GANTI REZIM GANTI SISTEM BANGUN PARTAI KELAS PEKERJA BANGUN SOSIALISME

Sabtu, 04 September 2010

Daya Saing Pertanian Indonesia dalam ACFTA

Oleh : Khudori

Ekonomi Indonesia diperkirakan menghadapi tekanan berat seiring dimulainya Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA) ASEAN-China (ACFTA), 1 Januari 2010. Industri manufaktur, seperti otomotif, listrik, elektronik, tekstil dan kertas, diperkirakan mengalami pukulan paling berat. Itulah sebabnya, sebagian besar asosiasi industri manufaktur di sektor tersebut menghendaki penundaan ACFTA, setidak-tidaknya dilakukan renegosiasi. Saat ini setidaknya 228 dari 1.516 pos tarif diusulkan dimodifikasi karena dinilai belum siap berkompetisi. Yang menarik, sejauh ini tidak ada keluhan serius dari sektor pertanian. Sejauh mana daya saing pertanian Indonesia dalam ACFTA?



Secara agregat, dalam trade balance (neraca perdagangan) produk pertanian dengan ASEAN-China, Indonesia meraih surplus US$2,2 miliar (nilai ekspor US$2,89 miliar dikurangi impor US$689,1 juta). Empat tahun lalu, nilai surplus masih US$800 juta. Artinya, selama empat tahun terjadi kenaikan surplus hampir tiga kali. Nilai surplus terbesar terjadi di sektor perkebunan, seperti minyak kelapa sawit dan turunannya, aneka produk karet, minyak dan lemak dari sayuran, minyak kopra, biji coklat (pecah, setengah pecah, dan mentah), kopi, teh, gaplek iris dan kering sebesar US$2.756 miliar.
Sebaliknya, impor terbesar terjadi pada subsektor hortikultura (seperti bawang putih segar, buah apel, pir dan kwini mandarin segar, dan komoditas buah lainnya sebesar US$434,4 juta); subsektor pangan (berupa benih gandum dan gandum lainnya, gula kasar, kacang kupas dan komoditas pangan lain sebesar US$109,53 juta); dan subsektor peternakan (yang umumnya berupa impor binatang hidup US$17,947 juta). Berpijak dari data-data ini, sesungguhnya Indonesia memiliki daya saing di sektor perkebunan. Sebaliknya, Indonesia mengalami tekanan di sektor hortikultura, pangan dan peternakan.
Agar tidak menyesatkan, kesimpulan di atas harus segera diberi catatan penting. Studi The Economist (2003) mencatat, 10 komoditas pertanian Indonesia (beras, lada, kopi, coklat, minyak sawit, karet, lada dan biji-bijian) menduduki peringkat 1-6 dunia. Sebagian besar merupakan produk perkebunan. Apakah petani dan pekebun 10 komoditas itu sejahtera? Tidak. Bahkan, komoditas unggulan itu tidak banyak memberikan nilai tambah kepada kita. Justru negara lain yang menikmati nilai tambah itu. Inilah tragedi.
Kita memang tidak pernah belajar dari sejarah. Lebih setengah abad lalu ekonom Argentina Raul Prebisch dan ekonom Jerman Hans Singer sudah mengingatkan bahwa nilai tukar riil produk primer pertanian atas produk manufaktur menurun secara permanen. Produk primer cenderung fluktuatif, sedangkan produk jadi terus meningkat atau stabil. Ekonomi yang menggantungkan diri pada produk primer menghadapi kepincangan harga yang tajam bila berhadapan dengan pemilik teknologi. Bahan mentah ditekan amat rendah, sementara teknologi harus dibayar dengan harga super mahal.
Indonesia adalah penghasil kopi robusta terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Siapa yang menentukan harga? Apakah petani, eksportir, pedagang besar, atau pedagang pengumpul? Bukan. Penentu harga ada di London (London International Financial Futures Exchange/LIFFE). Lalu kakao. Kita merupakan produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Alam memungkinkan kita menjadi produsen kakao terbesar di dunia. Tetapi harga komoditas ini ditentukan di New York Board of Trade. Kita juga eksportir minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia mengalahkan Malaysia, tapi harga CPO Indonesia justru didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga kontrak berjangka. Ironi ini sudah berlangsung puluhan tahun.
Data-data ini menunjukkan, surplus ekspor-impor produk pertanian ASEAN-China yang dinikmati Indonesia sesungguhnya rapuh. Harga komoditas primer, apalagi komoditas mentah, amat fluktuatif dan pasarnya bersifat oligopoli. Surplus akan terjadi saat harga tinggi. Sebaliknya, surplus akan berkurang, bahkan bisa jadi negatif, saat harga terjun bebas. Ini tidak terjadi pada produk jadi atau setengah jadi. Harga dua produk itu terus meningkat, atau setidak-tidaknya tetap. Konsekuensinya, tanpa membenahi sisi hilir (industri pengolahan), surplus yang dinikmati Indonesia rapuh dan tak akan langgeng.
Dengan keunggulan yang dimiliki, Indonesia berpotensi menggandakan perolehan devisa dari ekspor berbagai komoditi pertanian dan menekan impor, terutama komoditi pertanian yang bisa dibudidayakan di dalam negeri. Berlakunya ACFTA harus dijadikan momentum Indonesia melakukan re-focusing pengembangan sektor pertanian sesuai keunggulan komparatif dan kompetitif. Selain intens mengembangkan aneka komoditas unggulan di hulu, on farm, sektor hilir juga harus diurus. Pemerintah musti mendorong industri hilir dengan berbagai kebijakan memihak, bukannya memeras seperti saat ini.
Berbeda dengan China, sektor pertanian Indonesia didera keterbatasan energi dan infrastruktur, rendahnya kepastian hukum dan tumpang-tindih tata ruang. Pembebasan bea masuk dan penghapusan hambatan investasi di Indonesia membuka peluang China memasuki sektor-sektor andalan ekspor negara-negara ASEAN, seperti sawit, karet, kopi, dan kakao melalui bursa. Dengan pendapatan perdagangan US$1,8 triliun China memiliki dana melimpah untuk membeli apa saja dan kapan guna memperkuat posisi ekonomi, sosial dan politiknya. Tanpa antisipasi memadai, sektor andalan Indonesia akan dicaplok.
Dalam bidang pangan, meskipun Indonesia surplus, bahkan bisa mengekspor beras, basis penopang produksi beras (baik lahan, ketersediaan air maupun kelembagaan), amat rapuh. Daya saing beras Indonesia kalah dibandingkan China. Daya saing beras China karena ditopang oleh infrastruktur irigasi yang baik dan produktivitas yang tinggi, sehingga ongkos produksinya rendah: US$ 71/ton. Bandingkan dengan Indonesia yang ongkos produksinya US$82/ton. Ini semua menandakan, implementasi ACFTA ibarat gelombang tsunami yang tampak dalam radius ratusan meter. Apabila tidak diantisipasi bisa mencelakakan banyak industri yang masih lemah daya saingnya, termasuk beras.
Strategi hambatan nontarif (non-tariff barrier) yang ditempuh pemerintah bisa dipastikan tak akan ampuh membendung serbuan barang super murah asal China. Sebab, cara itu akan memicu aksi balasan (retaliation) dari China. Ini sudah terbukti berkali-kali. Dalam jangka pendek, strategi ini bisa saja dipakai. Bersamaan dengan itu, aneka subsidi (pupuk, benih dan bibit unggu), insentif harga, peningkatan produktivitas, dukungan infrastruktur (jalan, irigasi, pelabuhan, riset), bantuan pengolahan dan pasca panen harus dilakukan secara simultan. Tanpa itu semua, daya saing Indonesia dipastikan rontok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar