GANTI REZIM GANTI SISTEM BANGUN PARTAI KELAS PEKERJA BANGUN SOSIALISME

Sabtu, 28 Agustus 2010

KAPITALISME, IMPERIALISME DAN NEOLIBERALISME

KAPITALISME, IMPERIALISME, DAN NEOLIBERALISME

KAPITALISME
Kapitalisme adalah sebuah sistem produksi komoditi (dagangan), dimana alat-alat produksi dimiliki secara pribadi oleh para pemilik modal (kapitalis), sementara buruh yang tidak memiliki apa-apa selain tenaganya, menjual tenaganya kepada para pemilik modal.
Skema sistem produksi kapitalisme adalah:
U - K - U+, U+ = U + n
U   =  uang
K   =  komoditi
n    =  nilai lebih

Uang tidak akan pernah menjadi modal jika siklus pertukaran komoditinya  K - U - K. Siklus semacam itu bukanlah kapitalisme, namun  hanya  seperti  orang menjual radio untuk makan,  dimana uang hanya menjadi alat sirkulasi atau alat pertukaran dan perantara. Uang akan menjadi modal ketika dipergunakan untuk menghisap tenaga kerja buruh, membeli alat-alat produksi -- barang-barang mentah -- dan membeli tenaga kerja buruh untuk produksi.

NILAI  LEBIH

Kelas buruh yang tidak memiliki alat produksi harus menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah untuk membeli sejumlah barang untuk kebutuhan hidupnya. Tetapi apakah upah itu? Bagaimana upah itu ditentukan?
Upah adalah jumlah uang yang dibayar oleh kapitalis untuk waktu kerja tertentu. Yang dibeli kapitalis dari buruh adalah bukan kerjanya melainkan tenaga kerjanya. Setelah ia membeli tenaga kerja buruh, ia kemudian menyuruh kaum buruh untuk selama waktu yang ditentukan, misalnya untuk kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu atau 26 hari dalam sebulan (bagi buruh bulanan).
Tetapi bagaimana kapitalis atau (pemerintah dalam masyarakat kapitalis) menentukan upah buruhnya sebesar 591.000 perbulan (di Jakarta misalnya) atau 20 ribu per hari (untuk 7 jam kerja misalnya)? Jawabannya karena tenaga kerjanya adalah barang dagangan yang sama nilainya dengan barang dagangan lain. Yaitu ditentukan oleh jumlah kebutuhan sosial untuk memproduksikannya (cukup agar buruh tetap punya tenaga untuk bisa terus bekerja). Yaitu kebutuhan hidupnya yang penting yaitu kebutuhan pangan (Misalnya 3 kali makan), sandang (membeli pakaian, sepatu dll) dan papan (biaya tempat tinggal) termasuk juga untuk untuk menghidupi keluarganya. Dengan kata lain cukup untuk bertahan hidup, dan sanggup membesarkan anak-anak untuk menggantikannya saat ia terlalu tua untuk bekerja, atau mati. Lihat misalnya konsep upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Jadi upah yang dibayarkan oleh kapitalis bukanlah berdasarkan berapa besar jumlah barang dan keuntungan yang diperoleh kapitalis. Misalnya saja sebuah perusahan besar (yang telah memperdagangkan sahamnya di pasar saham) sering mengumumkan keuntungan perusahaan selama setahun untung berapa ratus milyar. Tetapi dari manakah keuntungan ini di dapat?
Jelas keuntungan yang didapat dari hasil kegiatan produksinya. Tetapi yang mengerjakan produksi bukanlah pemilik modal melainkan para buruh yang bekerja di perusahaannya lah yang menghasilkan produksi ini. Yang merubah kapas menjadi banang, merubah benang menjadi kain, merubah kain menjadi pakaian dan semua contoh kegiatan produksi atau jasa lainnya. Kerja kaum buruh lah yang menciptakan nilai baru dari barang-barang sebelumnya.
Contoh sederhana misalnya. Seorang buruh di pabrik garmen dibayar 20.000 untuk kerja selama 8 jam sehari. Dalam 8 jam kerja ia bisa menghasilkan 10 potong pakaian dari kain 30 meter kain (1 kain @ 3 meter). Harga kain sebelum menjadi pakaian permeternya adalah 5000 atau 150.000 untuk 30 meter kain. Sementara untuk biaya benang dan biaya-biaya produksi lainnya (misalnya listrik, solar, keausan mesin dan alat-alat kerja lain) dihitung oleh pengusaha sebesar 50.000 seharinya. Total biaya produksi adalah 20.000 (untuk upah buruh) + 150.000 (untuk kain) + 50.000 (biaya produksi lainnya) sebesar 220.000. Tetapi pengusaha dapat menjual harga satu kainnya sebesar 50.000 untuk satu potong pakaian atau 500.000 untuk 10 potong pakaian di pasaran. Oleh karena itu kemudian ia mendapatkan keuntungan sebesar 500.000 – 220.000 = 280.000.
Jadi kerja 8 jam kerja seorang buruh garmen tadi telah menciptakan nilai baru sebesar sebesar 300.000. Tetapi ia hanya dibayar sebesar 20.000. Sementara 280.000 menjadi milik pengusaha. Inilah yang disebut nilai lebih. Padahal bila ia dibayar 20.000, ia seharusnya cukup bekerja selama 32 menit dan dapat pulang ke kontrakannya. Tetapi tidak, ia tetap harus bekerja selama 8 jam karena ia telah disewa oleh pengusaha untuk bekerja selama 8 jam. Jadi buruh pabrik garmen tadi bekerja selama 32 menit untuk dirinya (untuk menghasilkan nilai 20.000 yang ia dapatkan) dan selebihnya ia bekerja selama 7 jam 28 menit untuk pengusaha (280.000).

Krisis Kapitalisme
Pertentangan mendasar dalam sistem kapitalisme adalah: bahwa produksi sifatnya sosial, produksi massal dan dikonsumsi orang banyak. Sementara kepemilikan terhadap alat-alat produksi dan hasil produksinya sifatnya pribadi. Produksi terus-menerus mengalami spesialisasi, cabang-cabang produksi berkembang, perusahaan-perusahaan meningkat (yang terus menyerap tenaga kerja buruh dalam jumlah besar), bahkan kini berkaitan dengan pasar nasional dan internasional. Makin membesarnya konsentrasi buruh ini  memberikan kapitalisme watak sosialnya.
Sementara, ribuan alat-alat produksi yang dioperasikan oleh ratusan juta kaum buruh, dan produk yang dihasilkannya  menjadi milik pribadi kapitalis. Pertentangan tersebut yang terus-menerus menyebabkan krisis kelebihan produksi. Komoditi diproduksi terus-menerus tanpa batas, tanpa perencanaan, demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Produksi diperluas tanpa mempertimbangkan kebutuhan, hingga akhirnya  karena daya beli menurun, hasil produksi  tersebut tidak terjual. Barang menumpuk di gudang-gudang, PHK besar-besaran, nilai mata uang ambruk, inflasi dan sebagainya.
Krisis kapitalisme beberapa kali terjadi secara periodik. Krisis pertama terjadi di Inggris pada tahun 1825. Pada tahun 1847-48 krisis menyapu seluruh AS dan beberapa negeri di Eropa. Paling serius terjadi di abad  19 adalah pada tahun 1873, yang kemudian mendorong peralihan kapitalisme dari pra-monopoli ke monopoli.

Kelahiran Kapitalisme
Beberapa abad lalu, umat manusia pernah mengenal sistem feodalisme, yakni sebuah sistem  produksi dimana alat-alat produksi dimiliki oleh para tuan tanah, bangsawan dan raja. Sementara kaum yang bekerja, berproduksi, disebut dengan hamba, yang sebagian besar adalah petani. Bentuk penindasan terhadap kaum hamba ini berupa kerja wajib. Seorang hamba mengerjakan milik tuan tanah, dan kemudian sebagian (besar) hasil produksinya diserahkan  kepada mereka. Bedanya dengan kapitalisme adalah: surplus produk yang dirampas oleh para tuan tanah tersebut tidak dijual untuk profit, melainkan untuk dihambur-hamburkan; untuk memenuhi gelimang kemewahan mereka. Demikian pula bagi produsen, hasil produk tidaklah  untuk dijual tapi dipakai untuk  kebutuhan sendiri. Penyebabnya adalah kekuatan produktif (teknologi, alat-alat produksi, keahlian, dan sebagainya) sangat rendah sehingga produktivitasnya pun rendah. Sistem produksi seperti ini dialami oleh sebagian besar negara di  Eropa, dan beberapa negeri Asia.
Nusantara (kemudian disebut Indonesia) memiliki ciri yang berbeda. Pertama, di Eropa sebagian besar tanah dimiliki oleh para tuan tanah dan bangsawan lokal, bukan oleh raja. Mereka  lantas memberikan  upeti kepada para raja. Maka, tidak heran jika kebanyakan perebutan kekuasaan feodal berasal dari para tuan tanah dan bangsawan lokal (baron). Sementara di Nusantara, tanah sebagian besar dimiliki oleh raja. Para bangsawan lokal hanya merupakan perpanjangan tangan raja. Maka, perebutan kekuasaan yang kerap terjadi bukan dilakukan oleh para bengsawan lokal,  melainkan kalangan keluarga kerajaan; atau perang dengan kerajaan lain. Kedua, para petani bekerja dengan kerja wajib. Yakni kerja yang diberikan kepada para bangsawan dan raja, baik di dalam lingkup rumah tangga sang bangsawan atau raja, maupun di tanah-tanah para bangsawan. Sebagai imbalan atas pengabdiannya sekian lama, kemudian sang majikan  “memberi” tanah untuk diolah guna mencukupi  kebutuhan sehari-hari.
Di samping sistem produksi feodal yang merupakan sistem paling dominan, telah berkembang pula sistem produksi lain yakni kerajinan  dan perdagangan, yang masih menjadi obyek wewenang para bangsawan. Artinya, bangsawan memegang kontrol terhadap aktivitas ekonomi lain secara tidak langsung -- para pemilik kerajinan  dan pedagang harus membayar upeti, pajak dan sebagainya--.
Terjadilah perkembangan tenaga-tenaga produktif dalam sistem feudal ini. Teknik-teknik produksi diperbaiki, alat-alat kerja besi dan baja mulai diperkenalkan secara intensif, alat-alat kerja kerajinan dan metode pemrosesan bahan mentah mengalami perbaikan (mulai menggunakan perapian, dan sebagainya) dan  kerajinan pun  mulai terspesialisasi. Gejala tersebut merebak sekitar abad 15.
Seiring dengan pesatnya  perkembangan perdagangan dan kota-kota, pedesaan  pun lantas terseret masuk dalam ekonomi uang. Metode produksinya berubah menjadi sewa tanah dengan uang, bukan dengan kerja. Hal ini terjadi lantaran para tuan tanah membutuhkan uang untuk memenuhi kehidupan mewahnya. Eksploitasi feodalisme menjadi semakin intensif dengan berkembangnya sistem sewa uang.
Di sektor perdagangan, dengan ditemukannya benua-benua baru (Afrika, Amerika Latin, dan Asia) untuk pasar dan perampasan bahan-bahan mentah, mendorong produksi kerajinan semakin berkembang. Skala operasi produksi meluas karena meluasnya permintaan pasar. Ada satu gejala penting berkaitan dengan perkembangan perdagangan, yakni para pedagang mulai memegang kontrol terhadap produksi kerajinan dan pertanian. Mulanya, para pedagang hanya sebagai perantara dalam pertukaran komoditi, tetapi karena  menguasai pasar dan bahan mentah,  mereka  kemudian menjadi dominan. Mereka telah menjadi pembeli sistematis dari para produsen, baik pertanian maupun kerajinan. Juga menjadi pernyuplai bahan-bahan mentah, dan tentunya uang. Dalam keadaan seperti itu, para produsen secara ekonomi menjadi tergantung. Pada tahap berikutnya, para pedagang ikut “memaksa” kerajinan tangan untuk mengubah dirinya menjadi bengkel-bengkel yang bukan lagi mempekerjakan sedikit perajin, tetapi buruh upahan dalam jumlah yang  besar. Modal dagang berubah menjadi modal industri.
Di pedesaan, masuknya uang jugalah yang membelah petani ke dalam borjuasi desa (pemilik modal) yang kaya dan petani miskin.
Sistem produksi kapitalis menjadi eksis dalam feodalisme di kota dan desa. Karena sifat feodalisme  menghambat perkembangan sistem produksi kapitalis, dengan sendirinya feodalisme ini pun tumbang. Di desa, perkembangan ekonomi uang telah bertabrakan dengan sistem sewa uang, yang tentunya menghambat kemajuan perluasan modal para borjuasi desa. Sementara, industri-industri di kota, di satu sisi, menghadapi persoalan kekuasaan feodal dengan upeti, dan pajak yang tinggi. Di sudut lain, borjuasi atau kapitalis kota menghadapi masalah tenaga kerja buruh, yang tentunya harus didapat dari desa, yang berada di bawah kontrol kekuasaan feodal. Dalam situasi seperti itu maka  kehancuran feodalisme adalah sebuah keharusan sejarah. Sebagai hasil dari perjuangan kelas yang tanpa ampun antara borjuasi dan petani melawan tuan-tuan bangsawan. Pemberontakan-pemberontakan petani telah meluluh lantakkan fondasi sistem feodal dan menyeretnya ke jurang  kehancuran. Borjuasi, desa dan kota, memimpin perlawanan perjuangan anti-feodal dan memanfaatkan pemberontakan-pemberontakan tersebut untuk menghantarkannya menjadi kelas penguasa, secara ekonomi dan politik.
Contoh perjuangan kelas yang tuntas terjadi di Perancis pada akhir abad 1789. Sementara di Inggris lebih banyak terjadi proses pelemahan-pelemahan kekuasaan feodal yang terus-menerus, dengan cara  perlahan.
Di Indonesia (Hindia Belanda tepatnya, karena belum ada sebutan Indonesia saat itu), berkembangnya kapitalisme  bukan melalui perjuangan yang "tuntas" antara kelas borjuasi melawan feodalisme -- walaupun pada kenyataannya kapitalisme harus menyingkirkan seteru utamanya, para priyayi -- tapi lebih karena dicangkokkan oleh kolonialisme. Kemajuan tenaga-tenaga produktif -- yang merupakan dasar dari perkembangan kapitalisme dan pertentangan kelas antara borjuasi dan bangsawan -- bukan berasal dari hasil penemuan-penemuan “dalam negeri”, hasil kemajuan teknologi dari rahim Nusantara, tapi dibawa oleh kolonialisme. Hingga akhir abad 19, setelah selesai tanam paksa banyak  dibangun pabrik gula (terutama di Jawa), kereta api mulai diperkenalkan dan modal-modal asing di pertanian  berebut masuk. Gejala tersebutlah yang telah menghancurkan tatanan lama “feodalisme Nusantara”. Satu perubahan penting -- yang merupakan indikasi dari perkembangan kapitalisme di Hindia Belanda -- adalah pendirian pabrik-pabrik gula, telah menciptakan satu kelas baru, yakni buruh yang berasal dari petani yang kehilangan  tanahnya akibat  perluasan perkebunan tebu.    

Perkembangan Kapitalisme
Salah satu basis dari perkembangan kapitalisme pada  akhir abad 18, di samping dengan menghancurkan tatanan feodalisme, adalah revolusi industri -- sebuah nama yang diberikan oleh Engels terhadap proses transisi ketika Inggris menjadi negeri kapitalis pada akhir abad 18. Pada masa itu, Inggris dan juga Eropa, mengalami perubahan-perubahan cepat di bidang teknologi. Penemuan-penemuan penting telah terjadi,   dari mesin uap, mesin transportasi dan terutama penemuan mesin-mesin di cabang industri tekstil. Hasilnya,  teknik-teknik pemintalan dan penenunan pun berubah secara radikal. Industri tekstil tidak lagi mempekerjakan beberapa perajin yang hanya menggunakan alat-alat jahit sederhana, tetapi alat modern yang  menyedot  ratusan buruh. Produktivitas pun jauh melonjak dibanding sebelumnya. Demikian halnya dengan mesin uap yang sangat berpengaruh pada kemampuan produksi, industri tidak lagi tergantung pada suplai air dari sungai, tetapi dengan mesin yang dapat menjadi bank air. Transpotasi telah membuat jarak antar kota dan desa semakin dekat dan  mudah ditempuh.
Dalam situasi seperti ini, konsentrasi produksi adalah suatu yang tak terelakkan. Cara-cara produksi kerajinan telah tersingkirkan, bangkrut karena tidak mampu bersaing bahkan ditelan oleh industri-industri manufaktur besar. Cabang-cabang produksi yang pada sistem produksi kerajinan terpisah-pisah kini  telah disatukan dalam  pabrik-pabrik besar. Kelas buruh, satu kelas baru yang pada masa berikutnya menjadi seteru penguasa baru, telah muncul. Inilah satu hal yang terpenting  dari perkembangan kapitalisme bersamaan dengan perkembangan revolusi industri. Kapitalisme telah menghancurkan feodalisme; ia telah meniadakan pertentangan yang tak kenal ampun antara borjuasi dengan bangsawan. Namun, bukan berarti pertentangan sudah tidak ada lagi, justru muncul yang  baru, pertentangan antara kelas buruh dan borjuasi.
Pada awal abad 19 terjadi beberapa kali perlawanan kelas buruh yang diarahkan terhadap mesin-mesin produksi. Mereka menilai, mesin  itulah penyebab dari segala penindasan. Perlawanan  terbesar terjadi pada tahun 1815 di Inggris. Gerakan meluas ke seluruh pusat industri, secara terorganisir (dalam sejarah kemudian dikenal dengan   gerakan Luddites). Dengan  cepat, kelas penguasa melibas gerakan tersebut, beberapa pemimpin buruh ditangkap dan sebagian lainnya  dihukum mati.
Dimotivasi oleh tuntutan-tuntutan perubahan politik dan ekonomi, pada tahun 1817 gerakan berubah menjadi revolusioner, dengan tuntutan diantaranya adalah kebebasan berkumpul, berorganisasi  dan kebebasan pers. Dua tahun berikutnya, gerakan yang telah mengalami kulminasinya dipukul kembali, kemudian dikenal dengan "Manchester Massacre 1819".
Titik puncak gerakan buruh terjadi pada awal abad 20, ketika kaum buruh Rusia merebut kekuasaan politik dari tangan borjuasi pada bulan Nopember 1917.
Di Indonesia, gerakan buruh dimulai di permulaan abad 20, yang pada masa awal dipimpin oleh faksi radikal dari Serikat Islam. Tentu, gerakan buruh yang tumbuhnya  seiring  dengan  maraknya organisasi-organisasi modern tersebut memiliki nuansa yang berbeda dengan Eropa. Ia tidak hanya melawan penindasan ekonomi kapitalisme, tetapi juga kolonialisme.

IMPERIALISME
Sepanjang pertengahan akhir abad 19 kapitalisme memasuki tahap yang tertinggi. Dengan cirinya  yang utama  adalah: dalam tahap ini kapitalisme telah menyingkirkan “semangat kompetisi bebas” -- yang selalu diusung-usung sebagai pembenaran atas penghisapan -- dengan monopoli. Tenaga-tenaga produktif  mengalami perkembangan pesat, metode-metode baru dalam produksi diperkenalkan, terutama metode pengolahan baja dan besi. Masih dalam periode yang sama, penemuan-penemuan penting lain  terjadi, seperti dinamo, mesin uap, turbin dan sebagainya. Perkembangan industri dan transportasi pun makin  cepat  karenanya.
Tahap kapitalisme monopoli ditandai oleh ciri-ciri dasar sebagai berikut: 1) konsentrasi produksi dan modal; 2) fusi, merger atau penggabungan modal bank dengan modal industri dan munculnya dengan suatu oligarki financial; 3)  ekspor modal; 4) terbentuknya perusahaan-perusahaan monopoli internasional yang membagi-bagi dunia ke dalam genggamannya.
           
Konsentrasi Produksi dan Monopoli
Dalam kapitalisme lama, satu komoditi yang sama dijual oleh kapitalis yang berbeda. Sehingga, membuat  sebagian kapitalis menjadi semakin kaya sementara yang lainnya jatuh karena persaingan. Kompetisi bebas tersebut melahirkan konsentrasi produksi dalam perusahaan-perusahaan besar, yang mempekerjakan ratusan bahkan ribuan buruh. 
Sebagai contoh, di Jerman  pada tahun 1882, prosentase jumlah perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 50 buruh sebesar 22 %,  tahun 1895 sebesar  30 %, 1907  sebesar 37 %, tahun 1925 sebesar  47,2 %, tahun 1939 sebesar  49, 2%. Pada tahun 1955, di Jerman Barat jumlah perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 50 buruh, sebesar  87,1 %. Kenyataan tersebut menunjukkan peningkatan konsentrasi produksi dan modal di Jerman. Di negeri lain, AS misalnya, hingga tahun 1904 prosentase jumlah perusahaan-perusahaan besar yang output tahunannya mencapai satu juta US dollar atau lebih, sebesar 0,9 %. Dalam perkembangannya,  mereka kemudian  mempekerjakan 25, 6 % dari seluruh jumlah buruh, dan memproduksi 38 % out put AS. Dalam tahun 1939, perusahaan-perusahaan besar AS, yang prosentase jumlahnya 5,2 % dari seluruh industri AS, telah mempekerjakan 55 % dari seluruh jumlah buruh, dan memproduksi 67,5 out put industrial. Tahun 1955, 500 perusahaan-perusahaan industri memproduksi setengah dari seluruh jumlah out put industri dan memperoleh 68 % dari seluruh jumlah keuntungan. Dari 500 perusahaan-perusahaan tersebut, 50-nya membangun 0,05 % dari seluruh jumlah out put dalam industrial proses - atau hampir seperempatnya (Nikitin: 1963).
Sekarang, tentunya prosentase tersebut telah beratus-ratus kali lipat.  Disamping terkonsentrasi, modal juga menjadi tersentralisasi. Yakni merger dari modal yang terpisah-pisah milik beberapa kapitalis, ke dalam satu modal besar. Hal tersebut dapat terjadi melalui kesepakatan, seperti misalnya  ketika joint stock company  (perusahaan join) dibentuk, atau dengan paksaan, ketika modal-modal besar menyingkirkan atau bahkan melahap perusahaan-perusahaan yang lebih kecil.
Konsentrasi dan sentralisasi mengarah pada monopoli. Persaingan antar kapitalis disadari membawa dampak negatif terhadap mereka akhinya mendorong terjadinya kesepakatan bersama demi tujuan pembagian pasar dan eksploitasi bahan-bahan mentah, penetapan harga dan sebagainya. Itulah monopoli.
Monopoli adalah sebuah kesepakatan antara, atau asosiasi dari kapitalis pemegang kontrol produksi atau penjualan (seringnya produksi dan penjualan sekaligus) atas bagian terbesar dari komoditi tertentu. Apapun bentuk asosiasinya, tujuannya tetap mencari keuntungan sebesar-besarnya. Asosiasi-asosiasi monopolis muncul terutama di cabang-cabang industri berat, dimana produksi telah terkonsentrasi. Ketika telah memegang kontrol terhadap industri berat, monopoli menyebar ke cabang-cabang industri lainnya, menelan pesaing-pesaingnya.
Bentuk-bentuk asosiasi monopolis bervariasi, dan pada awalnya merupakan kesepakatan short term (waktu yang relatif pendek) antara individual kapitalis berkaitan dengan harga. Sementara kesepakatan yang berjangka waktu relatif panjang (long term), bentuk-bentuknya seperti Kartel, Syndicate, Trust, dan Concern.
Dalam imperialisme, asosiasi-asosiasi monopolis mendominasi ekonomi di negeri-negeri kapitalis. Mereka merengkuh seluruh cabang-cabang industri, transportasi, perdagangan, asuransi, dan perbankan. Di AS tahun 1959, sebagai contoh, industri baja dan besi didominasi oleh 17 perusahaan monopolis, yang memegang kontrol  94 % kapasitas produksi baja. Dua diantaranya - U.S. Steel Corporation dan Bethlehem Steel Corporation - mengontrol setengah dari kapasitas produksi baja di negeri itu.  Di bidang  industri automobile ada  tiga perusahaan monopolis; General Motors, Ford, dan Chrysler, yang pada tahun 1958 memegang kontrol 93 % produksi mobil. Pada Perang Dunia II mereka memproduksi seluruh transportasi, 75 % mesin penerbangan, 40 % tank dan 30 % artileri, mesin-senjata dan sebagainya.
Perusahaan-perusahaan monopolis besar di Inggris, seperti juga di AS, memegang kontrol terhadap ekonomi negerinya. British Iron dan Steel Federation, sebagai contoh, telah menggabungkan seluruh perusahaan-perusahaan baja dan besi di seluruh negeri. Perusahaan monopolis yang terbesar adalah Vickers Armstrong. Selama Perang Dunia II Vickers Armstrong telah menjual kepada pemerintah Inggris 28.000 pesawat terbang, 164.000 senjata berat  Di bidang industri kimia,  perusahaan monopolis terbesar adalah Imperial Chemical Industries, yang memegang kontrol 95 % produksi kimia dasar. Demikian halnya di Perancis, sebuah kartel, Alluminium Francais, mengontrol seluruh produksi aluminium. Sementara produksi mobil terkonsentrasi di tangan empat perusahaan monopoli.
Monopoli bukan berarti telah menyingkirkan kompetisi sepenuhnya, seperti yang selalu digembar-gemborkan oleh para ideolog borjuis. Jarang ada satu perusahaan monopolis menguasai 100 % monopoli dari seluruh industri. Kompetisi  akan terus berlangsung di antara para kapitalis monopolis. Mereka bertarung satu sama lain demi perluasan pasar dan eksploitasi sumber-sumber daya alam, yang diakhiri dengan kesepakatan atau bahkan dengan perang sekalipun.

Modal Finansial dan Oligarki Finansial
Konsentrasi produksi dan formasi monopoli dalam industri, tak pelak, telah mengarah pada konsentrasi modal dalam bank dan monopoli perbankan. Kompetisi di antara bank berakhir dengan hancurnya bank-bank yang lebih kecil, atau bank-bank yang lebih kecil menjadi subordinat, dikontrol oleh yang lebih besar. Tahun 1900 di AS, sebagai contoh, sebanyak 10.382 bank memegang aset 10.785 juta US dollar, tetapi di tahun 1940 jumlahnya meningkat, yakni ada 15.017 bank dengan aset sebesar 80.213 juta US dollar. Berarti, selama 40 tahun jumlah bank meningkat hanya 50 %, sementara assetnya meningkat delapan kali lipat. Tahun 1900, 20 bank besar di AS memiliki 15 % jumlah deposit, dan pada tahun 1956 menjadi 37 %.
Konsentrasi  dan monopoli bank telah mengubah hubungan antara bank dan industri. Awalnya, bank hanya berfungsi sebagai perantara  dalam pembayaran. Seiring dengan perkembangan kapitalisme, operasi kredit bank meluas. Konsentrasi dan sentralisasi bank menciptakan situasi di mana bank mendapatkan kekuatan ekonomi yang begitu besar. Ketika bank memegang uang kapitalis, sebagai konsekuensinya, bank  mengetahui sepak terjang kliennya, mendapatkan kontrol terhadapnya,  dan dengan kreditnya -- yang bisa dengan mudah atau sukar didapat -- menempatkan kapitalis industri di dalam posisi subordinat dan dapat mengarahkan aktivitasnya.
Jadi, dari sekedar fungsi perantara dalam hal pembayaran, bank telah menjadi pusat finansial yang memiliki  kekuatan penuh. Peralihan dari bank menjadi monopolis besar, dengan demikian, semakin mempercepat konsentrasi produksi. Hal ini terjadi karena bank memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan besar monopolis. Bank mulai membeli saham di dalamnya. Mereka membeli cukup saham untuk menjamin bahwa mereka memiliki suara yang menentukan dalam monopoli. Sebaliknya, para kapitalis industri juga memiliki saham di bank. Hasilnya adalah antar-hubungan, kerjasama, koalisi, antara monopoli bank dengan modal industri. Ini menjadi basis bagi kelahiran sebuah modal finansial.   
Koalisi antara modal bank dan industri mengambil berbagai bentuk. Yang paling kuat adalah personal union, yakni ketika orang yang sama memegang kontrol terhadap bank, industri, perdagangan, dan monopoli lainnya. Di Indonesia terlihat nyata, seperti  Liem Soe Liong, atau bahkan “Soeharto” yang memegang monopoli bank dan sekaligus banyak cabang industri.
Pertumbuhan monopoli dan modal finansial membentuk lingkaran kecil orang yang menempati posisi yang dominan, tidak hanya ekonomi tapi juga politik. Lingkaran-lingkaran tersebut yang kita kenal dengan oligarki finansial. Seluruh cabang ekonomi penting dan seluruh posisi kunci dalam alat-alat politik di negeri-negeri kapitalis berada di tangan oligarki finansial.
Di AS, sebagai contoh, peran yang menentukan dalam ekonomi ada dalam cengkeraman kelompok-kelompok finanisial, seperti Rockefeller, Morgan, Duport, Mellon, Bank of America, Chicago Bank, Cleaveland Bank, dan First National City Bank. Di tahun 1955,  total modal yang dikontrol oleh kelompok-kelompok tersebut sebesar 218.500 juta US dollar. Yang terbesar adalah Rockefeller dan Morgan.
Di Inggris kelompok-kelompok ini mendominasi kehidupan perekonomian negeri. Mereka memegang kontrol terhadap industri-industri utama.
Oligarki finansial, seperti dikatakan di atas, tidak hanya mencengkeram ekonomi, tetapi juga kehidupan politik, melalui merger antara monopolis dengan mesin-mesin negara, birokrasi, tentara, dan sebagainya.  Mereka  dengan mudah mendikte kebijakan-kebijakan pemerintah dan parlemen. Di Indonesia pada masa orde baru, para oligarki finansial bukan hanya memiliki pengaruh terhadap kebijakan parlemen dan pemerintah, bahkan mereka sendiri menjadi aparatusnya.

Ekspor Modal dan Pembagian Dunia
Sebelum jaman imperialis, bentuk utama dari hubungan ekonomi antar-negeri adalah ekspor komoditi. Di bawah imperialisme, bukan lagi komoditi yang diekspor. Pada era imperialisme perdagangan dunia berkembang, namun ekspor modal menjadi penting. Ekspor modal menjadi basis bagi eksploitasi  terhadap negeri-negeri dunia ketiga oleh beberapa negeri imperialis besar. Aturan yang berlaku adalah “surplus” modal menimbun di negeri-negeri kapitalis maju.
Modal diekspor ke luar dalam dua bentuk: modal pinjaman dan modal produktif. Ekspor modal pinjaman terjadi ketika pinjaman tersedia bagi pemerintah atau negeri lain. Negeri yang menerima pinjaman tersebut harus membayar. Dalam hal ini, bagian terbesar dari nilai lebih yang diciptakan oleh buruh di negeri tersebut dialirkan ke negeri yang mengekspor modal tersebut. Ekspor modal produktif terjadi ketika kapitalis membangun perusahaan-perusahaan industri di negeri-negeri lain. Seperti contoh, sebuah joint stock companie yang dibangun  AS untuk eksploitasi sumber daya minyak di Amerika Latin.
Ekspor modal membawa akibat hubungan ekonomi yang lebih luas. Namun, hubungan ekonomi tersebut berarti perampasan terhadap negeri-negeri yang terbelakang oleh negeri-negeri maju.
Kaum monopolis di negeri-negeri kapitalis berupaya untuk tidak membagi dominasi pasar dalam negeri. Mereka memisahkan pasar, menjaga harga pada level yang tinggi dan membuat keuntungan besar. Untuk mempertahankan tingginya harga, monopolis berupaya memproteksi pasar dalam negeri terhadap kompetisi asing. Pemerintah memberlakukan tarif impor tinggi, kadang bahkan menghancurkan komoditi impor tertentu. Namun, pasar dalam negeri sangat terbatas, maka untuk membesar keuntungan, monopolis harus menjual di pasar asing. Bagaimana mungkin mereka melakukannya manakala pasar-pasar tersebut diproteksi oleh tingginya pajak impor? Demi meniadakan pajak impor yang tinggi mereka mengekspor modal. Kapitalis membangun pabrik-pabrik di negeri-negeri lain. Lantas membanjiri pasar dengan komoditinya.
Perjuangan menguasai pasar asing, eksploitasi sumber-sumber bahan mentah dan memperbesar penanaman modal mengarah pada suatu pembagian ekonomi dunia di antara para monopolis. Dalam industri, ketika beberapa syndicate memegang peran di dunia kapitalis, sebuah kondisi terciptakan bagi formasi monopolis internasional. Monopoli internasional berkembang pada dekade 1860-an dan 1890-an. Pada akhir abad 19 ada kira-kira 40 monopolis, dan pada awal Perang Dunia Kedua (1939) lebih dari 300.
Sepanjang masa peralihan imperialisme, penaklukan koloni-koloni diintensifkan. Antara tahun 1876 dan 1914, kekuatan-kekuatan besar telah menggenggam dalam cengkeramannya 25 juta kilometer persegi  daerah koloni. Bagian terbesar didapat oleh Inggris. Pada tahun 1876 Inggris memiliki daerah koloni sebesar 22,5 juta kilometer persegi, namun pada tahun 1914 meningkat 11 juta kilometer persegi lagi. Jerman, AS dan Jepang yang sebelumnya tidak memiliki daerah koloni, pada tahun 1914 teolah merebut 14,1 juta kilometer persegi.
Pada awal abad 20 pembagian dunia telah sempurna, tidak ada lagi daerah yang “bebas”. Perang pertama untuk pembagian dunia terjadi pada tahun 1898, yakni antara AS dan Spanyol. Akibat dari perang tersebut imperialis AS merebut Filipina, Puerto Rico, Guam, Cuba, Hawaii dan Samoa.
Perang Dunia I dan II adalah upaya untuk membagi-bagi kembali dunia. Asia milik siapa, Amerika Latin milik siapa, dan Afrika miliki siapa.

Globalisasi: Topeng Baru Imperialisme
Imperialisme tengah memakai topeng barunya: "globalisasi". Istilah tersebut digembar-gemborkan oleh para ekonom, pengamat, dan politisi borjuis, sebagai sebuah era baru di mana batas-batas nasional, bangsa, negeri, dan budaya  menjadi tidak relevan lagi. Dunia telah disatukan. Batas-batas negeri telah dinihilkan. Padahal sesungguhnya, "globalisasi" ini hanyalah sebuah pembenaran; sebuah legitimasi atas pengendalian terhadap hajat hidup orang banyak di tangan perusahaan-perusahaan multi-nasional; atas pengerukan kekayaan alam negeri dunia ketiga oleh dunia pertama.
Sebagai gejala, "globalisasi" sebenarnya telah terjadi sejak 500 tahun lalu, ketika para pedagang Eropa mulai merampas bahan-bahan mentah, membuka pasar dan membangun kerajaan dagang dunia  di negeri-negeri Asia, Afrika dan Amerika Latin -- yang disebut dengan negeri-negeri dunia ketiga--guna mengeksploitasi  dunia ketiga  dan mengakumulasi modal dunia pertama. Fenomena tersebut dinamai dengan internasionalisasi produksi dan penjualan komoditi: internasionalisasi nilai lebih. "Globalisasi",  internasionalisasi nilai lebih tersebut meningkat sejak abad 19 hingga PD I ( waktu itu ekspor meningkat dari 3 % output seluruh dunia tahun 1800 menjadi 16 % pada tahun 1913).
"Globalisasi" yang sekarang, memiliki watak yang berbeda, dapat disebut sebagai internasionalisasi kekuasaan pengendalian modal. Ia bukan lagi komoditi yang terinternasionalisasi, tetapi kekuatan pengendali modal.  
Modal-modal yang digabungkan (merger), bukan hanya modal-modal kapitalis yang ada dalam satu negeri. Modal-modal yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan yang dari berbagai negeri tersentralisasi dan terkonsentrasi ke dalam badan-badan penentu kebijakan tunggal, secara internasional.  Jadi, monopoli tidak lagi dikuasi oleh modal nasional tetapi internasional; tidak lagi dijalankan  oleh imperialis dari satu negeri, tetapi secara bersamaan dari berbagai negeri. Pendek kata, mari kita rampok dunia ketiga bareng-bareng !!.
Lebih dikenal dengan perusahaan-perusahaan multi-nasional atau Multi National Coorporation (baca MNC). Menurut Laporan Investigasi Dunia 1993 yang diterbitkan oleh PBB, ada sekitar 37.000 perusahaan internasional, yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. 90 % dari perusahaan tersebut  berkantor pusat di negara-negera maju.
Hal tersebut yang digembar-gemborkan oleh para ekonom, pengamat dan Ilmuwan borjuis sebagai "globalisasi" -- konsentrasi nilai yang diproduksi masyarakat dunia ke tangan segelintir multinasional dalam bentuk penyatuan modal bank, finansial dan produksi.
Kekuatan ekonomi perusahaan multi-nasional jauh lebih besar ketimbang di negara-negara nasional. Contohnya, penjualan mereka telah meningkat menjadi 5,5 milliar dollar, 90 % yang dibuat negara imperialis Utara dan hanya 10% dibuat di negara produsen Selatan. Sejalan dengan kekuatan ekonominya, langsung atau tidak langsung, perusahaan multinasional memiliki kekuatan politik tak terbatas melampaui negara nasional, yang dapat menyetir negara-negara, terutama negara dunia ketiga. Trilliunan dollar keluar masuk sebagai gerak internasional modal finansial. Total asset stock of financial assets meningkat dari US $5 trillion di 1980 menjadi US $ 35 trilliun di 1992 dan diharapkan melebihi US $ 80 trilliun pada tahun-tahun belakangan ini -- tiga kali lebih besar dari nilai total barang-barang dan jasa yang diproduksi oleh aktivitas ekonomi negeri-negeri kapitalis maju. Dan hasil "globalisasi": pengukuhan oligarki finansial Amerika -- Rockefellers, Mellons, Morgans, Duponts, Whitneys, Warburgs, Vanderbilts, dan lain-lain-- yang bukan saja menguasai bank-bank dan perusahaan-perusahaan asuransi, namun juga perusahaan-perusahaan industri tidak saja di Amerika, tapi di dunia.
Kekuasaan perusahaan-perusahaan tersebut jauh lebih besar ketimbang negara-negara "induk", apalagi negara-negara dunia ketiga. Mereka tidak hanya mengontrol kebijakan-kebijakan negara-negara induk, tetapi juga dapat mendikte kebijakan-kebijakan negara-negara dunia ketiga; dapat memaksakan utang dan pembayaran utang; memaksakan pergantian sebuah pemeritahan di dunia ketiga, dan sebagainya.

NEOLIBERALISME

Krisis Kapitalisme dan Percobaan Menjawabnya
Kapitalisme akan selalu mengalami pertentangan di dalamnya. Dalam perkembangannya, kapitalisme mengikat massa kelas buruh dalam jumlah besar, dan mengakibatkan pembagian kerja makin meluas. Cabang-cabang industri yang sebelumnya terpisah-pisah, independen satu sama lain, telah dipersatukan dalam produksi yang kait-mengkait. Hubungan-hubungan ekonomi mengikat perusahaan, wilayah, negeri, yang pada perkembangannya makin mendorong terjadinya sosialisasi kerja dan sosialisasi produksi kapitalis yang terus-menerus. Kapitalis memproduksi komoditi yang menguasai hajat hidup orang banyak. 
Inilah basis dari pertentangan yang selalu ada (inheren) dalam kapitalisme: produksi memiliki watak sosial, sementara alat-alat produksi dimiliki secara pribadi. Pertentangan tersebut makin meruncing seiring dengan perkembangan pesat kapitalisme (perkembangan sosialisasi kerja dan perkembangan sentralisasi dan konsentrasi modal) yang bermuara pada krisis kelebihan produksi. Seperti pernah terjadi pada pertengahan akhir abad 19, awal-awal abad 20,  1974-1975, 1980-1983, 1990-1993. Krisis tersebut terjadi karena over produksi komoditi. Penyebabnya dari watak kapitalisme itu sendiri, yang karena didorong motivasi mengeruk laba sebanyak mungkin, ia  berproduksi terus menerus tanpa perencanaan, yang pada gilirannya menurunkan tingkat keuntungan karena komoditi tak terbeli.
Pada awal abad 20, tepatnya pada akhir tahun 1920-an, terjadi stagnasi dan resesi besar-besaran. Kelebihan produksi komoditi secara massal, sementara komoditi tidak terjual akibat daya beli ambruk. Structural overcapacity (kelebihan kapasitas secara struktural) dan pasar uang menyebabkan ledakan spekulasi stock-market. Kapitalisme mencoba mengatasi krisis tersebut dengan jalan meningkatkan tingkat bunga guna menahan laju permintaan kredit konsumsi -- yang akan meningkatkan harga-harga inflatory barang-barang dan jasa-jasa. Namun di tahun 1929 stock-market mengalami kehancuran, harganya merosot   drastis akibat tak terjual. Akibatnya banyak investor dan kreditor bangkrut dan investasi produksi baru menurun. US Federal Reserve tidak bisa lagi mempertahankan sistem perdagangan internasional yang melibatkan bantuan antar-pemerintah secara besar-besaran. Negeri-negeri kapitalis yang saling bersaingan meningkatkan proteksinya.
Pada tahun 1933, di Amerika pengangguran meningkat menjadi 13 juta orang akibat krisis. Krisis sosial-politik potensial siap meledak, yang bukan saja berpengaruh pada Amerika namun juga seluruh dunia. "Liberalisme", "pasar bebas", "persaingan bebas", "tanpa adanya kontrol", yang bermuara pada pengertian kebebasan kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, yang selama ini dianut oleh kapitalisme dengan maestronya Adam Smith dianggap telah mengalami kegagalan.
Datanglah John Maynard Keyness dengan teorinya yang menyatakan bahwa liberalisme bukanlah cara terbaik bagi pertumbuhan kapitalisme. Inti pendapatnya adalah, bahwa full employment (keadaan tanpa pengangguran) adalah hal yang  diperlukan  dalam rangka pertumbuhan kapitalisme. Keadaan tersebut hanya dapat dicapai bila pemerintah dan bank sentral turut campur untuk menurunkan tingkat pengangguran. Menurut Keyness, negara kemudian tidak hanya diharapkan menjaga ketertiban umum berdasarkan perangkat hukum; menyediakan prasarana umum dan sosial yang memadai; melaksanakan program pemberantasan kemiskinan dan ketimpangan sosial -- seperti yang dikatakan oleh Adam Smith - saja; tetapi juga  ikut serta secara langsung dalam investasi di bidang industri. Negara tidak boleh hanya menjadi parasit, tetapi sekaligus juga investor. Ide tersebut mempengaruhi presiden AS, Roosevelt, untuk membuat program New Deal di tahun 1935, program yang ditujukan untuk "meningkatkan kesejahteraan banyak orang", meningkatkan daya beli. Presiden Roosevelt kemudian mendorong administrasinya campur tangan lebih besar dalam kehidupan ekonomi dengan memusatkan perhatiannya dalam menciptakan lapangan kerja secara massal. Pada musim dingin 1933-1934 saja sudah 4 juta orang bisa mendapat lapangan pekerjaan dalam program-program pekerjaan umum, di atas basis anggaran belanja defisit dan Social Security Act of 1935. Apa yang dilakukan oleh Roosevelt dengan New Deal-nya merupakan suatu pengakuan bahwa dalam perusahaan-perusahaan monopolistik dan dominasi modal uang, ekonomi kapitalis membutuhkan intervensi negara, bila hanya mengandalkan mekanisme pasar semata, maka ia akan hancur. Hanya negara yang sanggup melanggengkan kapitalisme. Memang hanya dalam dua tahun, 1936-1937, telah terjadi perbaikan terhadap ekonomi Amerika, bisa menyelesaikan depresi ekonomi, misalnya saja pengangguran bisa ditekan sampai tingkat 4,5 juta  orang (dari 13 juta orang). Namun, pada bulan Maret 1938 pengangguran melonjak kembali menjadi 11 juta orang dan 10 juta orang menjelang Perang Dunia II.
Cara-cara Keynes hanya akan mendorong suatu inflasi harga barang-barang dan jasa-jasa saja bila para investor yang menguasai bisnis (oligarki finasial) tidak bisa memperluas pasar bagi peningkatan produksinya. Selama Depresi Besar tersebut tak ada perluasan pasar seperti yang mereka harapkan itu, itulah mengapa keampuhan kebijakan Keynesian sangat terbatas.
Hanya perang atau persiapan perang yang dapat memperluas pasar: pembelian barang-barang kebutuhan perang oleh pemerintah. Terdorong oleh perang dan peningkatan persenjataan, seluruh cabang produksi mengalami revolusi teknologi -- terutama penemuan-penemuan peralatan-peralatan teknologi yang mempercepat otomatisasi proses produksi. Revolusi teknologi inilah yang menyebabkan berlipatgandanya profit karena bisa menghemat ongkos produksi barang-barang. Penghematan ini, memungkinkan penjualan barang menjadi lebih murah, dengan konsumen yang lebih besar. Dengan perang, sektor-sektor produksi yang tidak penting dan membuang biaya besar telah dihancurkan.
Paska perang dunia, pada tahun-tahun 1950-an-1970-an dunia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, hanya terjadi resesi kecil pada tahun 1960-an. Periode ini sering dijuluki banyak kalangan dengan "jaman keemasan". 
Apa daya, "Jaman keemasan" telah berakhir, dunia kembali tersungkur dalam resesi. Krisis kelebihan produksi secara periodik terjadi kembali. Diawali pada tahun 1973-1975 dengan indikasi stagnasi  panjang dan pertumbuhan ekonomi yang lambat. Ukuran stagnasi panjang tersebut adalah lambatnya perkembangan produktivitas kerja. Pertumbuhan produktivitas kerja AS, misalnya, selama 25 tahun belakangan adalah rata-rata 1 % per tahun, padahal 25 tahun sebelumnya rata-rata 2 %. Indikasi lain bahwa resesi makin dalam adalah statistik ekonomi dunia. Antara 1970-1990 rata-rata pertumbuhan ekonomi  sebesar 3,5 %. Selama  dasawarsa 70-an ada 8 tahun pertumbuhan di atas rata-rata tersebut dan 2 tahun di bawah rata-rata, selama dasawarsa 80-an ada 5 tahun di atas rata-rata, 4 tahun di bawah rata-rata.
Pada dasawarsa 1990-an AS, yang telah menjadi negeri imperialis besar, meraih keuntungan besar (boom) karena ekspor dan penurunan upah riil buruh. AS mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik pada tahun 1997 karena ekspornya. Namun, pertumbuhan tersebut terjadi di tengah-tengah ekonomi dunia yang sedang mengalami resesi. Dalam perkembangannya, ekspor AS menurun karena resesi, justru imporlah yang naik karena perubahan nilai pertukaran mata uang. Sumber dari boom yang selama 8 tahun tersebut bukan hanya karena penurunan tingkat upah -- yang berarti kaum buruh kalah -- dan kompetisi pasar internasional, tetapi juga karena ledakan spekulasi di bursa saham AS.  Tapi, pada bulan Agustus 1998 bursa saham AS jatuh (Allen Mayer, 1999).
Serupa dengan AS, Jepang pernah mengalami booming hingga tahun 1995 karena ekspor Jepang meningkat, namun pada tahun 1998 terjadi stagnasi, ditunjukkan dengan angka penggangguran di Jepang (negeri yang dikenal tidak ada pengangguran) yang meningkat hingga 4,1 %. Selain itu, beberapa industri dan bank juga tengah mengalami kebangkrutan, sehingga pemerintah Jepang mengeluarkan Paket Kebijakan Penyelamatan (Allen Mayer, 1999). Sementara, di Eropa stagnasi mulai terjadi pada tahun 1997-1999. Salah satu penyebabnya adalah boom AS. 
Negeri-negeri Asia selain Jepang jauh lebih parah. Tujuh chaebol (pengusaha besar) bangkrut di Korea Selatan, Thailand mengalami kejatuhan mata uang, sedangkan Indonesia tak pelak menjadi  negeri yang paling buruk tertimpa krisis.
Di Amerika Latin, krisis terjadi antara tahun 1981-1985 yang ditandai dalam penurunan pendapatan perkapita nasional, jatuhnya perdagangan, jatuhnya aliran masuk modal pinjaman dan investasi, dan ketidakmampuan membayar utang luar negeri serta  krisis mata uang.  
Di Meksiko, salah satu negeri di Amerika Latin, tak luput dari hempasan krisis. GDP yang pada dekade tahun 1970-1979 rata-rata 6,4 %, menurun menjadi 1,35 % antara tahun 1980-1989. Utang luar negeri dari 530 juta peso di tahun 1970 naik menjadi 700.000 juta peso di tahun 1995. Tahun 1982 Bank of Meksiko bangrut, Meksiko tak mampu membayar utang nasional. Jatuhnya harga minyak mempercepat pula ambruknya sistem keuangan Meksiko.
Dalam kondisi krisis over produksi, modal mengalami kejenuhan, tidak produktif dan mengalami kelebihan kapasitas. Modal tidak dapat lagi diinvestasikan dalam produksi, karena ia akan mati. Modal harus "dibuang", inilah awalnya. Mari kita rampok lagi dunia ketiga, begitu kira-kira.
Pada pertengahan tahun 1980-an, dengan dipimpin oleh IMF dan World Bank, diperkenalkan sebuah kebijakan baru dalam pembangunan ekonomi, yang disebut dengan New Ortodoxy. Kebijakan inilah, yang kemudian disebut sebagai neoliberalisme.
Kata “neoliberalisme”, sebenarnya, merujuk pada prinsip-prinsip gagasan liberal klasik yang dicetuskan oleh Adam Smith. Sistem doktrinnya dikenal dengan “Washington Consensus” yang diprakarsai oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional. Bedanya dengan liberalisme lama, dalam neoliberalisme ini yang mengalami internasionalisasi adalah kekuatan pengendali modal.
Pada intinya, neoliberalisme yang merupakan jawaban dari krisis ekonomi memiliki pengertian pokok sebagai berikut: swastanisasi terhadap perusahaan-perusahaan negara, liberalisasi arus perdagangan dan modal,  deregulasi sektor-sektor swasta,  penghapusan subsidi,  peniadaan kontrol harga,  pemotongan atas program-program sosial dan sebagainya.
Kebijakan neoliberal termanifestasi dalam berbagai bentuk program, seperti SAP (Structural Adjustment Program), dan dalam kasus Indonesia, Letter of Inten (LoI).
Benarkah --seperti  dikatakan  para ekonom dan politisi borjuis-- bahwa neoliberalisme menghilangkan campur tangan negara terhadap pasar? Sama sekali tidak. Negara merupakan alat bagi kepentingan kapitalisme. Makna menghilangkan campur tangan negara adalah bahwa negara-negara berkembang (dunia ketiga) diperlemah: tidak adanya peraturan-peraturan yang akan mengganggu arus perdagangan dan modal di dunia ketiga bagi keuntungan imperialis -- karena modal harus segera "dibuang". Di sisi lain, imperialis tetap memakai kekuasaan bersenjatanya untuk memaksakan kebijakan-kebijakan mereka terhadap dunia ketiga, seperti Perang Teluk yang telah berlangsung sekian lama, Krisis Balkan, dan campur tangan AS terhadap negara-negara di Amerika Latin. Bahkan di dunia pertama, di Inggris tepatnya, pada era paska pemerintahan Tatcher pajak yang diambil pemerintah meningkat dibandingkan dengan era Tatcher.
Menghilangkan proteksionisme berarti  proteksi sini, tidak untuk sana. Faktanya, di negara dunia ketiga tidak boleh menjalankan kebijakan proteksionisme terhadap industri lokalnya. Sementara, negara-negara maju menjalankannya. Sebagai contoh, NAFTA, didirikan sebagai proteksi terhadap kecenderungan demokratisasi di Meksiko dan para kompetitor dari Eropa dan Asia Timur.
Pemangkasan subsidi artinya dihilangkannya subsidi-subsidi untuk publik yang dianggap tidak efisien dan dialihkan untuk subsidi terhadap para kapitalisme besar.
Demikian halnya dengan "perdagangan bebas", yang maknanya bebas untuk kami, tidak bebas untuk  kalian. "Kompetisi Bebas", justru sebaliknya. Salah satu jawaban dari krisis over produksi adalah dengan meningkatkan monopolisasi, dengan menghapuskan kompetitor-kompetitor di dunia ketiga dan juga lewat pengambilalihan dan penggabungan modal.
Liberalisasi perdagangan dan arus modal, artinya, pengurangan bea tarif impor, untuk mempermudah arus komoditi dan modal dari dunia pertama ke dunia ketiga.
Krisis ekonomi, menurut imperialis, tidak dapat lagi diatasi hanya dengan eksploitasi dunia ketiga semata. Modal harus terus ditanamkan di dunia ketiga, pasar di dunia ketiga harus terus dibuka dan dihilangkan seluruh hambatan-hambatannya. Upaya jahat tersebut, sekali lagi, dipermudah melalui program-program neoliberalisme.
Lantas, mengalirlah modal besar-besaran dari dunia pertama ke dunia ketiga, dipelopori di Amerika Latin. Keyness sudah usang. Yang dibutuhkan oleh imperialisme bukan keadaan full employment, akan tetapi angka pengangguran, agar nilai posisi tawar buruh tetap terjaga rendah.
                       
Kegagalan Neoliberalisme
Kebijakan neoliberal yang coba diterapkan sejak awal tahun 1980-an di Amerika Latin, sebagai upaya untuk mengatasi krisis, ternyata gagal. Memang, ada peningkatan ekonomi di negara-negara kapitalis maju pada periode tahun 1980-1982, dan nampaknya resep neoliberal sudah jalan. Namun, pada periode 1990-1993, pengangguran meningkat tajam, mencapai angka resmi 8 % di negara-negara tersebut (Lorimer, 1998). Berikut adalah  negeri-negeri  di Amerika Latin  yang terkena dampak terparah dari kebijakan neoliberal:

 

Meksiko

Sejak awal tahun 1980-an, demi mengatasi krisis ekonomi, pemerintah Meksiko menjalankan kebijakan neoliberal yang didesakkan oleh IMF dan Bank Dunia, diantaranya adalah program-program pengurangan pengeluaran publik (termasuk  sosial), penghapusan subsidi, pembatasan kredit, swastanisasi perusahaan-perusahaan negara, liberalisasi perdagangan, dan liberalisasi harga. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat berat bagi rakyat Meksiko. Bukannya menyelesaikan krisis ekonomi, sebaliknya justru memerosokan  rakyat Meksiko ke jurang kemiskinan. Kemiskinan, tingginya angka kematian selalu menghantui rakyat Meksiko, baik petani  kecil yang tinggal di pedesaan maupun mereka yang tinggal di kota, kaum miskin kota.
Pada umumnya, kebijakan neoliberal mendorong pemotongan subsidi di sektor-sektor "non-produktif", termasuk di dalamnya adalah pengurangan subsidi di sektor kesehatan. Demikian halnya program pengurangan subsidi di sektor pendidikan dipaksakan di Meksiko. Selama dekade 1980-an, akibat pengurangan yang terus menerus, subsidi dana kesehatan berkurang dari 4,7 % menjadi 2,7 %. Akibatnya jasa pelayanan kesehatan menjadi mahal. Hal yang mengerikan terjadi adalah  pada   tahun 1980 hingga 1992 angka kematian di Meksiko meningkat hampir 3 kali lipat, bahkan mencapai 30.000 orang pertahun pada 1995. Hingga bulan September 1995, tercatat 80 anak usia di bawah satu tahun meninggal setiap harinya akibat kekurangan gizi.
Dapat dibayangkan, pada tahun berikutnya, Meksiko akan mengalami krisis generasi. Memang, pemerintah merencanakan akan menaikkan subsidi di sektor kesehatan hingga tahun 2000. Toh, kenaikan ini tampaknya tak cukup mampu mengembalikan  keadaan.
Sektor pendidikan pun mengalami pemotongan subsidi serupa. Mahalnya biaya pendidikan membuat jumlah anak yang bersekolah hingga ke jenjang pendidikan lanjut menyusut.Antara tahun 1982 hingga 1990, dana untuk pendidikan merosot  5,5 % dari GDP ke 2,5 %. Harga buku-buku pun merangkak  naik dan tak terjangkau lagi oleh  keluarga miskin. Terpaksa , anak-anak pun harus  bekerja untuk  membantu kesulitan ekonomi keluarganya. Wilayah San Miguel tercatat sebagai wilayah terparah untuk kasus ini.
Liberalisasi  perdagangan pun  memukul   telak sektor pertanian. Untuk menarik penanaman modal asing presiden Salinas sejak pertengahan tahun 1980-an mengeluarkan sebuah kebijakan di sektor  pertanian, yang membuat  para petani terpaksa menjual atau menyewakan tanahnya. Negosiasi dengan NAFTA tentang reformasi ekonomi menyepakati penurunan tarif impor maksimum dari 100 % menjadi 20 %.  Padahal selama ini,  tarif impor telah melindungi petani Meksiko dari limpahan  komoditi impor, terutama  dari Kanada dan AS yang jauh lebih murah. Akibatnya, produk-produk pertanian asing yang murah dan kualitasnya lebih baik, membanjiri pasar-pasar Meksiko. Inilah awal dari malapetaka yang berkepanjangan di wilayah Chiapas, Selatan Meksiko yang paling parah  kondisinya. Selama beberapa tahun,  jutaan petani kecil dan buruh tani telah kehilangan tanah dan pekerjaannya,  sehingga  terjadilah  arus urbanisasi besar-besaran. Selain, banyak juga yang nekat meninggalkan Meksiko  menuju perbatasan  mencari penghidupan  sebagai  imigran gelap.
Industri kecil dan menengah domestik  di kota  tak  luput  dari  kehancuran  lantaran  kalah bersaing  dengan AS dan Kanada. Termasuk juga kaum buruhnya. Setiap hari, sejak tahun 1995, tercatat  hampir 8.000 buruh kehilangan pekerjaan.
Sejak swastanisasi dijalankan oleh pemerintah Miguel de la Ma Dewan Rakyat id pada awal tahun 1980-an, kemudian diteruskan oleh pemerintahan Salinas dan Zedillo, jumlah perusahaan negara telah berkurang  dari 1.155 di tahun 1987 menjadi  232  pada tahun 1992. Sebagian besar diantaranya  dibeli oleh modal asing. Sebelumnya  pemerintah memberikan  tawaran-tawaran yang menggiurkan di antaranya adalah  upah buruh  yang murah. Antara tahun 1982 - 1988 upah riil buruh menurun 53 %, tahun 1988-1994 sebesar 28 %, dan 13 % pada tahun 1995. Di luar itu adalah  dilakukannya pemecatan-pemecatan dengan alasan politik, yakni bahwa  buruh-buruh menentang program swastanisasi. Sedikitnya 500.000 lapangan pekerjaan telah hilang (padahal setiap tahunnya Meksiko membutuhkan 1 juta lapangan pekerjaan untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduknya). Inilah  cara-cara  untuk mempertahankan  rendahnya kekuatan tawar buruh.
Mata uang peso pun ambruk pada  pertengahan tahun 1990an. Angka kemiskinan meroket tajam. Selama hampir 15 tahun  rata-rata hampir 700.000 orang jatuh miskin setiap tahunnya. Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin di Meksiko sebesar 42 juta, sementara jumlah penduduk yang sangat miskin mencapai 18 juta.
Agaknya, sulit bagi rakyat Meksiko beranjak dari kemiskinan. Di satu sisi kebijakan-kebijakan pemerintahnya telah membawa akibat kemundurun ekonomi; di sisi lain Meksiko harus menanggung utang luar negeri yang berat. Padahal utang luar negeri hanya dapat dibayarkan melalui ekspor, yang justru telah menurun sejak 1997  akibat tak  cukup dana.
 
Nikaragua
Tahun 1990-an merupakan masa transisi bagi Nikaragua. Dengan berakhirnya perang kontra dan blokade ekonomi AS, pemerintahan Violeta Chamoro   telah berdiri dengan tujuan-tujuan yang berbeda dari sebelumnya, Sandinista. Pemerintahan  baru ini secara aktif mengajukan program rekonsiliasi politik dan reformasi ekonomi. Ia  juga memajukan kebijakan ekonomi pasar bebas, yang merupakan  paket dari IMF dan Bank Dunia. Kebijakan tersebut telah membawa Nikaragua jatuh  pada  kemiskinannya.
Krisis diawali pada 1990an.Pemerintahan Sandinista telah berupaya membangun sebuah ekonomi campuran, negara dan swasta, termasuk produksi kecil sembari meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ada beberapa  hasil, seperti perbaikan ekonomi, tetapi  timbul  juga masalah-masalah signifikan. Tahun 1987, dengan jatuhnya harga kopi internasional dan meningkatnya biaya militer berkaitan dengan perang.  Sandinista terpaksa memperkenalkan serangkaian tindakan stabilisasi untuk mengurangi  tingginya  inflasi dan merestorasi keseimbangan.
Program tersebut, termasuk pemotongan pengeluaran pemerintah di bidang pelayanan sosial. Program penyesuaian lebih massif dilakukan oleh pemerintahan Chamoro. Pada tahun 1990 Nikaragua memperluas program neoliberal dengan swastanisasi. Sama halnya dengan Meksiko, program liberalisasi sektor finansial dan pengurangan subsidi sektor publik diperkenalkan. Namun kebijakan tersebut  harus dibayar mahal. GDP perkapita dalam tahun 1993 jatuh  73 % dari rata-rata  tahun 1985-1989, sementara investasi mengalami penurunan sebesar 63 %. Tahun 1994,  GDP menurun  lagi sebesar 3,2 %. Rakyat Nikaragua  juga  terancam kekurangan  gizi  dan angka  keamtian  cukup tinggi. Hampir 300.000 buruh yang bekerja di sektor publik kehilangan pekerjaan sejak tahun 1990.
Para petani kecil dan menengah  juga  harus terjungkir oleh kebijakan pemotongan subsidi  pertanian sebesar 63%. Produksi industri berkurang jika dibandingkan dengan selama tahun 1985-1989. Defisit perdagangan meningkat dari 304 juta US dollar di tahun 1989 menjadi 433 US dollar di tahun 1994, karena naiknya nilai impor naik akibat liberalisasi perdagangan. 
Perempuan juga korban terbesar  dari  swastanisasi perusahaan, karena lebih dari 70 % pekerjaan yang disediakan pemerintah mempekerjakan perempuan. Industri  tekstil dan  garmen yang  memiliki modal kecil kalah dan digantikan dengan pabrik-pabrik yang beroperasi dalam kerangka pasar. Perempuan yang kehilangan pekerjaan terpaksa mencari pekerjaan di sektor-sektor informal. Sebesar 75 % pendapatan perempuan menurun jika dibandingkan dengan laki-laki yang turun sebesar 65 %.
Penurunan juga terjadi  pada upah  buruh, pada tahun 1993 tercatat upah riil buruh hanya 59 % dari upah mereka di tahun 1980. Pada tahun 1991, upah riil buruh dapat memenuhi 92 % dari kebutuhan, namun di tahun 1993 hanya memenuhi 67 % dari kebutuhan. Menurut data  Perserikatan Bangsa-Bangsa, 75 % rakyat Nikaragua hidup dalam kemiskinan.

Chili
Chili adalah negeri pertama yang menjalankan program neoliberalisme dengan paket swastanisasi yang  massif dan meluas. Kebijakan neoliberlisme dicoba diterapkan di Chili pada pertengahan tahun 1970-an.
Perusahaan-perusahaan yang dimiliki secara  kolektif  oleh rakyat telah ada sebelum tahun 1970, tepatnya ketika Chili dipimpin oleh presiden Sosialis, Salvador Alllende dan telah memainkan peran penting dalam pembangunan infrastruktur dan penyediaan kredit dan perlindungan tarif demi pembangunan industri lokal dan kesejahteraan rakyat.
Program swastanisasi terhadap perusahaan-perusahaan publik  tersebut mulai dilakukan setelah jatuhnya pemerintahan Allende oleh kudeta militer Pinochet pada tahun 1973. Agenda swastanisasi  dijalankan melalui dua gelombang. Gelombang pertama antara tahun 1975 hingga 1982 dengan  dengan penjualan bank-bank yang sebelumnya menjadi milik rakyat. Dalam banyak kasus bank-bank tersebut dibeli oleh segelintir keluarga kaya yang telah mendominasi keuangan dan industri Chili selama setengah abad  sebelumnya. Gelombang kedua antara tahun 1985 hingga Pinochet menyerahkan kekuasaan di tahun 1990..
Dengan jatuhnya keuangan dan resesi di tahun 1981, ideologi pasar bebas mendominasi di Chili,  mendorong swastanisasi dijalankan. Rakyat telah banyak kehilangan bank-bank yang selama ini berperan dalam penyediaan kredit. Sejalan dengan desakan IMF dan Bank Dunia, pemerintah  mengambil alih bank-bank yang telah jatuh akibat krisis. Dari 19 bank yang telah dijual kepada pihak swasta pada tahun 1970-an, hanya 5 bank yang kembali ke tangan pemerintah. Pada tahun 1985 kembali pemerintah menjual kepada pihak swasta.
Gelombang kedua swastanisasi dimulai pada akhir tahun 1985, ketika pemerintah memperkenalkan program swastanisasi terhadap seluruh sisa perusahaan-perusahaan publik, yang masih termasuk enam dari sepuluh perusahaan terbesar di Chili.
Konsekuensi dari swastanisasi adalah upah buruh murah dan pengekangan terhadap hak-hak kaum buruh. Pada tahun 1980 undang-undang perburuhan dihapuskan, para pemimpin serikat buruh  buruh yang menentang swastanisasi mengalami intimidasi dan beberapa kasus mereka disogok. Pada awal swastanisasi gelombang kedua, para pemimpin serikat buruh berupaya kembali mengorganisir perlawanan, namun gerakan tersebut dilibas dengan keras oleh pemerintah pada pertengahan tahun 1980-an.
Pada tahun 1988 pendapatan per kapita dan upah riil buruh tidak jauh berbeda dari tahun 1973,  dengan angka  pengangguran rata-rata 15 % antara tahun 1975 dan 1985 (dengan puncaknya mencapai 30 % pada tahun 1983). Antara tahun 1970 dan 1987 angka kemiskinan meningkat dari 17 % menjadi 38 %. Antara tahun 1979 dan 1988 bagian terkaya dari penduduk Chili dapat meningkatkan pendapatannya dari 36 % menjadi 46,8 % dari pendapatan nasional. Sedangkan bagian termiskin turun dari 20 % menjadi 16,8 % (Atilio A. Baron: 1999). 
Tak beda dengan kasus di negara lain,  angka kemiskinan  pun cenderung naik dari tahun.
Umumnya, problem yang dihadapi oleh rakyat Amerika Latin adalah kemiskinan. Neoliberalisme tidak memperbaiki  nasip mereka, justru makin menyengsarakan rakyat.  Hanya  para  oligarki finansial internasional yang  mengais  keuntungan, karena perdagangannya terus mengalami surplus, selain itu  mereka dapat mengambil alih perusahaan-perusahaan penting di dunia ketiga (dalam kasus Chili dan Nikaragua perusahaan-perusahaan tersebut sebelumnya dimiliki oleh rakyat secara kolektif, kini dijual kepada perusahaan multi-nasional).  Demikian halnya dengan program deregulasi,  kini  perusahaan-perusahaan multi-nasional yang beroperasi di dunia ketiga,   tak lagi   menghadapi hambatan undang-undang dan peraturan negara.
Neoliberalisme adalah program yang dipaksakan oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional, demi menjamin aliran modal dan perdagangan lancar. Jika tidak lancar, krisis ekonomi periodik  akan menghantam mereka.                                   
           
Perlawanan Terhadap Neoliberalisme
Sesungguhnya, perlawanan menentang neoliberalisme di berbagai  belahan negeri cukup banyak memberi contoh.  Di Amerika Latin elemen-elemen penting kaum buruh masih tetap dalam oposisi terhadap kebijakan neoliberal. Di Brazil, oposisi dan perlawanan gerakan buruh membawa kepada pembentukan partai buruh (PT). Pada bulan April 1994, pada pemilihan umum di Argentina, gerakan buruh yang mendukung penuh united left (aliansi kiri) menjadi kekuatan dominan di Buenes Aires, yang mengancam kebijakan pasar bebas. Di Chili sejak tahun 1990, setelah mengalami demoralisasi tahun 1983-1986, organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok rakyat mulai memobilisasi perlawanan.  Misalnya, pada tanggal 14 Juli 1999, lebih dari 6.000 buruh pelabuhan dan para keluarganya berdemonstrasi di Valparaiso, memprotes  melimpahnya pengangguran dan menentang rencana pemerintah  menjual fasilitas-fasilitas milik negara. Demonstrasi berlangsung selama 24 jam, dengan didukung oleh para supir truk, dosen dan mahasiswa. Terhadap demonstrasi tersebut, presiden Chili Eduardo Frei dengan arogan  menyatakan "pemerintah tetap pada pendiriannya"
Rakyat Nikaragua  pun  tidak pernah pasif menghadapi neoliberalisme. Sejak tahun 1990-an, pada awal-awal kebijakan tersebut dijalankan, serangkaian pemogokan dan demonstrasi buruh  terjadi. Paling dramatis terjadi pada bulan Agustus 1994, ketika seluruh kaum  buruh di sektor transportasi protes atas naiknya harga minyak. Selama 8 hari mereka mengambil alih distribusi minyak.
Sandinista, yang sebelumnya memerintah Nikaragua,  pun aktif melakukan perlawanan. Pada tahun 1992, banyak eks gerilyawan yang  bergabung kembali, dan mereka  melakukan  serangan militer dengan tuntutan perubahan politik dan ekonomi pada 1994.       
Sejak tahun 1989 hingga 1999 federasi-federasi besar serikat-serikat buruh di Brazil, Bolivia dan Ekuador telah memobilisasi pemogokan-pemogokan nasional menentang kebijakan neoliberal, berkoordinasi dengan protes-protes jalanan, rally dan mobilisasi besar penduduk asli. Di Brazil, pada  Februari 1998 sejumlah  4.000 buruh  mogok  menentang rencana parlemen untuk memotong anggaran di bidang keamanan dan pelayanan sosial. Bentrokan antara buruh  dan aparat  pun terjadi. Pada hari yang  sama, sekitar  10.000  buruh  di Sao Paulo turun ke jalan dengan tuntutan yang sama. Sementara pada bulan Agustus 1999, puluhan ribu supir truk melakukan  mogok nasional, menentang kenaikan harga minyak. Perlawanan-perlawanan tersebut telah membuat pemerintah terdesak dan menawarkan berbagai konsesi.
 Pada 1994, para petani Indian Maya, penduduk asli Meksiko,  dengan dipimpin oleh Zapatista (sebuah organisasi perjuangan gerilya revolusioner) melakukan pemberontakan dan  mengambil alih Chiapas, sebuah negara bagian di bagian Selatan Meksiko  di dekat   perbatasan dengan Guatemala, dan dikenal sebagai daerah termiskin  sekaligus  terbanyak  penduduk aslinya. Revolusi Meksiko  tahun 1910-1917, yang membawa reformasi sosial dan pertanian, meluas ke Chiapas; yang tetap dalam kontrol sekelompok kecil elit oligarki tuan tanah dan mesin politik partai penguasa, PRI. Pada tahun 1970 terjadi perubahan cepat di Chiapas. Pertama, ada perkembangan yang Dewan Rakyat amatis dan eksploitasi minyak, yang membawa akumulai modal secara masif. Perkembangan lainnya, adalah dijalankannya reformasi agraria untuk kebutuhan pembangunan dam, perkebunan dan industri. Eksploitasi minyak tersebut menyebabkan sengsara petani.
Sekitar tahun 1983-1984, sekelompok kecil kaum kiri revolusioner datang ke Chiapas dan  mendorong perjuangan gerilya. Mereka kemudian membangun jaringan dengan para petani. Kemenangan partai penguasa  atas pemilihan Presiden makin memperluas kebijakan neoliberal di Meksiko.
Peristiwa-persitiwa tersebut mendorong EZLN (Zapatista), membangun basis perjuangan gerilya yang luas. Pada 1 Januari -bertepatan  dengan menguatnya NAFTA -- Zapatista mulai melakukan pemberontakan di Chiapas. Dua belas hari pertempuran, dan pemerintah  pun  terdesak. Kemudian EZLN mengambil alih daerah-daerah penting di Chiapas, dan mulai mengadakan perundingan damai dengan pemerintah. Terpaksa, pemerintah Meksiko  harus menyepakati konsesi di seputar demokratisasi -- apa yang disebut oleh Zapatista sebagai "perdamaian dengan martabat dan keadilan". Kegagalan  fatal   kaum kiri di Meksiko adalah  ketika mereka mengalami kekalahan pada pemilihan Presiden tahun 1994.
Meksiko  kembali  mengalami  kejatuhan finansial dan depresi ekonomi  pada 1995.Akibatnya  pemerintah harus  kembali memperluas program neoliberal. Pada bulan Februari 1995,  secara tiba-tiba  pemerintah  melancarkan serangan militer terhadap EZLN. Dimulailah perang di Chiapas. Kekerasan militer terhadap rakyat, kekerasan para-militer, pasukan pembunuh dan penghancuran tanaman pertanian terjadi. Sementara negosiasi antara pemerintah Meksiko dengan EZLN terus berlangsung, dan pada bulan Januari 1996, sebuah persetujuan dengan hak-hak penduduk asli ditandatangani. Namun,  kembali pemerintah Meksiko tidak pernah mematuhinya. Justru,  perang  makin merajalela di Chiapas. Pada akhir tahun EZLN memutuskan untuk memperluas perang melawan pemerintah Meksiko.
Zapatista merupakan sebuah gerakan revolusioner yang berbasiskan penduduk asli dan petani. Gerakan mereka dibangun dengan sebuah institusi militer yakni EZLN, dan institusi komunitas petani (dan juga komunitas kota) yang secara aktif mendukung dan menentukan kebijakan umum gerakan. Sementara peran institusi militernya tunduk pada wewenang komunitas.
Perjuangan Zapatista akan reformasi sosial, ekonomi dan agraria, mendorong pengambilalihan tanah-tanah oleh para petani, dan memenangkan hak penduduk asli terhadap demokrasi dan otonomi.  Dengan kemenangan pemerontakan  pada 1994, perjuangan mereka kini telah berubah dari bawah tanah menjadi  secara  terbuka  menentang neoliberalisme.  Tuntutan akan  hak demokrasi dan otonomi misalnya,  adalah bagaimana penduduk asli dan para petani dapat mengelola sendiri ekonomi dan politik daerah-daerah yang dikuasai. Tanah-tanah dan industri kini menjadi milik kolektif penduduk setempat, mereka berproduksi dan mendistribusikannya secara kolektif. Sementara, di bidang politik, mereka dapat memilih wakil-wakil di legislatif secara langsung. Bahkan memilih walikota sekali pun.
Tidak hanya Zapatista kaum buruh di kota-kota pun  dengan  aktif melakukan  perlawanan. Seperti buruh pertambangan Canena pada 1985,  yang menentang swastanisasi, yang  menyebabkan  banyak pemecatan. Dukungan  pun meluas,  dari kelompok perempuan, gereja, dan serikat-serikat buruh lainnya.
Gerakan  terdsebut  tidak hanya   dilakukan  secra  spontan tetapi juga terorganisir dan berkesinambungan. Setiap  tahunnya kaum buruh di Meksiko memperingati  hari buruh sedunia (May Day) pada tanggal 1 Mei dengan menggalang  rally dan  demonstrasi. Pada  1 Mei 1998,  sejumlah  100.000 kaum buruh terlibat dalam demonstrasi  yang dipimpin oleh UNT (National Workers Union),  sebuah Serikat Buruh independen,  yang mengajukan tuntutan perubahan kebijakan ekonomi, kenaikan upah, penghapusan praktek-praktek serikat buruh koorporatis, demokratisasi dan otonomi serikat buruh. Tidak hanya tuntutan  buruh tetapi  juga penolakan  terhadap  program  swastanisasi.
Berulang tepat  setahun  berikutnyam,  sekitar 100 organisasi buruh menggelar demonstrasi besar yang melibatkan sekitar 250.000 buruh. Mereka menentang reformasi perburuhan  yang  dijalankan  pemerintahan Meksiko, dan menentang swastanisasi perusahaan listrik. Demonstrasi tersebut berlangsung beberapa hari dengan dihadiri oleh beberapa perwakilan Zapatista, dan didukung oleh puluhan ribu mahasiswa.
Lebih maju lagi, sebuah organisasi politik didirikan oleh UNT, Gerakan Sosial Buruh, dan saat ini tengah mengadakan kampanye di seluruh wilayah dengan agenda terbentuknya "sebuah partai buruh".
Sementara, sebuah aliansi yang melibatkan banyak kelompok gerakan kiri di Meksiko mengambil bagian perjuangan menentang neoliberalisme, dengan tuntutan-tuntutan yang lebih politis.Mereka mengadakan  sebuah rally  yang  melibatkan hampir 100.000 massa. Dinamakan Intercindical, mereka  terdiri dari beberapa  serikat buruh kiri, buruh-buruh yang telah dipecat, kaum buruh perkebunan,  para pekerja pemerintahan federal dan Zapatista.
Tuntutan  politik yang  diajukan adalah penolakan terhadap utang Meksiko, pembebasan seluruh tahanan politik, dan menentang kebijakan pemerintah di Chiapas. Kedua kelompok gerakan radikal ini mencoba membuka dialog diantara mereka, karena ada berbagai kesamaan tuntutan.
Semua  sektor   rakyat  di Meksiko memberikan perlawanan keras terhadap neoliberalisme. Beberapa hari sebelum May Day, tepatnya tanggal 30 April 1999, mahasiswa dari National Autonomous University of Mexico (UNAM) menggelar pemogokan umum yang melibatkan lebih dari 250.000 massa mahasiswa. Pemogokan berlanjut hingga tanggal 5 Mei yang meluas ke universitas-universitas di seluruh negeri (18 negara bagian). Perlawanan mahasiswa tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah Meksiko yang  menaikkan biaya kuliah dan swastanisasi pendidikan.
Setelah 10 jam sidang, sebuah badan koordinasi telah menyetujui beberapa daftar tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan tersebut termasuk, 8 % GDP untuk pendidikan, dengan 2,5 % untuk pendidikan yang lebih tinggi, penghapusan ikatan dengan National Center of  Evaluation, demokratisasi kampus.
Demonstrasi  berlangsung setiap  hari, dan  dukungan  pun mengalir  termasuk  dari kaum buruhnya. Misalnya Serikat Buruh Listrik telah mencetak 100.000 selebaran atas nama gerakan  UNAM untuk didistribusikan selama May Day. Sementara Serikat Buruh Universitas UNAM sendiri telah memberikan sumbangan sebesar 20 peso dari setiap buruhnya, totalnya 50.000 peso.
Pada tanggal 7 Mei, ribuan anggota organisasi kaum miskin kota, Francisco Villa Popular Front dan Urban Movement melakukan rally melewati bagian Selatan Mexico City menuju UNSM untuk mendukung pemogokan umum mahasiswa. Mereka meneriakkan yel-yel seperti "pendidikan sekarang untuk anak-anak buruh, pendidikan nanti untuk anak-anak borjuis.”

 

NEOLIBERALISME    DI INDONESIA


Krisis Ekonomi

            Apa yang terjadi pada akhir tahun 1997 sungguhlah   mencengangkan, banyak negeri di Asia tiba-tiba saja  diguncang badai krisis. Pertumbuhan 7-8 % per tahun, Asian Miracle dan sebagainya yang selama puluhan tahun dipuji-puji oleh banyak pejabat, IMF, dan  ekonom-ekonom liberal lenyap dalam sekejap. Di Indonesia, nilai rupiah merosot drastis sebesar 85 % (antara Juli dan Februari 1998, bahkan pernah nilai rupiah menyentuh angka Rp. 16.000 per 1 US dollar). Industri, terutama yang berbahan baku impor dan modalnya diperoleh dari hutang luar negeri,  gulung tikar. Puluhan juta buruh kehilangan pekerjaan akibat PHK,  harga-harga barang melambung lebih dari 100 %,  inflasi  terjadi hingga 77,6 % dari satu tahun sebelumnya. Krisis, yang oleh banyak ekonom borjuis disebut krisis moneter, telah menyebabkan pendapatan per kapita merosot dari 1.200 US dollar menjadi 500 US dollar. Dampak sosial paling mencolok  adalah jumlah penduduk miskin yang berlipat  menjadi hampir 80 juta orang. Ini adalah data  terakhir BPS.
            Akibat terpaan krisis tersebut,  tingkat kesejahteraan rakyat pun merosot jatuh. Daya beli  menurun,  sementara harga-harga barang menukik tajam, jauh tak terjangkau oleh mayoritas rakyat. Hilangnya  satu  generasi lantaran  tak sanggup mengkonsumsi gizi  yang  cukup serta  mahalnya   harga obat-obatan, menjadi  satu kekhawatiran baru.
Lantas, bagaimana upaya pemerintah untuk  keluar dari kemelut krisis maha dahsyat  ini ? Bagaimana strategi mereka dalam membebaskan rakyat dari himpitan menyesakkan ini ? Pemerintahan Soeharto, Habibie, maupun pemerintah  baru Gus Dur-Mega mempunyai cara pandang, analisa dan strategi yang sama dalam menyikapi hal tersebut. Pertama, bahwa krisis disebabkan oleh KKN dan konglomerasi yang lahir dari proses kroni-isme, kedua,   krisis ini sangat lokal sifatnya.
Pandangan serupa juga  dimiliki  oleh modal internasional, yang  diwakili oleh IMF. Ditambah lagi dengan  pandangan  rasialis  IMF yang  menyebut bahwa krisis yang menimpa Indonesia (dan Asia pada umumnya) merupakan krisis yang khas Asia, yaitu, cara orang Asia berbisnis yang sarat dengan praktek KKN. 
Krisis ekonomi  telah menyebabkan ambruknya  bangunan sistem ekonomi Indonesia. Sektor riil terseok-seok, perbankan nasional terpuruk  dahsyat,   tekanan terus-menerus terhadap nilai rupiah,  dan tingginya  beban hutang luar negeri membuat  pemerintahan kesulitan dana untuk  me-recovery perekonomian. Sehingga, dengan alasan kebutuhan dana tersebut, pemerintah tunduk  sepenuh-penuhnya pada saran dan kebijakan IMF. Memang faktornya bukan karena  kebutuhan  dana dari  IMF belaka, lebih jauh lagi,  persamaan  perspektif antara keduanya, bahwa penyelesaian krisis ekonomi tersebut haruslah tetap berada dalam alur  kapitalisme yang  kali ini muncul dengan wajah barunya, yaitu neoliberalisme. Seolah-olah sebelum  berlangsungnya  krisis,  yakni  semasa Orde Baru  rakyat Indonesia tidak mengalami penindasan ekonomi. Atau, dengan kata kata lain, guna menutupi eksploitasi nilai lebih  dari sistem kapitalisme, pemerintah dan IMF berusaha mencari kambing hitam penyebab krisis, yaitu KKN dan praktek konglomerasi. Padahal sesungguhnya kedua hal tersebut hanyalah faktor yang memperparah saja,  dan bukan  faktor fundamental.
Kebijakan neoliberal, dimana salah satunya adalah skema SAP (Structural Adjusment Program)  atau Program Penyesuaian Struktural yang didiktekan IMF melalui LoI (Letter of Intents) kepada pemerintah Indonesia. Skema SAP tersebut secara garis besar adalah:     
1.         Liberalisasi perdagangan
2.         Privatisasi/swastanisasi BUMN
3.         Penghapusan subsidi   (BBM, listrik, pendidikan, kesehatan, telepon, dan lain- lain)
4.         Restrukturisasi keuangan
Guna memperjelas pemahaman tentang wujud dan praktek dari paket kebijakan neoliberalisme  berikut dengan  dampak-dampak sosial yang ditimbulkannya, mari kita bahas satu per satu :

 

Liberalisasi Perdagangan

Kebijakan ini bertujuan membuka pasar Indonesia lebih luas  lagi bagi barang-barang dari luar negeri --menghapus proteksi bagi barang-barang domestik--, dan membuka liberalisasi investasi. Pasar domestik harus berdasar mekanisme pasar (kompetisi). Jadi, regulasi dan birokrasi yang menghambat harus dihapuskan. Tidaklah mengherankan jika pada masa rezim Habibie, demi   mendapatkan kucuran dana dari IMF,  dengan  cepat pemerintah  melengkapi syarat-syarat  yang diajukan  IMF yaitu, menghapus tarif bea masuk beras dan gula impor hingga 0 % dan komitmen dalam jangka panjang penghapusan secara keseluruhan bea masuk produk agroindustri. Tak peduli  dengan dampak sosial yang ditimbulkannya, yakni  sengsaranya petani padi dan tebu karena harga beras dan gula jatuh. Jutaan petani  lantas menjerit, bahkan petani tebu harus merugi 2,1 juta per hektar (Kompas, 27 Desember 1999). Demikian pula petani yang memproduksi beras. Akibatnya, banyak  dari mereka  tidak mampu mengembalikan KUT. Jika keadaan ini terus berlangsung, dimana serbuan beras dan gula impor    merajai    pasar domestik sampai pada tingkat over produksi, petani akan  segan bertanam padi dan tebu, tak ayal, dalam jangka panjang sangat mungkin terjadi krisis pangan  domestik di tengah melimpahnya produksi pangan dunia.
Segera saja, kebijakan ini disambut protes di mana-mana. Serikat petani tebu di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta melakukan aksi menentang gula impor (Kompas, 10 Desember 1999). Walaupun perlawanan ini  kurang berdaya pukul kuat , --karena tidak melibatkan massa petani  dalam jumlah  besar serta  kurang  terorganisir-- sehingga pemerintah hanya bergeming sedikit saja, setidaknya membuktikan   bahwa telah muncul  babak  kesadaran massa rakyat  untuk melawan kebijakan yang merugikannya. Pemerintah  baru, Gus Dur, hanya sedikit merevisi kebijakan tersebut, dimana kemudian tarif bea masuk beras impor ditetapkan sebesar 30 % dan bea masuk gula impor sebesar 25 % per 1 Januari 2000. Tetap saja,  perubahan kebijakan ini  merugikan petani karena harga beras dan gula impor  lebih rendah, sementara kualitasnya lebih bagus dibandingkan  produk lokal.
Kenapa IMF sangat memaksakan kebijakan liberalisasi perdagangan  kepada rezim Gus Dur?  Jelas kepentingan  modal internasional-lah yang mengais untung dari kebijakan ini. Mereka membutuhkan  pasar untuk produk-produk industri pertaniannya, terutama Kanada dan AS, juga Uni Eropa. Bahkan, Amerika Serikat sendiri mengenakan tarif bea masuk gula impor sebesar 200 %. Jadi liberalisasi pasar ini maknanya agar  negara dunia ketiga secepatnya meliberalkan pasarnya, sementara negara maju tetap mengenakan proteksi (dengan tarif ataupun hambatan non tarif) terhadap pasarnya sendiri.
Penghapusan tarif impor beras dan gula, hanyalah sebagian kecil dari paket kebijakan liberalisasi perdagangan yang direkomendasikan oleh IMF. Pengurangan tarif produk kimia, besi/baja, impor kapal, produk kulit, aluminium, dan semen adalah sektor-sektor perdagangan yang juga harus diliberalkan. Jadi, produk domestik yang berkualitas  rendah -- karena teknologi produksinya yang rendah-- dipaksa bersaing dengan produk negara-negara maju, yang produknya lebih murah dan berkualitas. Di sisi lain,   tak ada usaha pemerintah untuk  membantu dan mendorong pengembangan teknologi produksi (pertanian, farmasi, baja, dan sebagainya) tersebut.
Di bidang investasi, sebagai syarat pencairan hutang,  IMF merekomendasikan kepada pemerintah untuk: menghapus batasan kepemilikan saham 49 % bagi investor asing -kecuali perbankan--,  menghapuskan larangan investasi pada sektor perkebunan, dan mencabut larangan investasi asing dalam perdagangan eceran (supermarket, mall, waralaba, dan sebagainya). Modal internasional pun  akan leluasa   mengeksploitasi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan menggusur pasar-pasar rakyat. Bisa dibayangkan, dampak sosial muncul kemudian. 

 

Swastanisasi BUMN

Pemerintahan Gus Dur  berusaha  meyakinkan rakyat, bahwa untuk menutupi kekurangan (defisit) anggaran APBN, tidak ada jalan lain, kecuali menjual BUMN-BUMN untuk memperoleh devisa. Argumen yang diajukan untuk memperkuat adalah:  bahwa BUMN-BUMN tersebut  selama ini menjadi sarang korupsi, dan pengelolaan oleh swasta akan lebih menguntungkan negara. Maka  yang terjadi kemudian adalah puluhan BUMN dijual, atau sedang dalam proses penjualan.  Antara  lain: PT Pupuk Kaltim, PTP Nusantara IV, PTP Nusantara IV, PTP VI, PT Tambang batubara Bukit Asam, PT. Indofarma, PT. Kimia Farma, PT Angkasa Pura II, PT. Aneka Tambang TBK, PT. Semen Padang, PT. Semen Gresik (sudah terjual), PT. Pelindo II Tanjung Priok, PT. Pelindo III Surabaya, PT Jasa Marga, PT. Krakatau Steel, dan PT. Indosat dari keseluruhan BUMN yang dimiliki pemerintah, yang berjumlah sekitar 160 BUMN. Tidak terhitung lagi perusahaan yang semula bukan BUMN, tetapi karena tersangkut kredit macet dan BLBI, akhirnya disita dan dikelola oleh BPPN, dan kemudian dijual lagi kepada swasta seperti: PT. Astra, Bank BCA, dan lain- lain.
Dampak swastanisasi BUMN bagi rakyat adalah pertama, mayoritas rakyat akan kehilangan jaminan untuk membeli komoditi dan jasa vital dengan harga murah. Selanjutnya,  pembelian komoditi  dan jasa tersebut   harus  dilakukan sesuai dengan mekanisme pasar, yang  jatuhnya pasti lebih mahal. Padahal, jika kekuatan rakyat mampu melikuidasi  pimpinan-pimpinan lama (sisa-sisa Orde Baru), yang korup, yang masih bercokol kuat dalam BUMN-BUMN, dan melakukan kontrol politik yang ketat terhadap BUMN-BUMN tersebut, komoditi dan jasa yang dihasilkan bisa  dijual  dengan harga  lebih  murah. Kedua, pengelola yang baru (swasta)   segera melakukan kebijakan merasionalisasi (mem-PHK) buruh  guna mencapai efisiensi biaya produksi, dan atau melakukan mekanisasi alat-alat produksi yang berujung juga pada pengurangan buruh, tujuannya jelas, agar pencapaian profit bisa lebih maksimal. Bukankah memang demikian hukum besi kompetisi pasar ? Maka, wajarlah jika buruh PT. Pelindo II Tanjung Priok, menolak rencana swastanisasi ini dengan melakukan pemogokan. Mereka tahu  bahwa pengelola yang baru akan segera mengurangi
20 % dari jumlah buruh. (Kompas, 31 Mei 2000). Demikian juga, karyawan dan masyarakat di sekitar PT Semen Padang, berunjuk rasa menentang rencana swastanisasi PT. Semen Padang.  Jika  ada puluhan BUMN yang akan diswastanisasi, berapa pula buruh yang akan di PHK ? Bisa dipastikan, pengangguran di Indonesia -- yang  sampai dengan  1999 menurut Ditasari ( Ketua Front Nasional Persatuan Buruh Indonesia) mencapai 24 juta orang -- akan berderet kian panjang.
Jika swastanisasi dilakukan untuk memperoleh devisa, seperti dikemukakan pemerintah,  argumentasi tersebut menjadi layak ditentang. Karena, sebenarnya banyak alternatif sumber dana  lainnya tanpa harus menjual asset-asset rakyat banyak, misalnya dengan menaikkan PPH bagi individu yang berpendapatan lebih dari Rp.1 juta, menaikkan PPH Badan (bukannya diturunkan), mengenakan pajak bagi pendapatan bunga obligasi, menaikkan pajak kendaraan mewah dan barang mewah, pemutihan hutang luar negeri, mengurangi anggaran militer, menyita asset-asset Soeharto  dan kroninya yang diperoleh dari hasil KKN, menyita perusahaan-perusahaan yang dikuasai  militer, dan sebagainya,  dan sebagainya.
 Argumentasi bahwa BUMN-BUMN hanya menjadi sarang KKN, juga  bukanlah alasan  prinsip untuk kemudian men-swastanisasi.  Institusi ekonomi mana  (entah BUMN atau swasta), yang selama rezim Kleptokrasi (maling) Orde Baru  tidak menjadi lahan korupsi/KKN ? Apakah perbankan (yang mayoritas adalah swasta), PT. Texmaco, dan lain- lain yang melakukan mega korupsi/KKN triliunan rupiah itu juga  disebut  BUMN ? Persoalan korupsi/KKN tidaklah bersumber dari siapa pengelola sebuah institusi perekonomian, tapi persoalan dasarnya adalah ketiadaan kontrol politik dari rakyat terhadap institusi-institusi perekonomian. Argumentasi yang lebih salah kaprah lagi, bahwa jika BUMN dikelola oleh swasta, profit yang dihasilkan akan lebih besar. Rakyat tidaklah pernah menuntut BUMN harus menghasilkan profit sebesar-besarnya, sederhana  saja, yaitu bagaimana  membeli kebutuhan-kebutuhan pokoknya dengan harga  yang terjangkau. Ketika menghadapi krisis ekonomi, selalu kepentingan rakyat banyak  yang dikorbankan, seperti kebijakan pemotongan subsidi BBM dan listrik, atau kehancuran yang dialami oleh petani padi dan tebu. Tidak pernah kepentingan borjuasi yang berkuasa  dikorbankan terlebih dahulu.
Agar pemahaman kita terhadap dinamika kapitalisme global menjadi jelas, penting kita ketahui latar belakang dan kepentingan IMF (dan modal internasional)   terhadap swastanisasi BUMN. Bahkan, proyeksi dari IMF yang dituangkan dalam Letter of Intents (LoI) dengan pemerintah Indonesia dalam jangka waktu 10 tahun proses swastanisasi seluruh BUMN --kecuali sebagian kecil BUMN-- akan terselesaikan (Kompas, 25 Nopember 1998).  Kenapa IMF dalam LoI menganjurkan, --lebih sering berupa tekanan-- kepada pemerintah Indonesia (semenjak Soeharto, Habibie,  dan Gus Dur) bahwa untuk menutupi defisit anggaran dengan  swastanisasi BUMN ? Tidak lain adalah untuk kepentingan modal internasional, bagi perluasan ekspansi modal mereka. 
Pertama, modal internasional berkepentingan untuk meluaskan lahan bertanam bagi investasi modal mereka. Apalagi, konsumen  produk komoditi dan jasa  dari BUMN-BUMN adalah mayoritas rakyat Indonesia --Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia--. Bukankah ini potensi pasar yang sangat besar, dan jaminan bagi investor dalam mengejar profit? Swastanisasi ini juga akan merangsang investasi  bagi surplus kapital di negeri-negeri induk imperialisme, yang selama ini terkonsentrasi di surga stock exchange (bursa saham), yang proses pelipatgandaan kapital-nya tidaklah riil, sangat spekulatif tapi guncangan-guncangan yang diakibatkannya sangat  membahayakan investasi di sektor riil, dan mengganggu konstruksi modal internasional yang telah mapan. Dengan menekan negeri-negeri dunia ketiga untuk melakukan swastanisasi diharapkan mampu menarik minat investor di negeri dunia pertama untuk memindahkan investasinya ke sektor yang produktif.
Kedua,  dalam  kondisi  kebutuhan dana  yang mendesak,  tentu nilai jual dari BUMN-BUMN tersebut sangatlah rendah, di tengah limpahan modal  di negeri-negeri kapitalisme maju dan merosotnya borjuasi domestik. Dalam waktu yang singkat, PT. Astra Internasional, dan PT. Bentoel berpindah milik ke tangan George Soros. Karena,  yang  paling siap  untuk membeli BUMN adalah modal internasional. Argumentasi-argumentasi tersebut  bukan membela borjuasi domestik yang sedang terpuruk, tapi sekadar menggambarkan kenyataan ekonomi politik yang sedang berkembang, serta dampaknya bagi mayoritas rakyat (buruh, kaum miskin kota dan petani, dan mahasiswa).
Dengan penjelasan diatas, maka tingkat keuntungan (profit) yang dihasilkan dari pengelolaan BUMN yang berpindah milik ke tangan swasta akan mengalir ke kantong perusahaan-perusahaan internasional-- Multi Nasional Corporation (MNC) --di negeri-negeri kapitalis maju.

Penghapusan Subsidi

Subsidi publik, bagi pengusung teori neoliberalisme, dianggap hanya pemborosan modal. Akan lebih baik modal tersebut dialokasikan ke sektor yang lebih produksif --tentu saja kepada pengusaha besar agar bisa melakukan ekspansi usaha--. Mereka tidak berkepentingan terhadap kebutuhan rakyat, dan menyerahkan nasib rakyat ke tengah kompetisi pasar, dimana berlaku hukum ‘siapa yang kuat,  dia akan memenangkan persaingan dan memegang monopoli harga’. Propagandanya adalah, jika sektor-sektor pelayanan publik diserahkan kepada mekanisme pasar,  justru  biaya yang akan ditanggung konsumen (rakyat) akan   lebih murah. Benarkah demikian? Justru sebaliknyalah yang terjadi.
Awal Mei 2000, sebagai konsesi  pinjaman modal dari IMF, rezim Gus Dur berencana akan mengurangi subsidi  BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL). Segera saja kebijakan yang merugikan mayoritas rakyat tersebut menuai benih perlawanan dimana-mana. Partai Rakyat Demokratik (PRD), gerakan mahasiswa, serikat-serikat buruh, LSM-LSM menggelar aksi unjuk rasa di penjuru kota, segera setelah diumumkannya rencana tersebut. Dan ketika perlawanan mulai meruak, rezim agaknya ketakutan. Mungkin,  belajar dari kejatuhan Soeharto pada   bulan Mei 1998,  akhirnya  kenaikan harga BBM tersebut  ditunda. 
Kendati demikian, harga barang-barang termasuk  juga tarif angkutan umum,  terlanjur merangkak  naik. Demikian juga  TDL, yang  dilakukan  setelah mengelabui rakyat bahwa kenaikan  tersebut  tidak akan merugikan rakyat kecil karena  hanya berlaku  untuk  konsumen golongan 900 watt ke atas.  Ini adalah propaganda palsu! Bagaimanapun, naiknya listrik untuk sektor industri pasti menyebabkan naiknya  harga produk. Mustahil kapitalis mau menanggung beban kenaikan biaya produksi ini. Kalaupun tidak menaikkan harga jual, pastilah  langkah yang  ditempuh adalah mengurangi  kenaikan upah buruh.
Puluhan pabrik baja  dan pabrik tekstil  terancam  gulung akibat kenaikan TDL, karena listrik adalah energi pokok dalam dunia industri. Bukankah ini berpotensi melipatgandakan jumlah pengangguran yang sampai kini  belum teratasi ? Sementara di sisi lain,  pemerintah menghambur-hamburkan dana untuk membeli listrik swasta --kasus kontrak listrik PT. Paiton dan Tanjung Jati--, dimana harga listrik swasta tersebut 3 kali lipat dari harga pasar. 
Tidak hanya BBM dan TDL yang akan dikurangi subsidinya.  Pada tahun 1999 yang lalu, subsidi pupuk  sudah lebih dahulu dikurangi, yang dampaknya jelas menelangsakan  petani. Akibatnya  di beberapa  daerah terjadi amuk  lantaran   petani tidak mampu membeli pupuk. Bahkan  di Blora, Jawa Tengah, petani beramai-ramai menjarah gudang-gudang pupuk milik KUD dan agen penyalur pupuk, atau memaksa KUD menjual dengan harga lama. Akibat pengurangan subsidi tersebut, harga pupuk melonjak hampir 100 %, sementara  harga jual (riil) produk pertanian menurun. Derita petani kian  parah ketika Habibie dan Gus Dur, demi mengakomodir kepentingan modal internasional, meliberalkan tarif impor beras dan gula, seperti sudah diuraikan di muka.
Sebagai  bagian dari paket kebijakan  neoliberal, subsidi-subsidi sosial yang lain (pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) dalam  waktu dekat juga akan dikurangi.  Bisa diprediksi, mayoritas rakyat   akan  makin sulit   menyekolahkan anaknya dan membayar biaya kesehatan karena harga obat-obatan dan jasa pelayanan kesehatan semakin menggila.

Restrukturisasi keuangan

Restrukturisasi keuangan ini menyangkut dua hal, yaitu, rekapitalisasi perbankan dan penyelesaian hutang (hutang luar negeri pemerintah dan swasta, penyelesaian kredit-kredit macet domestik oleh BUMN-BUMN maupun oleh swasta). Biaya untuk rekapitalisasi perbankan menelan dana yang luar biasa besar, hingga ratusan trilliun rupiah. Keseluruhan dana tersebut (baca: BLBI)--yang seharusnya menjadi hak mayoritas rakyat-- dipergunakan untuk menutupi dampak kredit macet dari segelintir orang. Ironisnya lagi, kucuran dana BLBI ini, bukannya segera digunakan untuk  menyehatkan bank-nya yang collaps,  tetapi justru menjadi lahan  subur korupsi bagi bankir ataupun pejabat BI dan birokrasi. Bahkan, pengusutan secara hukum debitur-debitur yang tersangkut kredit macet dan pengusutan dana BLBI yang dikorup selama hampir tiga tahun tidak membuahkan hasil  memuaskan. Penyebabnya,  debitur-debitur, ataupun juga birokrat yang tersangkut korupsi dana BLBI tersebut  masih bercokol kuat dalam pemerintahan baru ini --baik di parlemen, birokrasi, militer, ataupun sebagai pimpinan-pimpinan BUMN-- sehingga proses hukumnya menjadi sulit. Ini adalah bukti  belum  lenyapnya kekuatan-kekuatan Orde baru (Golkar, militer, dan birokrat korup), mereka terus berproses, berkonsolidasi menjadi lebih kuat lagi.
Anggaran untuk rekapitalisasi perbankan dari APBN 2000 sangat besar yaitu Rp. 58, 9899 triliun ( 30 % lebih dari total pengeluaran APBN 2000), dengan rincian, untuk membayar utang bunga obligasi pemerintah sebesar Rp. 42,3649 triliun, dan untuk cicilan bunga utang luar negeri Rp.16,625 triliun. Dana rekapitalisasi perbankan tersebut jelas sekali sangat membebani  APBN. Padahal pemerintah terus mengeluarkan obligasi (hakekatnya adalah hutang pemerintah) untuk keperluan dana bagi biaya rekapitalisasi perbankan. Artinya, setiap tahun beban APBN untuk biaya rekapitalisasi perbankan ini akan semakin besar.
Modal internasional dan IMF sangat berkepentingan terhadap pulihnya dunia perbankan, karena perbankan adalah instrumen penting dalam penyediaan modal bagi beroperasinya sistem kapitalisme. Perbankan yang sehat, akan menopang kelancaran eksploitasi surplus value dari Indonesia. Maka, tak menjadi soal bagi IMF dan pemerintah  demi tercukupinya dana rekapitalisasi perbankan dilakukan pemotongan  subsidi-subsidi untuk rakyat (pupuk, BBM, listrik).
Persoalan berat lainnya adalah penyelesaian hutang luar negeri yang hingga saat ini  mendekati angka 155 millyar US dollar --lebih dari setengah total hutang tersebut adalah hutang pemerintah--. Rezim Orde Baru setelah era ‘Oil Boom’  pada akhir dekade 70’-an dimana devisa negara tidak bisa diraup lagi dari ekspor minyak, segera mengalihkan  sumber pendanaannya, yakni hutang luar negeri. Dari tahun ke tahun ketergantungan terhadap hutang luar negeri ini semakin meningkat. Dengan jumlah hutang sebesar itu, maka Indonesia saat ini berada dalam kondisi Fischer Paradox. Suatu situasi dimana nilai pinjaman baru lebih kecil dibandingkan dengan nilai hutang,  dan bunga yang harus dibayar untuk hutang-hutang lama lebih besar jumlahnya untuk tahun  yang sama. Ironisnya lagi,  tidak  jelas peruntukan dana dari hutang ini.  Disinyalir   tingkat kebocoran  dana pinjaman ini mencapai 30 % -- menurut pernyataan Jeffrey Winters, seorang pengamat Bank Dunia-- dari total hutang luar negeri pemerintah. IMF, World Bank, ADB, dan institusi-institusi keuangan internasional lain sebagai lembaga kreditur bukannya tidak mengetahui persoalan ini, tapi mereka terus mengucurkan pinjaman. Sungguh tidak adil jika rakyat  harus bertanggung jawab terhadap dana-dana pinjaman yang dicuri (criminal debt) ini.  Lembaga-lembaga keuangan tersebut juga harus dituntut pertanggungjawabannya. Artinya, rakyat Indonesia harus terbebaskan dari tanggung jawab untuk mengembalikan pinjaman yang dikorup tersebut.
Bahkan lebih jauh, lembaga-lembaga keuangan internasional sebagai   kreditur, sudah cukup banyak mengeruk keuntungan dari pinjaman-pinjaman ini, baik dalam bentuk bunga hutang, pemakaian jasa konsultan proyek yang dari negara kreditur, tender proyek yang diberikan kepada perusahaan dari negeri kreditur,  ataupun konsesi-konsesi ekonomi yang selalu menyertai pinjaman-pinjaman tersebut. Sangat masuk akal sebenarnya, jika rakyat Indonesia mengajukan tuntutan pemutihan hutang luar negeri.
Tetapi,  ternyata bukan jalan tersebut yang ditempuh oleh  Habibie ataupun Gus Dur, untuk keluar dari jeratan hutang. Keduanya tetap  mengandalkan hutang luar negeri sebagai jawaban mengatasi krisis. Justru  pengajuan rescedulling pembayaran hutang  yang dilakukan laksana menyimpan ‘bom waktu’ . Di satu sisi,  suatu saat  penundaan pembayaran ini akan  jatuh tempo, di sisi yang lain, Gus Dur terus menerima pinjaman baru.
Dengan kebijakan ekonomi yang demikian, dari tahun ke tahun pembayaran hutang luar negeri ini akan semakin membebani APBN. Untuk tahun anggaran 2000 ini saja, biaya yang harus disediakan untuk membayar hutang luar negeri, yaitu cicilan bunga hutang dan cicilan hutang pokok yang jatuh tempo mencapai Rp. 25, 221 trilliun.

Upah Buruh Murah dan Jaring Pengaman Sosial

Langkah yang dilakukan Gus Dur untuk menarik dana dari investor (terutama investor asing) tetap mengorbankan  kepentingan rakyat (baca: buruh) yaitu, dengan tetap dipertahankannya kebijakan upah buruh murah. Tidak jauh berbeda dengan kebijakan-kebijakan Orde Baru yang lalu. Kenaikan UMR  pada  tahun 2000 hanya 25 %,  sangat kecil dibandingkan nilai  riil upah  buruh yang mengalami  turun sekitar 100 % akibat inflasi. Tentu, kebijakan ini disambut gembira oleh pemodal internasional.
Para investor juga  mengancam akan mengalihkan investasinya ke negeri lain, jika buruh-buruhnya mogok   menuntut  kenaikan upah. Kejadian ini dialami oleh buruh PT. Sony dan PT. Kong Tai. Rancangan Undang-Undang Serikat Pekerja yang sedang digodok di DPR pun  masih memperlihatkan bahwa hak-hak buruh belum dijamin sepenuhnya: tidak dicantumkannya  mogok sebagai hak kaum buruh, dilarangnya pegawai negeri membentuk serikat pekerja independen serta  tidak dijaminnya hak-hak politik kaum buruh.
Bagaimana cara rezim Gus Dur dan IMF meredam dampak kebijakan neoliberalisme yang  merugikan rakyat tersebut? Sebagai kamulflase seolah-olah kebijakan  ini tidak merugikan rakyat,  pemerintah menggulirkan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program tersebut sebagai alat untuk mendapatkan dukungan politik sekaligus  meredam perlawanan rakyat. Suatu program yang tidak efektif  sebenarnya karena  tidak menyentuh  akar persoalan  yang sebenarnya. Bahkan pada masa  rezim Habibie, dimana Adi Sasono menjabat  Menteri Koperasi, program JPS ini menjadi lahan korupsi kelas  kakap.
Jika program JPS  ini tak cukup  efektif memanipulasi kesadaran rakyat,  tampaknya rezim akan kembali menggunakan militer untuk menangkis perlawanan  rakyat yang menentang  kebijakan neoliberalisme. Seperti  yang banyak terjadi  di beberapa negara  Amerika Latin. Apakah taktik memakai kekuatan militer ini akan, atau sedang terjadi di Indonesia ? Bagaimana nasib transisi demokrasi yang tengah  berjalan ?
Melihat realitas ekonomi politik yang sedang berkembang, dengan jelas  kita bisa melihat kecenderungan,  ke arah mana muara kebijakan neoliberal sekaligus  dampak-dampaknya tersebut bagi kelangsungan demokrasi.

 

Program Reformatif

Berulang kali pemerintah menegaskan bahwa kebijakan-kebijakan yang  diambil  tersebut terpaksa dilakukan karena pemerintah membutuhkan  dana, sementara  tidak ada alternatif lain selain menadahkan tangan kepada  IMF. Alasan kebutuhan dana sajakah ? Ternyata tidak. Sejak awal,  kekuatan-kekuatan politik mainstream (PDIP, PAN, PKB, ataupun Golkar) memiliki pandangan yang sama terhadap krisis di Indonesia. Jelasnya, alasan ‘terpaksa’ tersebut hanyalah untuk mengelabui rakyat,  wajar  jika pemerintah dengan semangat, rela hati menjalankan semua rekomendasi  kebijakan ekonomi dari IMF.
Maka, upaya-upaya penghematan yang harus dijalankan --tentunya sesuai dengan petunjuk IMF- adalah dengan mengurangi, dan secara bertahap akan menghapus  subsidi-subsidi publik ( BBM, listrik, pendidikan, kesehatan, termasuk paket-paket kredit untuk rakyat kecil, dan sebagainya) seperti diuraikan di muka. Padahal, hal tersebut  tak bisa  dikatakan penghematan. Jika serius, ingin berhemat, masih banyak alternatif lain tanpa harus mengorbankan rakyat.
Akan kami  tunjukkan alternatif penghematan tersebut  yakni: Program pemutihan hutang luar negeri, minimal adalah penghapusan sebagian dan atau moratorium; pengurangan anggaran belanja barang inventaris kepegawaian; pengurangan anggaran belanja militer non dana kesejahteraan prajurit hingga perwira pertama; pembatalan kenaikan gaji pegawai dari tingkat esselon ke atas; pembatasan penggunaan mobil pribadi (jika pengematan BBM menjadi alasan menaikkan harga BBM); pembatasan kepemilikan mobil pribadi (maksimal 1 keluarga 1 mobil) dan sebagainya. Langkah penghematan inilah yang seharusnya dilakukan oleh rezim Gus Dur.
Sementara untuk menutupi defisit anggaran, pemerintah  justru menjual  BUMN-BUMN yang merupakan aset milik rakyat. Padahal, sebenarnya masih ada alternatif lain, minimal dalam jangka pendek. Sumber-sumber dana alternatif yang  kami maksud adalah:  Pertama, menaikkan pajak PPh (Pajak Penghasilan) Perseorangan bagi individu yang berpendapatan lebih dari 1 juta per bulan, PPh Badan dengan diberlakukan secara progressif, menaikkan pajak penjualan barang mewah (PPN BM) dan pengenaan pajak dari pendapatan bunga obligasi (prosentasenya minimal sama dengan pajak deposito). Kedua, penyitaan asset-asset hasil KKN Soeharto  dan kroni-kroninya. Ketiga, pengusutan dan penyitaan dana hasil KKN di BUMN-BUMN (menurut PWC untuk Pertamina saja dana yang dikorup sekitar 5 milyar US dollar). Keempat, pengusutan dan penyitaan dana KKN dari kredit yang macet dari debitor-debitor besar. Kelima, pengusutan dan penyitaan dana BLBI yang dikorup oleh pengusaha ataupun oleh birokrasi, dan sebagainya.
            Jika langkah-langkah tersebut dilakukan  secara serius, tak perlu lagi pengurangan subsidi BBM dan listrik,  hutang luar negeri, dan swastanisasi BUMN. Sekali lagi, solusi tersebut  hanya bersifat jangka pendek, karena hanya mampu menunda ekspansi dan eksploitasi modal untuk sementara waktu saja -- karena pada akhirnya karakter progresif dari modal tidak  cukup mampu dibendung dengan langkah-langkah tersebut--. Solusi menyeluruh bagi rakyat adalah: jika kita secara radikal merumuskan sistem ekonomi alternatif  yang lebih manusiawi untuk  menjawab bencana kemanusiaan dari sistem kapitalisme. Sistem ekonomi alternatif tersebut,  sayangnya tidak berada  dalam kerangka kapitalisme, dan harus di luar kapitalisme.

Dewan Rakyat

Permasalahan besar yang dihadapi rakyat Indonesia adalah kapitalisme dan bagaimana mengatasi krisis. Mustahil akan  menyelesaikan  krisis ini dengan implementasi kebijakan neoliberalisme, seperti yang dilakukan oleh rezim Gus Dur-Mega, justru ketika neoliberalisme    adalah jalan keluar kapitalisme untuk keluar dari krisisnya.
            Dalam menghadapi tantangan tersebut, terpenting yang dilakukan adalah mencari cara untuk mendorong partisipasi rakyat-ekonomi dan politik-dalam menghadapi krisis. Partisipasi tersebut akan semakin nyata, jika rakyat mampu mengorganisir diri, karena rakyat yang terorganisir akan mampu mempertahankan hak-haknya dan melakukan perlawanan menentang neoliberalisme    dalam short-term struggle (perjuangan jangka pendek), yakni, perjuangan yang masih reformis seperti: menentang pemotongan subsidi, menuntut kenaikan upah, menuntut pengadilan bagi Soeharto  dan sebagainya.
Bagaimana cara rakyat mengorganisir diri?
Rakyat harus terorganisir dalam organisasi-organisasi sektor (bisa berdasarkan profesi dan sebagainya) seperti: serikat-serikat buruh, serikat-serikat petani, serikat mahasiswa dan sebagainya. Serikat tersebut harus dibentuk hingga tingkat pabrik, kampus, kampung. Tidak harus dalam bentuk serikat dalam arti formal, bisa saja dengan komite-komite aksi untuk satu persoalan tertentu (kenaikan upah, kades yang korup dan sebagainya).
Aliansi bersama dari masing-masing organisasi sektor. Hal ini telah sering dilakukan, kendati  masih sebatas komite aksi bersama. Perspektif ke depan, aliansi ini harus didorong lebih maju menjadi aliansi strategis, aktifitasnya  bukan hanya aksi tetapi juga acara-acara diskusi dan pendidikan politik  bersama. Program yang berkesinambungan ini tentu akan melahirkan kesadaran perjuangan bersama dan menghasilkan kekuatan yang lebih besar dan lebih kuat. 
Kemampuan mengorganisir diri, mangatur diri, dan melibatkan  banyak orang akan tercipta bersama dalam keterlibatan  langsung  pada pengorganisiran  rakyat. Mengorganisir aktifitas rakyat, untuk persoalan yang mungkin dianggap ‘sepele’  seperti: mengorganisir penyediaan bahan-bahan kebutuhan rakyat sehari-hari (minyak, beras, dan sebagainya). Pada saat krisis ini, dimana harga-harga melonjak tak terkira, wadah-wadah rakyat dibutuhkan untuk mengatasinya. Komite Distribusi Minyak bisa saja dibentuk untuk menjamin rakyat memperoleh minyak dengan harga murah, atau komite-komite rakyat yang lain. Aktifitas seperti ini akan sangat berguna bagi organisasi-organisasi  rakyat  untuk belajar mengatur  kebutuhan-kebutuhannya sendiri  maupun orang banyak.
Pengalaman mengorganisir diri dalam komite-komite atau serikat-serikat rakyat  akan menjadi dasar bagi peningkatan kemampuan rakyat untuk menjalankan long-term struggle (perjuangan jangka panjang). Merupakan basis untuk  menapak lebih maju dengan membentuk Dewan Rakyat.  Sebuah bentuk  partisipasi penuh rakyat dalam melawan kapitalisme secara radikal.
Secara sederhana  kami akan menjelaskan  tentang apa dan bagaimana    Dewan Rakyat harus dibentuk:
Anggota Dewan Rakyat tersebut benar-benar dipilih --bukan diangkat-- dari bawah secara demokratis. Rakyat akan menentukan wakilnya di Dewan Rakyat dengan pemilihan langsung dari tingkat teritorial paling rendah (RT/RW). Dewan Rakyat ini menjalankan fungsi legislatif sekaligus eksekutif secara tidak dipisah. Karena,  jika dipisahkan  pertama, badan legislatif hanya akan menjadi tempat untuk berdebat, berdiskusi, dan  mengambil keputusan saja. Kedua, agar lebih memudahkan rakyat mengontrol fungsi eksekutif dari Dewan Rakyat. Misalnya di salah satu RW ada 2000 warga, ditentukan anggota Dewan Rakyat-nya 10 orang, maka 1 anggota Dewan Rakyat tersebut mewakili 200 orang. Kesepuluh orang tersebut menjalankan fungsi legislatif, sementara badan eksekutif akan menjalankan keputusan-keputusan Dewan Rakyat dipilih oleh 10 orang tersebut. 
Di tingkat yang lebih tinggi, kampung misalnya, Dewan Rakyat-nya terdiri dari para anggota eksekutif dari Dewan Rakyat tingkat RW, demikian seterusnya sampai tingkat nasional. Semua perwakilan dari  tingkat paling bawah  sampai ke atas  berada dalam kontrol rakyat. Karenanya, bisa saja sewaktu-waktu  direcall  atau  dicabut mandatnya  jika melakukan  tindak kejahatan, misalnya.
Dewan Rakyat ini tidak sekedar  berfungsi politik,  tapi juga ekonomi. Peran Dewan Rakyat   dalam perekonomian adalah :
1.   Menyita dan mengontrol seluruh kekayaan perusahaan Soeharto  dan kroninya.
2.   Menasionalisasi seluruh BUMN untuk dikelola secara kolektif, sehingga hasil-hasil produksinya dapat ditingkatkan dan didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Semua BUMN tersebut pengawasannya tersentral oleh Dewan Rakyat tingkat nasional. Sisa keuntungan dapat dialokasikan ke sektor-sektor lain (kesehatan, pendidikan, tunjangan pensiun, peningkatan gizi anak, dan sebagainya), atau untuk mendorong pengembangan industri-industri vital (baja, farmasi, dan sebagainya).
3.   Menasionalisasi dan mengontrol seluruh sumber daya alam dan ekonomi yang mengusasi hajat hidup orang banyak, untuk dikelola secara kolektif guna menyediakan barang dan jasa murah bagi rakyat. Pengelolaan tersebut dibawah tanggungjawab Dewan Rakyat Nasional melalui Dewan Rakyat di daerah.
4.   Mengontrol beroperasinya perusahaan-perusahaan asing dengan jaminan ada transfer teknologi, dan pembagian keuntungan yang adil. Hasil dari pembagian keuntungan akan dipergunakan untuk menunjang sector-sektor industri lainnya yang penting untuk dikembangkan.
5.   Menasionalisasi Bank-Bank dan mensentralisasikannya  dalam satu Bank Sentral Nasional. Nasionalisasi bank akan dimanfaatkan untuk mendorong industri-industri yang menunjang produktifitas rakyat. Pensentralan bank ini dilakukan tanpa harus melakukan PHK terhadap buruh-buruhnya.
6.   Mengontrol seluruh perdagangan dan pertukaran mata uang asing. Kontrol terhadap perdagangan dan mata uang penting guna menjamin tercukupinya kebutuhan rakyat, dan memudahkan perencanaan produksi dengan stabilnya nilai tukar rupiah.
7.   Dalam kebutuhan mendesak, Dewan Rakyat berperan sebagai distributor barang-barang  dan jasa pokok  dengan harga murah dan terjangkau oleh mayoritas rakyat.
8.   Mengontrol harga barang-barang dan jasa untuk menjamin terjangkaunya harga oleh mayoritas rakyat.
9.   Menjamin pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diarahkan pada perbaikan alat-alat dan peningkatan kapasitas produksi dan kemampuan mengembangkan produksi. Pengembangan teknologi tersebut diprioritaskan pada industri-industri manufaktur berat  (baja, besi, dan lain- lain). Prioritas tersebut untuk menjamin penyediaan bahan baku bagi industri lain yang pokok bagi rakyat (tekstil, kertas, farmasi, bahan pangan dan lain-lain ).
10.  Meningkatkan ilmu dan teknologi pertanian untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan produksi pangan sehingga murah, bergizi dan massif.
11.  Mendorong (jika perlu dengan subsidi) sektor-sektor industri swasta (yang belum mampu dikelola bersama) sehingga  mampu memberikan sumbangan positif bagi produktifitas  nasional.
12.  Menyediakan sarana-sarana pendidikan yang murah dari SD sampai dengan universitas dan penyediaan sarana-sarana pendidikan (laboratorim, dana riset, buku dan  lain-lain)
13.  Menyediakan sarana-sarana transportasi umum yang murah dan dapat menjangkau sampai ke pelosok-pelosok guna mempermudah aktifitas penting (sekolah, kerja, distribusi barang).
14.  Menyediakan perumahan-perumahan murah bagi rakyat.
15.  Menyediakan sarana-sarana kesehatan yang murah dan memadai seperti rumah sakit-rumah sakit hingga tingkat kecamatan.
Dewan Rakyat hanya bisa kita wujudkan dengan kerja keras dari seluruh kekuatan politik progresif dan revolusiner (parpol, kelas pekerja, petani, mahasiswa, dan intelektual progresif). Konsentrasi bagi pembentukan Dewan rakyat adalah bagaimana secepatnya meningkatkan kesadaran politik rakyat. Dewan Rakyat hanya mungkin  dibentuk dengan kesadaran massa yang progresif- revolusioner dan partisipasi politik rakyat yang tinggi ***.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar