GANTI REZIM GANTI SISTEM BANGUN PARTAI KELAS PEKERJA BANGUN SOSIALISME

Sabtu, 28 Agustus 2010

Menempatkan Kembali Filsafat Sebagai Induk Dari Segala Ilmu

Sebagai induk dari segala ilmu, di negara kita filsafat masih dilecehkan keberadaanya. Ilmu Filsafat atau pun Fakultas Filsafat tidak ubahnya seperti ‘anak haram jadah’ yang tidak pernah dikehendaki kelahirnya, seandainya mampu maka akan ‘digugurkan’. Apalagi lagi saat ini, ketika pendidikan hanya menjadi sekrup dari kapitalisme. Maka. Sebelum kita berusaha ‘menyelamatkan’ ilmu filsafat atau pun fakultas filsafat dari kehancurnya, kita harus terlebih dahulu mampu melihat problem dari sistem pendidikan di negara kita.

Semunya tidak bisa terlepas dari sejarah negeri ini, masuknya Belanda –yang berarti mulai masuknya kapitalisme di negara kita. Kemenangan golongan liberal di negeri Belanda yang berhasil mengalahkan dominasi golongan konservatif, mempunyai dampak langsung terhadap berbagai kebijaksaan di negara jajahan – Indonesia. kebijaksaan Tanam Paksa – yang telah menyebabkan Belanda mampu bersanding dengan negara-negara maju di Eropa maupun Amerika dengan ceceran darah dan air mata Rakyat Indonesia – diganti dengan politik ethik – irigasi, edukasi, transmigrasi.  Edukasi atau bahasa populernya pendidikan, dalam propaganda-propaganda pemerintahan kolonial Belanda bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan penduduk pribumi. Namun, dalam kenyataanya hanya untuk memenuhi kebutuhan ‘pasar’ yang sedang berkembang di Indonesia akan kebutuhan tenaga admitrasi – masa itu, pabrik-pabrik, terutama gula dan tekstil semakin berkembang, sehingga memerlukan tenaga admitrasi rendahan – “Tahun 1900 menyaksikan perubahan besar: pertumbuhan kapitalisme telah menimbulkan penghisapan terhadap bumiputra, dan juga proletarisasi. Para kapitalis, untuk memperoleh staff juru tulis dan pegawai kecil, membuka kesempatan pendidikan bagi bumiputera. Pemerintah mulai menerapkan “Politik Etis”, yang dengan alasan meningkatkan “standar hidup” orang  bumi putera …” [1].. Rakyat pribumi yang bisa masuk sekolah hanya diberi pelajaran-pelajaran yang sesuai dengan permintaan ‘pasar’ tersebut – sedikit matematika, pembukuan, dan pelajaran membaca-menulis. Sehingga yang ada hanya kepragmatisan dalam sistem pendidikan.

Sungguh berbeda yang terjadi di Eropa, sistem pendidikan yang berkembang merupakan dampak langsung dari Renaisance yang berkembang  pada abad pertengahan. Ilmu pengetahuan berkemabang bak air bah yang tidak mampu dibendung oleh siapapun. Mulai dari filsafat, ilmu-ilmu alam dan sosial, matematika, ilmu politik, sastra, berkembang atas dasar rasionalisme untuk menghancurkan sisa-sisa lama yang penuh tahayul, mistis. Rasionalitas ditempatkan diatas metafisika dan bentuk tahayul-tahayul yang lain. Hasilnya sungguh luar biasa sistem pendidikan tersebut. Copernicus berhasil menemukan teori Heliosentris yang meluluh lantakan teori geosentris Ptolomeous yang didukung oleh gereja tentang pusat dari tata surya; Galilieo menemukan teleskop sehingga bisa melihat benda-benda ruang angkasa dan semakin meneguhkan teroti Copernicus; Kepler menjelaskan bagaimana tata surya ini bergerak dalam orbitnya, begitu juga dengan ilmu-ilmu yang lain. Tokoh-tokoh dunia muncul dari ranah Eropa, “Hampir tidak ada tokoh penting yang hidup pada zaman itu yang tidak berlanglang-buana amat luasnya, yang tidak menguasai empat atau lima bahasa, yang tidak cemerlang dalam sejumlah bidang. Leonardo da Vinci bukan saja seorang pelukis besar, tetapi juga seorang ahli matematika, mekanika dan insinyur besar, dan kepadanyalah berbagai-bagai cabang ilmu fisika berhutang penemuan-penemuan yang amat penting; Albrecht Durer seorang pelukis, pemahat, pematung, arsitek, dan menambahkan penemuan baru suatu sistem perbentengan yang mewudjudkan banyak ide-ide yang lama kemudian dilanjutkan lagi oleh Montalembert dan oleh ilmu-pengetahuan Jerman modern mengenai perbentengan. Machiavelli adalah seorang negarawan, sejarahwan, penyair dan juga pengarang militer terkemuka pertama dari zaman modern. Luther tidak saja membersihkan kandang Augeas dari Gereja, tetapi juga kandang bahasa Jerman; ia menciptakan prosa Jerman modern dan menggubah teks dan melodi himne kemenangan yang menjadi Marseillaise abad ke enam-belas. Karena pahlawan-pahlawan zaman itu masih belum diperhambakan pada pembagian kerja, yang akibat-akibat pengekangannya, dengan hasil kesatu-segian (keterbatasan dalam pengetahuan), begitu sering kita lihat pada penerus-penerus mereka. Namun yang teristimewa karakteristik pada mereka itu ialah bahwa mereka hampir semuanya menjalani kehidupan-kehidupan dan aktivitas-aktivitas mereka di tengah-tengah gerakan-gerakan sezaman, dalam perjuangan-praktikal; mereka berpihak dan bergabung dalam perjuangan itu, yang seorang dengan berbicara dan menulis, yang lainnya dengan pedang, dan banyak dari mereka melakukan kedua-duanya. Dari situlah keutuhan dan kekuatan watak menjadikan mereka itu manusia-manusia lengkap. Orang-orang ruangan baca merupakan pengecualian: menjadi orang dari peringkat kedua atau ketiga ataupun filistin-filistin yang terlalu berhati-hati untuk ikut melibatkan diri mereka”.[2] Hal seperti ini belum pernah kita dapatkan di negara kita, karena ilmu hanya untuk kebutuhan pasar kapitalis semata. Maka tidaklah heran kalau lembaga-lembaga  pendidikan dipacu untuk “melahirkan” tenaga-tenaga kerja ahli sesuai dengan kebutuhan pasar kapitalis. Apa yang terjadi kemudian, jurusan-jurusan tertentu yang banyak dibutuhkan ekonomi kapitalis dipacu hasilnya, sedangkan jurusan-jurusan yang tidak ada hubungannya dengan ekonomi kapitalis “dinomer duakan”. Disadari atau tidak, universitas menjadi sub-ordinasi terhadap kebutuhan langsung terhadap ekonomi kapitalis. Ernest Mandel mengambarkan kondisi ini sebagai berikut:

Mereka bahkan tidak diizijinkan memilih karir, bidang, studi dan disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan, disiplin ilmu dan bidang studi yang berhubungan dengan kepentingan penguasa masyarakat kapitalis, dan tidak berhubungan dengan kebutuhan mereka sebagai manusia [3].

Dengan kondisi diatas, mahasiswa hanya dijadikan “komoditi”, tidak diberi hak untuk menentukan pilihan-pilihan, kebebasan ini telah dirampas oleh kebutuhan pasar kapitalis. Mahasiswa yang mencoba “menentang” kehendak pasar kapitalis, mengambil jurusan yang tidak dibutuhkan oleh kebutuhan kapitalis, maka akan menjadi penganggur-penganggur baru. Adalah tepat yang digambarkan Ernest Mandels tentang kondisi ini, mengutip dari kuliah umum seoang pendidik yang terkenal di Kanada:

Beberapa hari yang lalu, ketika di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab perlawanan mahasiswa. Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu “secara mendasar bersifat material”. Bukan karena kondisi hidup mereka tidak memuaskan;bukan karena mereka diperlakukan seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat[4] di universitas yang tidak berhak  berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas.[5]
Dari sini jelaslah, mahasiswa menjadi terasing dengan “kehidupanya” di universitas. Mereka menjalani kehidupan di  universitas dengan keterpaksaan, bukanlah kehendak dari hati nurani. Apa yang didapatkan adalah kondisi universitas yang “otoriter”, tidak memberi peluang kepada mahasiswa  untuk mengembangkan kemampuan mereka. Tuntutan-tuntutan kapitalis yang tidak berhubungan dengan bakat perorangan dan kebutuhan manusia, itulah yang ada.
Paparan diatas memperlihatkan problem-problem yang kita hadapi, sehingga kita dapat menarik kesimpulan. Pertama, sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme telah menempatkan lembaga-lembaga pendidikan sebagai ‘pabrik’ untuk menghasilkan ‘prajurit-prajurit’ untuk perkembangan kapitalisme dalam mengeruk kapital. Sehingga, mahasiswa/murid tidak ubahnya seperti barang mentah yang dimasukkan dalam ‘pabrik’ – lembaga-lembaga pendidikan – untuk kemudian diolah menjadi ‘barang’ yang sesuai dengan keinginan kaptalis, “di  tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih baik  jika dikirim 100.000  insinyur daripada 50.000  orang  sosiolog  atau 20.000 filsuf yang tidak akan mendapat pekerjaan yang layak”.[6] Tidak heranlah kalau kemudian mahasiswa terasing dari lingkunganya. Kedua, sistem pendidikan. Konsekuensi dari akibat pertama berdampak langsung dari sistem pendidikan itu sendiri. Kurikulum-kurikelum hanya disusun untuk kepentingan pasar semata, sementara yang berada diluar itu dianggap tidak penting dan tidak perlu untuk dipelajari. Tidaklah mengherankan kalau yang muncul kemudian hanyalah kepragmatisan-kepragmatisan. Dengan sistem pendidikan seperti ini juga membawa dampak pada kebijaksaanaan yang lain, misalnya sarana, literatur, tempat perkuliahan. Fakultas-fakultas yang dianggap tidak menguntungkan ‘pasar’, dikelola apa adanya, literatur yang sudah banyak ketinggalan, perpusatakaan yang amburadul, tempat kuliah yang tidak nyaman, fasilitas-fasilitas lain seperti internet yang tidak pernah ada, tenaga pengajar yang tidak memenui standar. Dua hal itulah yang mejadi problem utama dalam pendidikan kita dewasa ini, baik di Fakultas Filsafat maupun fakultas-fakultas yang lain. Inilah yang harus kita ubah, tentunya dengan perjuangan yang tidak mengenal lelah.***


[1] Gerakan Indonesia di Hindia Belanda, laporan oleh kawan Semaoen.
[2] Dialectic of Nature, Frederick Engels
[3] Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
[4] Makna proletariat disini bukan makna sesungguhnya. Makna proletariat sesuguhnya adalah suatu kelas yang tidak memiliki alat produksi, menghasilkan nilai lebih dan tidak bisa mengakumulasi modal. Proletariat yang dimaksud disini  adalah keterasingan mahasiswa dengan apa yang ada di universitas, seperti halnya kaum buruh yang “terasing” dengan proses produksi yang ada di pabrik 
[5] Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
[6] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar