris, tetapi gantinya akan didepositokan di sebuah bank di New York !

Selama perang dingin, para kapitalis AS menggunakan kekuasaan negara mereka, khususnya aparatus militer mereka yang massif, untuk membela kepentingan pemilik modal imperialis melawan ancaman pengelolaan secara kolektif oleh kekuatan  negara non-imperialis, khususnya negar buruh. Dengan  kurangnya secara besar ancaman tersebut, para kapitalis AS telah mulai menggunakan kekuasaan militer yang maha besar itu untuk meningkatkan kepentingan ekonomi mereka sendiri melawan saingan imperialis lainnya.

“Tata Dunia Baru” muncul setelah kolapsnya blok Sovyet sehingga akan mendorong untuk semakin menampakkan kekuasaan imperialisme pada jaman Lenin, walaupun dengan beberapa modifikasi yang penting. Yang utama adalah  kepemilikan senjata nuklir oleh kekuatan-kekuatan imperialis utama atau, dalam kasus Jerman dan Jepang, basis tehnologi  untuk secara cepat mereka  menguntungkan  mereka, membuat perang global antar-imperialis  sangat tak mungkin. Tidak begitu, tentu, tidak termasuk perang antar-imperialis yang dilokalisir yang dilawan oleh penguasa-penguasa non-imperialis.

Mereka yang beranggapan bahwa korporasi-korporasi transnasional telah menjadi  kekuasaan kolosal lintas kekuasaan negara-bangsa borjuis, atau bahwa mereka telah menjadi t pertanyaan yang tak berbeda  mengenai kekuasaan negara, membuat dua kesalahan yang fundamental.
Pertama, mereka gagal untuk memahami bahwa persaingan antar korporasi-korporasi transnasional meningkat  meningkatkan pula kebutuhan korporasi-korporasi tersebut akan adanya kekuasaan negara yang tangguh untuk mempertahankan kepentingan mereka dari pesaingnya. Dalam konteks ini, segala perusahaan “satu bangsa” akan menjadi semakin terancam oleh korporasi-korporasi yang memiliki dukungan aparatus negara nasional yang tangguh.

Kedua, kegagalan dalam membedakan antara negara borjuis semi-kolonial yang lemah dan negara-bangsa imperialis. Kekuasaan ekonomi yang kolosal yang dimliki oleh korporasi-korporasi transnasional terhadap negara borjuis semi-kolonial secara fakta berakar pada dukungan yang mereka terima kekuasaan negara imperialis atas basis “induk” mereka dalam area yang krusial semacam itu sebagai reset  dan pengembangan yang disubsidi negara, infrastruktur ekonomi, subsidi ekspor, dan lain-lain.


Organisasi-organisasi Internasional

Tetapi apakah  kedaulatan resmi pemerintah meningkat terhadap organisasi-organisasi internasional yang bertindak demi kepentingan korporasi-korporasi transnasional seperti IMF, Bank Dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia ? Lagi-lagi kita perlu membedakan antara negara-negara semi-kolonial dan negara-bangsa  imperialis. Pemerintah negara-negara imperialis tidak lain adalah merupakan sebuah komite eksekutif untuk memanage kepentingan bersama para kapitalis nasional mereka, fraksi dominan yang mana terorganisir dalam korporasi-korporasi transnasional. Dan adalah pemerintah negara-negara imperialis yang mengontrol IMF, Bank Dunia dan WTO, selayaknya mereka mereka mengontrol Dewan Keamanan PBB> Di dalam IMF, misalnya, suara berdasarkan saham sumber keuangan yang dikontribusikan. Pada tahun 1990, ke 23 negara-negara imperialis memiliki 62,7% suara sebagai tandingan 35,2% suara yang dimiliki 123 anggota lainnya. Lima Dewan Eksekutif permanen IMF adalah dicalonkan oleh lima besar pemilik saham --AS, Inggris, Perancis, Jerman dan Jepang.

Fungsi pokok IMF, Bank Dunia dan WTO adalah untuk menyetir  negara-negara yang ada dalam hal kebijakan ekonomi yang disetuji diantara mayoritas negara-negara imperialis. Kebijakan tersebut diputuskan dalam  pertemuan  tahunan pemerintah 7 negara imperialis utama  --G7. Dalam  pertemuan tahun 1976 mereka, misalnya, pemimpin-pemimpin negara G7 menyetujui rencana reorganisasi ekonomi negara-negara  Dunia Ketiga melalui : pembukaan pasar dunia (dalam hal ini, untuk mengimpor dari negara-negara imperialis), memprioritaskan impor daripada pasar dalam negeri, privatisasi BUMN-BUMN serta pemfungsian dan pembukaan bagi invesatsi asing (dalam hal ini : imperialis), dan pemotongan pos-pos anggaran “tidak produktif” seperti pendidikan dan kesehatan. Pada tahun 1976 ini merupakan kebijakan yang dipaksakan bagi para debitur negara Dunia Ketiga oleh IMF dan Bank Dunia.

Tujuan dari kebijakan ini adalah memutar balik katrol guna mendapatkan  konsesi politik dan ekonomi dari negara-negara imperialis dan korporasi-korporasi transnasional yang mana dekolonisasi dan kemerdekaan politik fornal yang diberikan kepada borjuasi di negara-negara tersebut. Dus, penerapan beberapa resep pro-export bagi semua debitur nagara-negara Dunia Ketiga berarti adalah intensifikasi persaingan diantara mereka, dengan efek yang menghancurkan harga komoditi ekspor mereka, yang terdiri dari sebagian besar bahan mentah. Menjelang tahun 1989, harga rata-rata produk-produk ini, diluar minyak, adalah dibawah 33% harganya di tahun 1980.

Penaklukan lagi pasar dalam negeri negara-negara semi-kolonial adalah juga merupakan tujuan mendasar dibalik tekanan kekuatan negara-negara imperialis terhadap  asosiasi-asosiasi “pasar bebas”  seperti NAFTA dan APEC. Penghapusan tarif impor oleh seluruh anggota asosiasi-asosiasi ini menghapus satu-satunya bentuk proteksi yang tersisa oleh negara-negara semi-kolonial terhadap penetrasi pasar dalam negeri mereka oleh kekuatan-kekuatan imperialis. Tetapi negara-negar a imperialis  dapat membatasi penetrasi terhadap pasar dalam negeri mereka terhadap ekspor dari negara-negara semi-kolonial melalui menerapkan serangkaian hambatan-hambatan non-tarif yang kokoh.


Mobilitas Global Modal-uang

Barangkali argumen utama dalam mendukung thesis globalisasi adalah banyaknya berbagai modal uang yang dimasukkan dalam transaksi stok internasional, bon dan mata uang. Tehnologi komunikasi elektonik berarti bahwa begitu besar jumlah modal uang dapat ditransfer ke seluruh dunia dengan sekejap. Pergeseran terkominasi pada sebagian besar pasara modal dalam satru hari adalah equivalen dengan pergeseran dalam perdagangan internasional dalam satu tahun. Kesamaannya adalah kebenaran transaaksi dalam pasar uang utama. Tetapi fakta yang berlainan ini mengindikasikan bahwa lebih dari 90% dari transaksi-transaksi ini berbasis pada gerakan “mengambang” uang kertas, yakni, secara esensial bersifat spekualtif. Persamaan tersebut benar untuk jumlah modal uang yang besar yang diinvesatsikan di pasar saham dunia.

Semenjak “crash” pasar modal pada Oktober 1987, jumlah uang kertas yang diinvestasikan di saham-saham perusahaan telah meningkat lebih dari 25% di Itali dan Kanada, lebih dari 50% di AS, Jerman, dan Inggris serta lebih dari 100% di Perancis. Ini telah menghasilkan peningkatan yang tak terprediksikan dalam harga saham. Tentu, semakin tinggi harga suatu saham perusahaan, semakin rendah nilai relatif dividennya --pembagian keuantungan dari produksi yang didistribusikan kepada setiap pemegang saham. Menjelang Desmber 1996, rasio harga saham AS terhadap dividen telah mencapai level tertingginya semenjak rekord yang bertahan mulai tahun 1871.

Dalam realitasnya, sedikit investor akhir-akhir ini yang membeli saham dengan tujuan mendapat bagian keuntungan sebuah perusahaan yang digenerasikan melalui produksi dan penjualan komiditinya. Poin dari jual beli di pasar modal adalah  spekulasi, menjual dan membeli saham di perusahaan-perusahaan --sembarangan perusahaan-- dengan harapan menghasilkan keuntungan yang cepat dengan memprediksikan bilamana orang-orang lainnya akan membeli dan menjual nya besuk, atau dalam lima menit mendatang.

Kiriman besar-besaran dari uang kertas yang “mengambang” ini berisi apa yang disebut Marx sebagai modal “fiktif” atau “imajiner”. Bon pemerintah, contohnya, mewakili tiotel legal atas sebuah bagian dari pendapatan pemerintah di kemudian hari, misalnya, dari sektor perpajakan. Modal-uang yang digunakan untuk membelinya telah dibelanjakan oleh negara , misalnya, ia telah menjadi peinjamana bagi pemegang bon tersebut. Tetapi karena pemegang bon menerima bungan dari pinjaman ini, dan dapat menjualnya sebagai komoditi, ini berlaku sebagai modal. Sebagaimana yang digarisbawahi Marx dalam Bab 30 pada Volume 3 Das Kapital, “[t]hese promissorry notes which were issued for a capital originally borrowed but long since spent, these paper duplicates of annihiliated capital, function for their owner as capital in so far as they are saleable commodities and can therefore be transformed into capital” (K. Marx, Capital, Penguin, London, 1991 edn, Vol.3,p.608).

Saham dalam perusahaan-perusahaan  bermodal gabungan adalah titel kepemilikan modal riil. Tetapi sebagaimana yang digarisbawahi oleh Marx, “they give no control over this capital”  karena  “capital cannot be withdrawn” karena ini terikat dalam bangunan, mesin, bahan mentah, dan sebagainya.

Tetapi [demikian Marx menambahkan] titel ini nampak menjadi duplikat modal riil, seolah-olah sebuah bill of lading (sebuah perintah pengambilan kargo --DL) yang secara simultan mencerminkan sebuah nilai dari kargotersebut. Mereka menjadi nominal yang mewakili modal tak-eksis. Bagi modal yang secara aktual eksis sama halnya, dan tidak ada perpindahan tangan jika duplikat ini dijual-belikan. Ini menjadi bentuk modal tanpa-bunga karena tidak hanya membuahkan suatu pendapatan tertentu tetapi nilai modal yang diinvestasikan didalamnya dapat dibayar ulang dengan penjualannya. Sejauh akumulasi dari skuritas ini mencerminkan sebuah ekspansi rel-rel kereta api, pertambangan, kapal uap, dll., I amencerminkan sebuah ekspansi sebuah proses produksi yang aktual...Tetapi sebagai sebuah duplikat yang mana oleh mereka sendiri dapat dipertukarkan selayaknya komoditi, dan , dan sementara itu sirkulasi sebagai nilai modal, mereka impikan, dan nilai mereka dapat naik dan turun secara cukup independen terhadap gerakan nilai modal aktual terhadap apa yang mereka titelkan...

Laba dan rugi yang meruapakan hasil fluktuasi dalam harga dari kepemilikan titel ini ..adalah alamiah dalam kasus tersebut semakin banyak hasil dari galbling..[ibid.,pp.608-09]

Begitu bermacamnya gunung-gunung modal ilusi tersebut yang telah terjadi adalah terhalang oleh sebuah grafik. Menurut Financial Times  terbitan London pada tanggal 21 Maret 1994, nilai nasional kontrak masa depan (yakni, perlindungan kontrakan terhadap dan mengantisipasi gerakan masa depan harga-harga komoditi pertanian, indikasi pasar modal, jumlah tingkat bungan dan tingkat pertukaran mata uang) yang diperdagangkan di seluruh perdagangan dunia telah mencapai jumlah US$14 Trilyun setiap tahun. Tentu, soekulator yang sama akan menggunakan dengan baik tingkat yang sama dalam beberapa operasi yang sama suksesnya, sehingga laporan yang aktual mengenai perdangan di masa yang akan datang mungkin seperlima atau sepersepuluh jumlah ini. Tetapi sekalipun itu adalah sebuah grafik yang mengagetkan jika dibandingkan dengan jumlah total modal riil, tidak termasuk real estate, ini secara adalah kepemilikan-pribadi di seluruh dunia yang dihitung oleh Bank Chase Manhattan  sebanyak US$10 Trilyun pada tahun 1993.

Pertumbuhan yang mengerikan  jumlah uang kertas “mengambang” telah dipicu oleh berbagai macam ekspansi hutang oleh negara, korporasi dan rumahtangga yang melalui oleh kredit bank yang sejak permulaan  gelombang depresi panjang pada awal 1970an. Sebab mendasar sistem spekulatif yang membengkak ini adalah berbagai macam ekses kapasitas produktif (yakni, overproduksi aktual dan potensial dari komoditi-komoditi) yang membelenggu sebagian besar industri di seluruh dunia. Modal baru tetap saja terbentuk oleh profit yang dihasilkan setiap tahun yang tidak lama kemudian menemukan kesempatan investasi yang cukup aman setidak-tidaknya pada keuntungan rata-rata, yang mana itu sendiri tetap terdepresi dibandingkan level ia sendiri selama permulaan “gelombang panjang ekspansi” dari akhir 1940-an sampai akhir 1960-an. Fakta bahwa modal ini tidak terinvestasi secara produktif lagi menghasiulkan gelombang depresi panjang (khususnya berkurangnya lahan kerja), yang mana berubah menjadi over-akumulasi modal, transformasi yang terus tumbuh dari modal ini menjadi kertas tanpa bunga dan, oleh karenanya, spekulasi dalam kertas ini. Aktivitas yang spekulatif tidk hanya dilakukan oleh para “spekulator”  profesional. Ia semakin didominasi oleh  sebagian besar bank-bank swasta  dan korporasi-korporasi transnasional.

Tapi berbagai macam massa kepentingan  yang diterima para spekulator adalah diambil dari total nilai lebih yang diproduksi waktu itu. Oleh karenanya, fraksi dari nilai lebih tersebut, modal riil, yang disediakan untuk investasi produksi saat itu semakin menurun. Dus, dunia telah dicuci oleh modal illusi karena pemotongan  modal riil  secara relatif, dan meningkat terus.

Sementara begitu besar jumlah uang kertas “mengambang”  secera konstan menjelajahi  bumi, berpindah dari satu pasar uang ke yang lainnya selama 24 jam penuh, para pemiliknya dimana pasar uang ini berada mempunyai berbagai macam kebijakan. Karena begitu banyak aktivitas spekulatif ini yang ditaruh dalam kredit-uang, pemainnya ekstrim sensitif terhadap peningkatan tingkat suku bunga. Itulah makanya menjadi sensitif terhadap segala perkembangan dalam ekonomi “riil” yang mana para spekulator tersebut mungkin khawatir akankah ini membuat bank sentral di negara-negara imperialis utama, terutama sekali Federal Reserve Board AS, akan menaikkan tingkat bungan bond pemerintah.

“Globalisasi” dan Neo-liberalisme

Jika, sebagaiman telah dijelaskan, argumen dalam mendukung tesis “globalisasi” tidak berdiri di atas skuritas, mengapa konsep ini telah menjadi begitu terkenal? Hirts dan Thompson menawarkan penjelasan berikut:

Retorika politik baru ini adalah didasarkan pada liberalisme anti-politik. Membuat bebas dari [politik, ekonomi global baru membiarkan perushaan-perushaan dan pasar-pasar mengalokasikan faktor-faktor produksinya sampai tingkat tertinggi, dam tanpa distorsi oleh intervensi negara. Perdagangan bebas,  perusahaan-perusahaan transnasional dan pasar modal dunia telah membebaskan bisnis dari kekuasaan politik, dan mampu menyediakan konsumen di dunia ini dengan barang-barang termurah dan produsen-produsen yang paling efisien. Globalisasi merealisasikan yang menjadi ideal kaum liberal mengenai perdagangan bebas pada pertengahan abad ke-19 seperti Cobden dan Bright: ialah, dunia yang telah di-demiliterisasi dimana aktivitas bisnis adalah yang primer dan kekuasaan politik tidak punya peran lain selain perlindungan sistem perdagangan bebas dunia.

Bagi kaum kanan di negara-negara industri maju rethorika mengenai globalisasi adalah merupakan sebuah takdir. Ia memberikan kesempatan untuk melanjutkan dibawah kondisi yang meningkat setalah kegagalan yang bersifat menghancurkan dalam hal eksperimen kebijakan moneter dan individualisme yang radikal pada tahun 1980-an. Hak-hak buruh dan kesejahteraan sosial dari praktek semacam itu di erah manajemen ekonomi nasional akan menyebabkan masyarakat Barat menjadi tidak kompetitif dalam hal hubungannya dengan masyarakat negara-negara yang bari saja mengalami proses industrialisasi di Asia dan pasti secara dramatis terkurangi.

Ia, retorikan mengenai “globalisasi” diperlukan untuk memberikan legitimasi ideologis bagi usaha meneruskan kebijakan-kebijakan ekonomi eno-liberal setelah mereka gagal memenuhi janji-janji alami mereka mengenai pertumbuhan ekonomi yang dipertahankan dan peningkatan standar hidup. Ini tentu saja tidak kebetulan bahwa retorika “globalisasi” menjadi  ngetrend diantara para komentator ekonomi, sosial dan politik borjuis yang dimulai semenjak resesi kapitalis interna sional pada tahun 1990-1993.

Setelah resesi tahun 1980-1982, ada peningkatan dalam semua negara-negera ekonomi kapitalis maju. Resep neo-liberal nampak sudah jalan. Penerimaan oleh publik terhadap resep ini adalah yang paling luas karena crash pasar modal pada tahun 1987 tidak segera menghasilkan resesi harapan-harapan setiap orang. Perekonomian negara-negara kapitalis maju terus tumbuh dan penganggurang menurun di mana-mana.

Tetapi lalu pada resesi 1990-1993. Penganggurang meningkat tajam, mencapai tingkat rata-rata resmi 8% di seluruh negara-negara imperialis. Perbaikan  lagi mulai denga dinamisme besar-nesaran pada tahuh 1994, tetapi dalam 18 bulan ia menguap. Pada periode tersebut semenjak akhir dari resesi, pengangguran di seluruh negara-negara imperialis hanya menurun menjadi 7.8% menurut laporan resmi.

Argumen lama kebijakan ekonomi neo-liberal telah kehingan kredibilitasnya. Gantinya, argumen baru yang sedang dicari-cari untuk meligitimasi kebijakan ini: jika kita, kamu buruh di negara-negara industri maju, tidak menerima potongan lebih besar lagi dari gaji kita, kondisi kerja, hak-hak kesejahteraan  sosial,dan pembayaran lebih banyak lagi bagi tunjangan kesehatan individu, tunjangan pendidikan dan tunjangan pensiun, maka negara “kita” akan menjadi tidak kompetitif di mata “kekuatan-kekuatan yang secara bergerak global” yang dimiliki bisnis-bisnis besar sekarang ini, dimana lalu akan memindahkan investasi  ke negara-negara yang upah buruhnya lebih murah diantara “negara-negara industrial baru” (NICs).

Pada tahun 1980-an, kemandegan ekonomi neo-liberal dijustifikasi dengan klaim bahwa pengorbanan kecil saat ini akan menghasilkan lapangan kerja baru dan kesejahteraan di masa depan. Pada tahun 1990an, di saat sangat jelas sekali bahwa tingkat pengangguran yang tinggi tersebut merupakan sebuah masa depan kehidupan yang permanen di dalam ekonomi “pasar bebas”, kita didongengi bahwa jika kita tidak meneruskan menerima  gaji kita dipotong dan kemandegan ekonomi, kita akan jauh lebih buruk di masa depan. Di dalam pasar global yang semakin kompetitif, siapa yang tidak bekerja lebih “keras” dan menerima pendapatan mereka berkurang akan mendapati diri mereka tidak punya pekerjaan sama sekali.

Neo-liberalisme dan Kemandegan Ekonomi Kapitalis

Tentu saja, kaum kapitalis si penguasa negara-negara imperialis tidak punya komitmen untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ekonomi neo-liberal karena mereke telah terangsang oleh mitos “globalisasi”. Kebijakan ini  klop dengan prioritas perjuangan klas dari kelas penguasa.

Selama masa-masa gelombang ekspansi panjangh dari akhir 1940-an, dibawah kondisi akumulasi modal yang cepat, dan ada kemunduran mendasar dalam hubungan internasional kekuatan-kekuatan pada biaya-biaya penguasa imperialis (yakni, peningkatan kekuasaan kapitalis di Eropa Timur dan Cina, munculnya perjuangan anti-kolonial, tumbuhnya sentimen pro-komunis di antara pekerja di Eropa Barat dan Jepang), prioritas dari kelas kapitalis di negara-negara imperialis adalah membeli perdamaian sosial di negaranya dan mendukung kebijakan luar negeri imperialis melalui reformasi sosial, diantaanya adalah penyediaan lapangan kerja yang relatif penuh dan kebijaan-kebijakan  pengamanan sosial memainkan peran kunci.

Ekspansi ekonomi sendiri menciptkana kondisi material dimana, sedikit-banyak, sistem  mampu menyediakan barang-barang. Dalam framework pertumbuhan ekonomi  jangka panjang di atas rata-rata (bagi kapitalisme monopoli), kebijakan Keynesian mengenai jaminan  full employment selama siklus menurun melalui merangsang ekonomi melalui peningkatan daya beli massa, walaupun ia sedikit inflasi, tidak akan mengancam laba kapitalis. Kelas kapitalis yang paling ideologis berkesadaran kelas cukup terbuka untuk hal ini. Dus, Pennant Rhea, mantan editor mingguan bisnis Ingris The Economist, menyatakan bahwa sistem kesejahteraan paska-perang  merupakan “impor dari Marxisme” yang dipaksakan terhadap orang-orang kaya melalui perang dingin.

Menjelang akhir 1970an, ternyata,  menjadi jelas bagi penguasa imperialis bahwa gelombang panjang ekspansif telah memberi jalan bagi gelombang panjang depresif, dan itu tidak lama lagi memungkinkan untuk menjamin full employment, untuk menjaga keamanan sosial dan menjamin  adanya keuntungan jika peningkatan yang lambat dalam  income riil bagi pembayar upah tanpa mengancam keuntungan kapitalis. Pada poin tersebut dorongan untuk merestorasi  tingkat keuntungan melalui  peningkatan tingkat penghosapan terhadap kela spekerja menjadi prioritas utama penguasa imperialis.

“Anti-Keneysian kontra-revolusi”  neo-liberal dalam  bidang ilmu ekonomi dan sosial borjuis bukan apa-apa kecuali hanyalah  sebuah ekspresi ideologis atas prioritas yang berubah ini. Tanpa adanya restorasi jangka panjang dari pengangguran struktural yang kronis ( yakni pengangguran permanen bagi buruh dan tenaga kerja underemployed untuk memaksakan “disiplin” bagi buruh yang masih punya pekerjaan), tanpa restorasi terhadap“ rasa pertanggungjawaban individual dan terhadap keluarga” atas kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan (yakni  tanpa beberapa potingan bagi keamanan sosial dan komponen-komponen lain porsi upah yang disosialkan), dan tanpa kemandegan ekonomi yang di-gerenalkan (yakni, penurunan penadapatan riil bagi kelas penerima upah), tak mungkin bisa ada restorasi atas tingkat laba didalam lahan investasi yang produktif.


Kemunculan Lagi Perlawanan Kelas

Selama tahun 1980-an dan awal 1990-an, penguasa imperialis didapati telah membuat kesepakatan  yang  terang dalam hal melemahkan perlawanan kelas pekerja dengan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan  tersebut. Tetapi  kejadian-kejadians sejak tahun 1995 telah mengindikasikan kelas kapitalis telah benar-benar sukses dalam hal menghancurkan kemampuan kelas pekerja untuk memperoleh lagi  kepercayaan diri, daya pukul dan organisasinya yang diperlukan untuk menyusun pertempuran yang defensif melawan dorongan kemandengan kelas penguasa.

Dimulai dengan pemogokan buruh transportasi umum dan pos di Perancis pada Desember 1995, telah ada kemunculan  lagi  daya tempur kelas pekerja  di serangkaian negara-negara industrial dan semi-industrial.

Gelombang pemogokan Desember di Perancis tahun 1995 dipimpin oleh buruh kereta api dan digerakkan sebagai respon terhadap usaha pemerintah memotong tunjangan sosial atas buruh kereta api. Tetapi, pukulan pemerintah secara meluas dipahami secara secara mendasar telah mengarahkan semua buruh Perancis dan bahkan kelas menengah strata bawah. Pemogokan tersebut didukung oleh  relli dan demonstrasi secara mingguan yang membawa kemacetan  aktivitas ekonomi secara nyata di seluruh kota-kota penting di Perancis. Meningkat sampai dua juta orang yang berpartisipasi pada aksi protes tersebut pada setiap akhir minggu di kota-kota kecil dan besar seluruh negara selama 24 hari golombang pemogokan.

Lalu pada tanggal 16 Oktober, dilaporkan 1,6 juta buruh sektor publik Perancis melakukan pemogokan sehari, bersamaan dengan buruh transportasi dan layanan publik lain, dalam protes menentang  proposal, yang sedang didebatkan didalam parlemen Perancis saat itu,   untuk menghapusakan tunjangan bagi buruh sektor publik dan pemotongan sebanyak 5.500 lapangan kerja di sektor publik menjelang akhir tahun tersebut dalam rangkat mencapai target anggaran untuk menciptakan sebuah mata uang tunggal Eropa pada bulan Januari 1999. Empat hari kemudian, 300.000 orang reli di seluruh Brusel dalam rangka protes terhadap perlindungan secara diam-diam oleh politisi Belgia terhadap lingkaran pornografi anak-anak yang menculik dan membunuh anak-anak. Seminggu kemudian Federasi Umum Pekerja Berlgia yang dibawah pimpinan kaum sosial-demokrat mengorganisir pemogokan selama 24 jam untuk menuntut pengenalan minggu kerja yang lebih pendek tanpa potongan upah untuk memerangi peningkatan  pengangguran.

Pada tanggal 24 Oktober, 400.000 buruh baja, buruh galangan kapal dan buruh-buruh industri manufaktur lain di Jerman mogok melawan pemotongan gaji saat sakit. Aksi ini hanyalah yang terbesar diantara protyes-protes serupa di Jerman. Satu hari kemudian, para buruh memukul telak terbesar di Kanada, Toronto, dalam pemogokan umum seluruh kota untuk  pemotongan anggaran negara atas tunjangan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan oleh pemerintah daerah Ontario. Pemogokan tersebut diikuti dengan dengan relli dan pawai oleh 300.000 demonstran pada tanggal 26 Oktober. Pemogokan umum Toronto hanyalah yang terbaru diantara pemogokan lima kota di propinsi Ontario.

Pada tanggal 28 November, tiga juta buruh berpartisipasi dalam pemogokan umum di Yunani untuk memprotes pengumuman pemerintah partai  sosdem PASOK yang baru saja terpilih  yang menyatakan  akan menyapu ukuran-ukuran kemandegan ekonomi. Pada hari yang sama ribuan petani Yunani memasak blokade-blokade jalan yang memotong negara tersebut menjadi dua bagian. Para petani tersebut menuntut  peningkatan harga produk mereka untuk menjamin  pendapatan mereka, bahan bakar yang lebih murah, penundaan pembayaran hutang sebesar US$1,3 juta terhadap  bank-bank dan menuntut pajak yang lebih murah untuk mesin-mesin pertanian.

Pada tanggal 13 Desember, tujuh juta buruh mengadakan pemogokan selama 24 jam di seluruh kota-kota utama di Italia dalam rangka memprotes ukuran-ukuran kemandegan oleh  pemerintahan partai coalisi Pohon Jaitun pimpinan Romano Prodi yang baru saja terpilih, komponen utamanya adalah  Partai Demokrat Kiri yang sosdem, sebelumnya disebut Partai Komunis.

Ini semua, dan seperti aksi-aksi oleh para buruh di Argentina, Rusia dan, sekarang, Korea Selatan adalah gejala permulaan sebuah respon kaum buruh terhadap peningkatan serangan modal terhadap standar hidup kelas kita, khususnya eskalasi serangan kaum kapitalis terhadap tunjangan-tunjangan  keamanan sosial.

Dari Pertempuran Defensif ke arah Pertempuran Ofensif

Namun, barangkali yang paling penting dinatara kasi-aksi buruh tersebut adalah pemogokan oleh 50.000 sopir truk Perancis yang dimulai pada tanggal 17 November dan berakhir pada 12 hari kemudian. Pemogokan ini secara paling sighnifikan karena ia bukan merupakan sebuah pertempuran defensif yang sukses, seperti halnya pemogokan Desember 1995, tetapi merupakan sebuah pertempuran offensif yang sukses. Para sopir truk tersebut memenangkan tuntutan utama mereka --pemotongan jam kerja tanpa pemotongan gaji dan pemendekan umur pensiun dari 60 menjadi 55 setelah 25 tahun bekerja. Keputusan akhir juga menyertakan janji pemerintah  akan adanya tunjangan gaji rutin selama 5 hari sebagai ekstra.

Kunci kemenangan para sopir truk tersebut adalah solidaritas massa yang mereka terima dari buruh Perancis yang lain. Seperti yang dilaporkan oleh majalah Time  edisi London: “Menurun polling pendapat, 87% dari para soir yang diwawancarai sejutu dengan tuntutan para sopir mengenai peningkatan upah, pemotongan jam kerja dan masa pensiun 55 tahun sebagai hal yang dianggap fair”. Harian London juga  melaporkan bahwa selain  jalan-jalan yang diblokade, pom bensin kosong dan kerumunan massa yang tidak seperti biasanya, para penonton yang simpati secara aktif memberikan dukungan kepada para pemogok. Ini, termasuk pula para pemilik restoran dan para pemilik usaha kecil yang para pomogok yang memblokade jalan dengan makanan, kopi  dan uang.

New York Times edisi 30 November meranggup alasan mengenai kemenangan atas dukungan masyarakat:

Walaupun pemerintah bukan pihak yang langsung dalam perselisihan tersebut, pemerintah telah dilemahkan olehnya. Simpati masyarakat yang meluas terhadap para sopir truk mencerminkan peningkatan melemahnya negara dalam hal ekonomi dan  semakin mendalamnya ketidakpuassan terhadap pemerintahan konservatif Presiden Jacques Chirak yang berumur 17 bulan itu.

Persetujuan itu juga hembusan lain terhadap kebijakan pemerintah dalam hal memegang jalur keuntungan kaum buruh dan perubahan dalam hal aturan kerja...

Dalam sinyal yang lebih jauh mengenai kelemagan tersebut, Perdana Menteri Alain Juppe berusaha tidak mengancam untuk menggunakan paksaan guna membersihkan berikade-berikad, nampaknya ketakutan akan memprovokasi pemogokan yang lebih luas lagi.

Hal yang secara khusus mengganggu penguasa kapitalis adalah apa yang dimulai di Perancis pada penghujung tahun 1995 sebagai pertarungan yang bagus perjuangan defensif terhadap pengrusakan yang intensif oleh kapitalis global terhadap standar kehidupan massa --satu-satunya hal yang benar-benar mengglobal di bumi dewasa ini-- telah memimpin ke arah perjuangan yang sukses dengan kharakter yang secara terang offensif. Para sopir truk Perancis berjuang mendemonstrasikan bahwa serangan sosial dan ideologis kaum borjuasi kehilangan kredibilitasnya dan kaum buruh memperoleh kembali kepercayaan diri mereka  untuk membangkitkan pertempuran defensif yang sukses, mereka akan segera memperbaiki kepercayaan diri untuk meningkatkan  kontra-offensif yang pasti datang.

Pelajaran utama dari pemogokan para sopir truk Perancis tersebut adalah bahwa aksi massa yang militan dan solidaritas perjuangan kelas, kelas kita tidak dapat sekedar memblokade serangan kapitalis atas standar kehidupan kita tetapi memaksa mereka agar mundur. Pada permulaan abad ke-21 ini, hal itu merupakan konsep globalisasi yang benar-benar mengagumkan.

Doug Lorimer, Anggota National Executive Democratic Socialist Party (DSP), Australia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar