GANTI REZIM GANTI SISTEM BANGUN PARTAI KELAS PEKERJA BANGUN SOSIALISME

Rabu, 01 September 2010

SEKALI LAGI “PEMFITNAH”, SEKALI LAGI “PENIPU”

F. SEKALI LAGI “PEMFITNAH”, SEKALI LAGI “PENIPU”


Kata-kata yang sopan ini, seperti pembaca ingat, adalah kata-kata Raboceye Dyelo, yang dengan cara demikian menjawab tuduhan kita bahwa ia “secara tak langsung mempersiapkan dasar untuk mengubah gerakan buruh menjadi suatu alat demokrasi borjuis”. Dalam kesederhanaan jiwanya Raboceye Dyelo memutuskan bahwa tuduhan ini tidak lain hanya ulah polemik, seolah-olah mau mengatakan, kaum dogmatis
pendengki ini telah berketetapan untuk mengatakan segala macam hal yang tidak enak tentang diri kita; nah, apa yang bisa lebih tidak enak daripada menjadi alat demokrasi borjuis? Maka itulah mereka mencetak dengan huruf tebal “bantahan”: “Tidak lain hanya fitnah mentah-mentah” (Dua Kongres, hlm. 30), “penipuan” (hlm. 31), “penyamaran” (hlm. 33). Seperti Yupiter, Raboceye Dyelo (meskipun hanya sedikit saja mirip Yupiter) marah karena ia salah, dan dengan makiannya yang keburu nafsu itu membuktikan ketidakmampuannya menyelamami jalan pikiran lawan-lawannya. Namun, dengan merenungkan sedikit saja, ia akan mengerti mengapa segala pemujaan kepada spontanitas gerakan massa dan setiap pemerosotan politik sosial-demokratis ke politik trade-unionis justru berarti mempersiapkan dasar untuk mengubah gerakan buruh menjadi suatu alat demokrasi borjuis. Gerakan buruh yang spontan dengan sendirinya sanggup menciptakan 9dan pasti menciptakan) trade-unionisme saja, dan politik trade-unionis klas buruh adalah justru politik borjuis dari klas buruh. Keikutsertaan klas buruh dalam perjuangan politik, dan bahkan dalam revolusi politik, tidaklah dengan sendirinya membuat politiknya menjadi politik sosial-demokratis. Apakah Raboceye Dyelo berani menyangkal ini? Maukah ia akhirnya menerangkan di muka umum dengan blak-blakan dan tanpa putar lidah pengertiannya mengenai soal-soal yang mendesak dari gerakan sosial-demokratis internasional dan Rusia? Oh tidak, ia tidak akan memberanikan diri untuk melakukan sesuatu semacam itu, karena ia berpegang kuat-kuat pada cara yang bisa dinamakan cara mengatakan “tidak” kepada segala-galanya; “Aku bukan aku; kuda itu bukan kudaku; aku bukan kusir. Kami bukan kaum ekonomis; Rabocaya Misl bukan ekonomisme; di Rusia sama sekali tidak ada ekonomisme”. Ini adalah suatu cara yang luar biasa lihainya dan “panjang akal”, akan tetapi mempunyai cacat sedikit yaitu bahwa penerbitan-penerbitan yang mempraktekkannya itu biasanya diberi julukan “Apa yang tuan kehendaki?”



Raboceye Dyelo mengira bahwa pada umumnya demokrasi borjuis di Rusia hanyalah suatu “khayal” belaka (Dua Kongres, hlm. 32)*. Sungguh orang-orang yang bahagia! Laksana burung unta, mereka memendamkan kepalanya ke dalam pasir, maka mengira bahwa segala sesuatu disekelilingnya menghilang lenyap. Publisis-publisis liberal yang dari bulan ke bulan memproklamasikan kepada dunia kemenangan mereka atas keruntuhan dan bahkan kelenyapan Marxisme; surat-surat kabar liberal (S. Petersburgskiye Wyedomosti74), Russkiye Wyedomosti, dan banyak lagi lainnya) yang mendorong kaum liberal yang membawa kepada kaum buruh konsepsi Brentano75 tentang perjuangan klas dan konsepsi trade-unionis tentang politik; sekumpulan bintang kritikus terhadap Marxisme, yang kecenderungan-kecenderungannya yang sesungguhnya disingkapkan dengan begitu baiknya oleh Credo dan yang produk literaturnya saja beredar di Rusia tanpa halangan apa-apa; kehidupan kembali aliran-aliran revolusioner non sosial-demokratis, terutama sesudah peristiwa Februari dan peristiwa Maret—kesemuanya ini rupanya khayal belaka! Kesemuanya ini sama-sekali tidak ada hubungannya dengan demokrasi borjuis!



Raboceye Dyelo dan para penulis surat ekonomis yang dimuat dalam Iskra No. 12 seharusnya “memikirkan apa sebanya peristiwa-peristiwa pada musim semi itu telah mengakibatkan kehidupan kembali aliran-aliran revolusioner non-demokratis demikian itu dan bukannya menaikkan wibawa dan prestise sosial-demokrasi”. Sebabnya ialah bahwa ternyata kita tidak memadai tugas-tugas yang kita hadapi. Keaktifan massa buruh ternyata melebihi keaktifan kita; pada kita tidak terdapat pemimpin-pemimpin dan organisator-organisator revolusioner yang cukup terlatih yang tahu betul akan suasana hati di kalangan semua lapisan oposisi dan pandai memimpin gerakan, mengubah demonstrasi yang spontan menjadi demonstrasi politik, memperluas sifat politiknya, dsb. Dalam keadaan yang demikian keterbelakangan kita tidak bisa bisa tidak pasti akan digunakan oleh kaum revolusionerbukan sosial-demokrat yang lebih lincah dan lebih giat, dan kaum buruh, bagaimanapun juga keras dan besarnya pengorbanan diri mereka dalam berkelahi melawan polisi dan pasukan-pasukan tentara, bagaimanapun juga revolusionernya aksi-aksi mereka, akan ternyata hanya merupakan suatu kekuatan yang menyokong kaum revolusioner ini, merupakan barisan belakang demokrasi borjuis, dan bukan merupakan pelopor sosial-demokratis. Ambillah, sebagai misal, kaum sosial-demokrat Jerman, yang hanya segi-segi lemahnya saja yang ingin dijiplak oleh kaum ekonomis kita. Apa sebabnya maka tidak satu pun peristiwa politk yang terjadi di Jerman yang tanpa menambah wibawa dan prestise sosial-demokrasi? Karena sosial-demokrasi selalu ternyata mendahului semua lainnya dalam memberikan penilaian yang paling revolusioner kepada setiap peristiwa tertentu dan dengan pembelaannya atas setiap protes menentang kesewenang-wenangan. Ia tidak meninabobokkan diri dengan pembicaraan-pembicaraan tentang perjuangan ekonomi menghadapkan kaum buruh pada kenyataan ketiadaan hak-hak bagi mereka dan pembicaraan-pembicaraan tentang keadaan konkrit yang secara fatal mendorong gerakan buruh ke jalan revolusi. Ia campur tangan dalam segala bidang dan dalam segala soal kehidupan sosial-politik: dalam soal penolakan Wilhelm untuk mensahkan seorang progressis borjuis sebagai wali kota (kaum ekonomis kita belum berhasil meyakinkan orang-orang Jerman bahwa ini pada hakekatnya adalah suatu kompromi dengan liberalisme!); dalam soal undang-undang yang melarang penerbitan-penerbitan dan gambar-gambar “cabul”; dalam soal pemerintah mempengaruhi pemilihan professor-professor, dsb, dsb. Di mana-mana kaum sosial-demokrat ternyata berada di depan semua lainnya, membangkitkan ketidakpuasan politik di kalangan semua klas, membangunkan yang malas-malas, mendorong yang terbelakang dan memberikan banyak bahan guna pengembngan kesadaran politik dan keaktifan politik proletariat. Hasil dari kesemuanya ini ialah bahwa musuh-musuh sosialisme yang sedar pun mempunyai rasa hormat terhadap pejuang-pejuang politik yang maju ini, dan tidak jarang sebuah dokumen penting tidak hanya dari kalangan borjuis, tetapi bahkan juga juga dari kalangan birokrat dan istana, melalui suatu jalan ajaib sampai pada kantor redaksi Vorwarts.



Maka inilah keterangan mengenai hal yang tampaknya merupakan “kontradiksi”, yang begitu jauh di luar pengertian Raboceye Dyelo sehingga ia hanya angkat tangan dan berteriak; “Penyamaran!” Memang, cobalah bayangkan: kami, Raboceye Dyelo, memandang gerakan massa buruh sebagai batu alas (dan mencetak hal itu dengan huruf-huruf tebal!); kami peringatkan semua orang tanpa kecuali terhadap peremehan arti unsur spontan; kami ingin memberi watak politis kepada perjuangan ekonomi itu sndiri, itu sendiri, itu sendiri; kami ingin memelihara hubungan yang erat dan organis dengan perjuangan proletar! Tetapi dikatakan bahwa kami mempersiapkan dasar untuk mengubah gerakan buruh menjadi suatu alat demokrasi borjuis! Dan siapakah yang mengatakan itu? Orang-orang yang “berkompromi” dengan liberalisme, yang campur tangan dalam setiap soal “liberal” (sungguh suatu salah pengertian yang bukan main tentang “hubungan organis dengan perjuangan proletar!”), yang mencurahkan begitu banyak perhatian pada para mahasiswa dan bahkan (oh, sungguh, terlalu!) pada kaum Zemstwo-is! Orang-orang yang pada umumnya ingin mencurahkan usaha-usaha mereka dalam persentase yang lebih besar (dibandingkan dengan kaum ekonomis) pada aktivitas di kalangan klas-klas non-proletar dari penduduk! Apakah ini bukan suatu “penyamaran”?



Raboceye Dyelo yang malang! Apakah ia akan menemukan pemecahan bagi teka-teki yang pelik ini?

* * *





* Di sini juga terdapat penunjukan kepada “keadaan Rusia yang konkrit yang secara fatal mendorong gerakan buruh ke jalan revolusioner”. Tetapi orang-orang ini tidak mau mengerti bahwa jalan revolusioner gerakan buruh bisa juga bukan jalan sosial-demokratis! Ketika absolutisme berkuasa, seluruh borjuasi Eropa Barat ‘mendorong”, dengan sengaja mendorong, kaum buruh ke jalan revolusi. Akan tetapi kita kaum sosial-demokrat tak dapat puas dengan ini. Dan jika kita, dengan jalan apapun juga, memerosotkan politik sosial-demokratis ke tingkat trade-unionis yang spontan, maka kita dengan demikian menguntungkan demokrasi borjuis.



74 S. Petersburgskiye Wyedomosti (Berita Petersburg)—surat kabar yang mulai terbit di Petersburg pada tahun 1728 sebagai kelanjutan surat kabar Rusia yang pertama Wyedomosti, yang didirikan pada tahun 1703. dari tahun 1728 sampai tahun 1874 S. Petersburgskiye Wyedomosti diterbitkan oleh Akademi Ilmu dan dari tahun 1875 dan seterusnya oleh Kementerian Pendidikan. Surat kabar itu terus terbit sampai akhir tahun 1917.



75 L. Brentano—seorang ahli ekonomi borjuis Jerman, menganjurkan apa yang dinamakan “sosialisme negara”, yang mencoba membuktikan kemungkinan mencapai persamaan sosial di dalam rangka kapitalisme dengan megnadakan reform-reform dan mendamaikan kepentingan-kepentingan kaum kapitalis dengan kepentingan-kepentingan kaum buruh. Dengan menggunakan kata-kata Marxis sebagai selimut, Brentano beserta pengikut-pengikutnya berusaha mengebawahkan gerakan klas buruh kepada kepentingan-kepentingan borjuasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar