GANTI REZIM GANTI SISTEM BANGUN PARTAI KELAS PEKERJA BANGUN SOSIALISME

Jumat, 03 September 2010

Miskin di Tengah Limpahan Kekayaan

Jumat, 3 September 2010 | 23:37 WIB
pakarhowto.com
ilustrasi

Oleh Rusmanadi

Julak Maribut, lelaki yang masih nampak gagah di usia lebih dari 70 tahun itu, bersiap pergi ke ladang di kaki Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan.

Ia tak perlu pergi jauh, karena ladang miliknya masih berada di sekitar rumah, di pinggiran permukiman masyarakat adat Dayak Meratus di Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Timur (BAT).



Selain menggarap ladang yang ditanami padi dan palawija, Julak Maribut yang mantan ’Pambakal’ (Kepala Desa) tahun 1980 itu juga berkebun.

Seperti kebanyakan masyarakat adat Dayak Meratus lainnya, ia yang hanya hidup berdua dengan istri tercinta itu, memiliki hamparan kebun karet dan sesekali berburu serta mencari damar di hutan.

Bahkan, Julak Maribut juga memiliki pohon madu (sebutan untuk pohon besar yang dijadikan tempat bersarang lebah hutan) yang disadapnya setahun sekali.

Melihat banyaknya aset kekayaan alam yang dimiliki, bila dihitung secara ekonomi tentu lebih dari cukup untuk menghidupi diri dan istrinya.

Padi dari hasil berladang bila hanya dikonsumsi oleh dua orang tentu tidak akan habis dalam satu tahun. Dengan begitu, hasil karet, damar dan madu pastinya dapat disimpan atau setidaknya cukup untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga lain seperti pakaian, perabot dan kendaraan.

Untuk pemenuhan lauk pauk, rasanya Julak Maribut tidak perlu mengeluarkan biaya karena toh ia masih cakap untuk berburu dan aliran sungai di pegunungan Meratus memiliki cukup banyak kandungan ikan.

Selain itu, kebutuhan gizi dan sayuran mestinya juga tak terabaikan karena sayur dan palawija yang ditanam di sela tanaman padi lebih dari cukup untuk konsumsi dua orang suami istri itu.

Begitu pula dengan masyarakat adat Dayak Meratus lainnya, juga memiliki pola hidup dan aset kekayaan potensi alam yang tidak jauh berbeda dengan Julak Maribut dan bahkan tak sedikit yang memiliki lebih banyak.

Mestinya, masyarakat adat Dayak Meratus hidup sejahtera atau setidaknya, sebagian besar dari mereka seharusnya sejahtera. Namun kenyataannya, yang terjadi adalah sebaliknya.

Seperti Julak Maribut, ia hanya mampu mendiami sebuah RTSSS (Rumah Teramat Sangat Sederhana Sekali) yang terbuat dari papan ’sisibitan’ (sisa potongan papan) dengan ukuran 5 x 6 meter.

Parahnya lagi, rumah tanpa pentilasi dan siklus udara memadai itu tanpa kamar alias hanya berupa ruang kosong tanpa perabot pula, selain seperangkat alat makan dan tidur. Itu saja! "Kami, masyarakat adat Dayak Meratus masih terjajah secara ekonomi," bergumam ia sembari duduk di pinggiran pematang.

Kemiskinan yang dirasakan masyarakat Adat Dayak Meratus yang hidup di tengah limpahan kekayaan alam itu, bukanlah sekedar tampilan kosong belaka.

Ketertinggalan mereka secara ekonomi dapat dilihat nyata dari hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (P3S) Tahun 2008 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setempat.

Berdasarkan data BPS, dari 11 kecamatan yang ada di HST, secara persentase Kecamatan Batang Alai Timur tercatat memiliki jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) terbanyak.

Bila dihitung berdasarkan jumlah Rumah Tangga Statistik (RTS) yang sebanyak 1.779 buah, jumlah RTM yang ada di kecamatan itu lebih dari 51 persen atau sebanyak 918 buah.

Dari data sensus BPS tersebut, bila diurut berdasarkan jumlah maka lima besar wilayah yang memiliki jumlah RTM terbanyak semua penduduknya mayoritas adalah masyarakat adat Dayak Meratus.

Setelah BAT, yang memiliki jumlah RTM terbanyak berturut-turut adalah Kecamatan Hantakan sebanyak 50 persen atau berjumlah 1.528, Haruyan 45 persen atau berjumlah 2.559, Batang Alai Utara (BAU) 40 persen atau berjumlah 1.887 dan Limpasu 38 persen atau berjumlah 1.087 dari total RTS.

Dan sekali lagi, semua kecamatan itu mayoritas penduduknya adalah masyarakat adat Dayak Meratus. "Jumlah itu tentu akan lebih besar lagi bila dihitung per orang karena perhitungan yang kami lakukan hanya meliputi per kepala keluarga," ujar Kepala Seksi Statistik Sosial BPS HST, Rusni.

Bila ditotal, jumlah RTM untuk wilayah HST sebanyak 21.266 buah dan 60 persen atau sebanyak 7.979 buah berada di wilayah permukiman masyarakat adat Dayak Meratus.

Data dari BPS HST boleh jadi ketinggalan karena dilakukan pada tahun 2008. Namun yang mengejutkan, data Penetapan Pagu Raskin Tahun 2010 dari Sub Divisi Regional Wilayah I Badan Urusan Logistik Barabai, menunjukkan jumlah yang tak jauh beda.

"Berdasarkan Pagu Penetapan Raskin tahun ini, RTM penerima untuk Kecamatan BAT berjumlah 932, Hantakan 1.226, Haruyan 2.196, BAU 1.799 dan Limpasu 718 buah," ujar Kepala Seksi Pelayanan Publik Bulog Sub Divre Wilayah I Barabai, Riduansyah.

Bila data itu dibandingkan dengan hasil sensus BPS, terlihat telah terjadi penurunan jumlah RTM di Kecamatan Hantakan sebanyak 302, di Haruyan sebanyak 363, di BAU sebanyak 88 dan 369 buah di Limpasu.

Namun untuk Kecamatan BAT justru terjadi peningkatan jumlah RTM sebanyak 14 buah.

Koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade menilai, keterpurukan ekonomi masyarakat adat Dayak Meratus di tengah limpahan kekayaan potensi alam yang ada salah satunya disebabkan oleh budaya konsumtif masyarakatnya.

"Mereka memiliki kecenderungan bertingkah royal dan tidak sayang dengan duit. Apalagi bila mereka turun gunung, cenderung membelanjakan uang sampai habis meski terkadang barang yang dibeli tidak memiliki aspek manfaat dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya.

Salah satu pola konsumtif yang nyata terlihat adalah budaya ’mawarung’ (duduk-duduk dan makan minum di warung) yang melekat erat pada masyarakat adat Dayak Meratus.

Pada masyarakat adat Dayak Meratus, seperti sudah menjadi kewajiban tak tertulis untuk nongkrong di warung meski hanya untuk sekedar duduk-duduk dan minum segelas kopi atau teh manis.

Kebiasaan yang telah membudaya itu, sebenarnya bila dicermati dan dihitung secara ekonomi tidaklah menguntungkan karena pada dasarnya mereka memiliki persediaan gula, kopi dan teh sendiri di rumah.

"Namun untuk menghilangkan budaya itu sungguh sulit. Karena warung bagi masyarakat adat Dayak Meratus secara tidak langsung adalah sumber informasi di mana di tempat itulah mereka berkumpul dan saling bertukar cerita," katanya.

Minimnya investasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat di kawasan hunian masyarakat Dayak Meratus, juga dipandang berperan penting dalam pembentukan pola pikir yang berimbas pada pola hidup tidak teratur.

Sebagai gambaran, di Balai Kiyu saja hingga kini tidak ada bangunan sekolah selain sebuah Taman Kanak-Kanak yang didirikan secara swadaya oleh LPMA Borneo Selatan dan masyarakat setempat.

Untuk dapat mengenyam pendidikan atau layanan kesehatan, masyarakat Balai Kiyu harus menempuh perjalanan setapak sejauh 5 Km dengan medan yang berat ke Desa Hinas Kiri.

Kondisi itu akhirnya membuat mereka terpaksa hanya mampu menganut pola pikir yang sangat sederhana dan terjebak oleh permainan orang luar yang mengaku lebih modern.

Masih banyak dari masyarakat adat Dayak Meratus yang hanya bekerja bila uang dan persediaan konsumsi sudah habis. Setelah bekerja dan mendapatkan hasil yang dapat dijadikan uang, mereka cenderung memilih berdiam diri dan bersantai di warung saja.

"Masyarakat adat Dayak Meratus juga gemar mempertaruhkan uang mereka di arena judi saat pelaksanaan Aruh (upacara adat pada hari-hari besar), karena peluang itu terbuka lebar," katanya.

Sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat adat Dayak Meratus, hampir setiap kali pelaksanaan Aruh yang berlangsung selama beberapa hari selalu disertai dengan keramaian dan marak dengan beragam permainan judi sebagai hiburan.

Perilaku itu tanpa mereka sadari ternyata hanyalah membuat orang luar Dayak Meratus semakin kaya karena para bandar judi biasanya bukanlah dari penduduk lokal atau pendatang.

Pengamat sosial budaya dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Taufik Arbain menilai, kini telah terjadi pergeseran kebudayaan pada masyarakat adat Dayak Meratus.

"Telah terjadi pergeseran kebudayaan modern yang cenderung mengubah gaya hidup masyarakat adat Dayak Meratus untuk berperilaku imitasi atau suka meniru-niru," ujarnya yang juga seorang pengamat politik itu.

Hal itu terlihat dari tingkah pemuda Dayak Meratus yang senang mengikuti gaya artis di televisi dalam berdandan dan berpakaian, meski untuk itu harus mengeluarkan biaya tidak sedikit dan sama sekali tidak sesuai dengan keseharian serta budaya setempat.

Penetrasi kebudayaan yang terjadi, didukung oleh gerakan pasar bebas yang dengan mudahnya merambah ke pelosok hingga sangat memungkinkan terjadinya pergeseran nilai-nilai.

Dampak perdagangan bebas yang memungkinkan untuk memperoleh barang mewah dengan harga murah, secara langsung membawa perubahan perilaku khususnya di kalangan generasi muda Dayak Meratus.

Seperti penggunaan telepon genggam yang menawarkan kemudahan akses internet, walaupun sebenarnya itu bukanlah kebutuhan mendesak karena tempat mereka tidak terjangkau akses sinyal.

"Penetrasi kebudayaan itu sulit ditangkal apabila masyarakat itu sendiri tidak memiliki nilai-nilai kuat yang dianut mereka sebagai pemegang kebudayaan," katanya.

Untuk mencegah masuknya kebudayaan asing yang berimbas pada pola dan gaya hidup serta mengakibatkan keterpurukan secara ekonomi karena patokan gaya hidup yang terlampau tinggi, tidaklah mudah.

Yang dapat dilakukan hanyalah meminimalisasi melalui penguatan nilai-nilai kebudayaan dengan melihat pada aspek kepatutan sosial.

"Masyarakat adat Dayak Meratus harus mampu melihat apakah hal itu bertabrakan dengan norma sosial atau tidak, yang untuk menjalankannya memerlukan peran serta para ’tetuha’ adat," tambahnya.

Selama masyarakat adat Dayak Meratus tidak mengubah pola pikir dan gaya hidup mereka yang menuntut peran serta pemerintah daerah melalui investasi pembangunan, niscaya pergeseran kebudayaan yang terjadi akan semakin parah.

Pola konsumtif akan semakin menjadi seiring dengan kebutuhan gaya hidup yang di patok tinggi sehingga keterpurukan ekonomi tetap berlangsung.

Mereka akan tetap pada kondisi kini yang terjajah secara ekonomi dan hidup miskin di tengah limpahan potensi kekayaan sumber daya alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar