GANTI REZIM GANTI SISTEM BANGUN PARTAI KELAS PEKERJA BANGUN SOSIALISME

Sabtu, 04 September 2010

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 01 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 185 CONCERNING

REVISING THE SEAFARERS’ IDENTITY DOCUMENTS CONVENTION, 1958
(KONVENSI ILO NO.185 MENGENAI KONVENSI PERUBAHAN
DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 1958)
DENGAN RACHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa Indonesia sebagai negara pengirim tenaga kerja pelaut
dengan jumlah yang besar perlu memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja pelaut Indonesia, karena dalam pelaksanaan
tugasnya tenaga kerja pelaut dihadapkan pada resiko persaingan
dengan pelaut asing, mobilitas dan ancaman keamanan terhadap
keselamatan pelaut;
b. bahwa untuk melindungi tenaga kerja pelaut Indonesia, yang
bekerja di kapal-kapal berbendera asing maupun Indonesia dalam
memberikan kemudahan untuk dapat ijin turun ke darat (landing
shore pass) diperlukan suatu bentuk kartu atau dokumen identitas
pelaut sesuai dengan standar Internasional;
c. bahwa ILO Convention No. 185 concerning Revising The
Seafarers’ Indentity Documents Convention, 1958 (Konvensi ILO
No.185 mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut,
1958) telah diadopsi dalam Konferensi Ketenagakerjaan
Internasional kesembilan puluh satu tanggal 19 Juni 2003 di
Jenewa, Swiss;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c; perlu mengesahkan ILO Convention
No.185 concerning Revising The Seafarers’ Identity Documents
Convention (Konvensi ILO No.185 mengenai Konvensi Perubahan
Dokumen Identitas Pelaut) dengan undang-undang;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, dan Pasal
27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945;
2. Undang-Undang No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000, Nomor 185,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN ILO
CONVENTION NO. 185 CONCERNING REVISING
SEAFARERS’ IDENTITY DOCUMENTS CONVENTION,
1958 (KONVENSI ILO NO. 185 MENGENAI KONVENSI
PERUBAHAN DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 1958).
Pasal 1
Mengesahkan ILO Convention No. 185 concerning Revising Seaferers’ Identity
Documents Convention, 1958 (Konvensi ILO No. 185 mengenai Konvensi Perubahan
Dokumen Identitas Pelaut, 1958) yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris
dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Januari 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Januari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 1
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Hukum dan Administrasi
Peraturan Perundang-undangan
ttd
HARIONO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NO. 01 TAHUN 2008
TENTANG
PENGESAHAN ILO CONVENTION NO.185 CONCERNING
REVISING THE SEAFARERS’ IDENTITY DOCUMENTS
CONVENTION, 1958
(KONVENSI ILO N0.185 MENGENAI KONVENSI PERUBAHAN
DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 1958)
I. UMUM.
Kompentesi dan tugas dari International Labour Organization (ILO) adalah membuat,
mengembangkan dan mengadopsi standar-standar ketengakerjaan internasional.
Salah satu standar tersebut Konvensi ILO No. 108 mengenai The Seafarers Identity
Documents (SID) yang diadopsi oleh ILO pada tanggal 13 Mei 1958 dan mulai
berlaku secara internasional pada tanggal 19 Februari 1961. SID ini berbentuk buku
sehingga kemudian disebut Seaman Book yang kelemahan utamanya adalah tidak
dilengkapi dengan standar biometrik.
Dokumen identitas pelaut diatas sulit diverifikasi karena teknologi biometric belum
berkembang sehingga Organisasi Konsultatif Maritim Internasional (IMCO sekarang
IMO) menerbitkan Konvensi “the Facilitation of Internasional Maritime Traffic 1965
as amended” yang isinya menetapkan bahwa kru kapal harus diperbolehkan turun ke
darat oleh pejabat yang berwenang manakala kapalnya berada di pelabuhan dan
persyaratan masuk ke pelabuhan sudah dipenuhi oleh pihak kapal.
Pejabat yang berwenang tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan izin turun
ke darat untuk keperluan kesehatan, keselamatan atau keamanan.
Selain itu, pada paragraf 11 dari preambul Internasional Ship and Port Facility
Security (ISPS) Code and SOLAS Amendment 2002 dinyatakan bahwa pemerintah
dari suatu Negara ketika mensahkan bagan keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan,
harus memperhatikan kenyataan bahwa pelaut hidup dan bekerja di kapal, dan butuh
turun ke darat serta akses ke fasilitas penunjang kesejahteraan pelaut termasuk
perawatan kesehatan.
Namun setelah terjadi tragedi pada tanggal 11 September 2001 di New York,
Amerika Serikat, sungguhpun PBB telah menerbitkan General Assembly Resolution
A/RES/57/219 tentang “Perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental
dalam memerangi terorisme”, beberapa Negara untuk keperluan perlindungan
keamanan nasionalnya telah menetapkan kebijakan penerbitan visa kerja yang sangat
ketat, dan larangan turun ke darat bagi pelaut asing yang memasuki pelabuhannya,
serta pengawasan 24 (dua puluh empat) jam terhadap pelaut yang dilakukan oleh
tenaga keamanan setempat. Sejak saat itu, pelaut Indonesia mengalami tantangan
yang lebih berat dalam menjalani profesinya.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, pelaut perlu dilindungi dengan dokumen
identitas pelaut yang dilengkapi dengan data biometrik sehingga dapat membuktikan
bahwa dia memang pelaut yang bukan teroris dan tidak terlibat aksi terorisme.
Dokumen identitas pelaut yang menerapkan standar peralatan system teknologi
informasi yang berbasis pada ILO SID 2002 biometric fingerprint standard dengan
template PDF 417 barcode, diatur dalam Konvensi ILO No.185 tentang Konvensi
Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958 yang telah diadopsi ILO pada tanggal 19
Juni 2003 dan mulai berlaku secara internasional sejak tanggal 9 Februari 2005.
Indonesia sebagai Negara anggota ILO, telah meratifikasi beberapa konvensi ILO
dalam rangka penerapan standar-standar internasional dan perlindungan bagi tenaga
kerja Indonesia.
ILO Convention No.185 concerning Revising Seafarers’Identity Document
Convention, 1985 (Konvensi ILO No.185 mengenai Konvensi Perubahan Dokumen
Identitas Pelaut, 1958) merupakan salah satu instrument yang memberikan
perlindungan dan kemudahan bagi tenaga kerja pelaut dalam menjalankan profesinya
dengan menggunakan identitas diri pelaut yang berstandar internasional.
Selain itu, sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang
menyatakan bahwa “Setiap Calon Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundangundangan”
dan mengingat tenaga kerja pelaut merupakan bagian dari Tenaga Kerja
Indonesia, maka para tenaga kerja pelaut ini wajib dilindungi yang dalam hal ini
dokumen identitas pelaut merupakan bentuk lain dari Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri
(KTKLN) khusus untuk pelaut yang dikeluarkan oleh Pemerintah sesuai dengan
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, maka Indonesia perlu
meratifikasi Konvensi ILO No.185 mengenai Konvensi Perubahan Dokumen
Identitas Pelaut, 1958.
II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA
KONVENSI.
1. Peristiwa tragis tanggal 11 September 2001 berupa serangan teroris yang
menghancurkan menara kembar Word Trade Center (WTC) di Amerika
Serikat, telah mengubah pandangan dunia terhadap rumusan tindakan anti
teroris untuk melawan aksi terorisme global. Sejak saat itu, definisi ancaman,
potensial teroris berkembang sehingga pelaut dimasukkan ke dalam
kelompok personel yang memiliki potensi untuk melakukan aksi terorisme
internasional.
2. Merespon peristiwa di atas, pada sesi ke-22 Assembly dari International
Maritime Organization (IMO) di bulan Nopember 2001 telah secara mutlak
menyetujui pengembangan tindakan pengamanan kapal dan fasilitas pelabuhan
untuk diadopsi oleh konferensi Negara-negara yang telah meratifikasi
Konvensi internasional Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974. Kemudian pada
tanggal 12 Desember 2002, Konferensi Diplomatik yang dilaksanakan oleh
Maritime Safety Committee dari IMO mengadopsi amandemen Konvensi
Internasional SOLAS yang dikenal dengan sebutan International Ship and
Port Facility Security (ISPS) Code, 2002
3. Konvensi Internasional SOLAS 1974 diratifikasi oleh Pemerintah Republik
Indonesia pada tanggal 17 Desember 1980 dengan Keputusan Presiden Nomor
65 Tahun 1980.
4. Dalam penerapan ISPS Code selanjutnya, istilah keamanan maritime
(maritime security) bukan hanya meliputi ancaman terorisme, namun
mencakup pencurian, perompakan bersenjata, penyelundupan obat bius dan
senjata api, imigran illegal dan pencari suaka. Dengan demikian pelaut diduga
berpotensi untuk menjadi pelaku ancaman ini sehingga beberapa Negara
mengeluarkan aturan keamanan nasional yang sangat ketat dan bersifat
diskriminatif.
5. Pada ISPS Code resolusi 8 (Enhancement of security in co-operation with the
International Labour Organization) dinyatakan bahwa pengembangan dan
penggunaan dokumen identitas pelaut yang dapat diverifikasi akan secara
positif memberi kontribusi kepada upaya internasional dalam menjamin
keamanan transportasi laut.
6. Guna meningkatkan keamanan transportasi laut disamping melindungi hak
pelaut dan menghindari diskriminasi, Governing Body ILO dalam Sidang
Internasional Perburuhan ke 93, tanggal 19 Juni 2003 mengadopsi Convention
185 “the Seafarers’Identity Documents Convention (Revised), 2003” yang
selanjutnya disebut sebagai Konvensi ILO No.185.
III. ALASAN INDONESIA MENGESAHKAN KONVENSI
1. Indonesia merupakan salah satu Negara penyedia tenaga kerja pelaut dan
sebagai Negara pengirim pelaut yang besar di dunia ke pasar kerja
internasional.
2. Pelaut Indonesia merupakan tenaga kerja yang mampu dan potensial menjadi
pemasok devisa Negara yang besar.
3. Dengan meningkatnya jumlah pelaut Indonesia yang melakukan pekerjaan di
pasar kerja internasional perlu mendapatkan perlindungan, karma dalam
melaksanakan tugasnya tenaga kerja pelaut dihadapkan pada resiko
persaingan dengan pelaut asing, mobilitas dan ancaman keamanan terhadap
keselamatan pelaut.
4. Daya saing tenaga kerja pelaut Indonesia dapat merosot karena ada organisasi
internasional yang menempatkan perairan Indonesia sebagai kawasan yang
rawan (marine hot spot) dan ada Negara asing yang menempatkan pelaut
Indonesia sebagai kru beresiko tinggi (highrisk crew member). Kondisi
tersebut juga dapat menyebabkan perusahaan pelayaran harus mengeluarkan
biaya keamanan tambahan yang mahal untuk mempekerjakan tenaga kerja
pelaut Indonesia
5. Guna mempertahankan daya saing dan melindungi hak-hak warga Negara
yang berprofesi sebagai pelaut di Negara lain, Indonesia perlu meratifikasi
Konvensi ILO No.185 mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas
Pelaut, 1958.
IV. POKOK-POKOK ISI KONVENSI ILO NO.185 MENGENAI KONVENSI
PERUBAHAN DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 1958.
1. Lingkup pemberlakuan Konvensi ILO No.185 mengenai Konvensi Perubahan
Dokumen Identitas Pelaut, 1958 adalah kepada “pelaut”yakni setiap orang
yang dipekerjakan atau terlibat atau bekerja pada jabatan apapun di atas kapal
selain kapal perang. Namun pemerintah dari suatu Negara dapat menerapkan
konvensi ini kepada pelaut-pelaut kapal ikan komersial setelah berkonsultasi
dengan perwakilan organisasi pemilik kapal ikan dan orang-orang yang
bekerja pada kapal ikan.
2. Penerbitan Dokumen Identitas Pelaut dilakukan oleh Negara yang
memberlakukan konvensi kepada pelaut warga negaranya dan kepada pelaut
yang memiliki alamat tempat tinggal permanen di teritorialnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara itu, namun konvensi
ini tidak berkaitan dengan kewajiban Negara anggota sesuai perjanjian
internasional yang mengatur pengungsi dan orang-orang yang tidak memiliki
kewarganegaraan. Penerbitan dokumen tidak boleh ditunda-tunda, dan pelaut
secara administratif memiliki hak untuk menggugat bila permohonan
memperoleh dokumen identitas pelaut ditolak.
3. Isi dan format dari dokumen identitas pelaut, material yang digunakan,
spesifikasi umum yang memperhitungkan perkembangan teknologi harus
sesuai dengan Lampiran I dari konvensi. Dokumen Identitas Pelaut terbuat
dari material yang sesuai dengan kondisi kerja di laut dan dapat dibaca oleh
mesin (machine-readable), bebas dari pemalsuan, mudah dideteksi dan
ukurannya tidak lebih besar dari ukuran paspor, namun merupakan dokumen
yang berdiri sendiri (stand-alone document) dan bukan pengganti paspor.
4. Basis-data Elektronik Nasional merupakan rekaman data elektronik tentang
tiap dokumen identitas pelaut yang diterbitkan, dibekukan atau dicabut yang
harus aman dari interfensi atau akses oleh pihak yang tak berwenang.
Informasi yang ditampilkan harus dibatasi pada hal-hal yang esensial untuk
keperluan verifikasi dokumen identitas pelaut atau status pelaut yang
konsisten dengan perlindungan hak pelaut atas privasi dan persyaratan
proteksi data. Pemerintah harus menerbitkan prosedur yang memperbolehkan
pelaut untuk memeriksa validitas dokumen identitasnya atau mengoreksi data
tanpa dikenai biaya. Pemerintah juga harus menunjuk permanent focal point
untuk merespon permintaan dari pihak Imigrasi atau Negara anggota ILO
lainnya mengenai keaslian dan keabsahan dari dokumen identitas pelaut yang
diterbitkan.
5. Pengendalian mutu dan evaluasi harus ditetapkan oleh pemerintah dalam
bentuk prosedur tertulis guna menjamin keamanan proses yang diawali dari
produksi dan pengiriman material, proses aplikasi, pencetakan sampai dengan
penyerahan dokumen kepada pelaut. Prosedur lain yang juga harus disediakan
adalah pengoperasian dan pemeliharaan database serta prosedur pengendalian
mutu dan evaluasi berkala. Pemerintah dari suatu Negara juga diharuskan
untuk melakukan evaluasi independent terhadap system administrasi
penerbitan dokumen identitas pelaut sekurang-kurangnya sekali dalam 5
(lima) tahun, kemudian melaporkan kepada Direktur Jenderal ILO.
6. Fasilitasi izin ke darat, transit dan pemindahan pelaut bagi pemilik dokumen
identitas pelaut dilakukan setelah melalui proses verifikasi singkat kecuali
latar belakang pelaut diragukan. Pejabat yang berwenang tidak memiliki
alasan untuk menolak izin turun ke darat seperti kerumah sakit, kantor pos,
atau kepolisian setempat. Sedangkan untuk memasuki wilayah suatu Negara
dalam rangka penempatan di kapal, atau pindah kapal di Negara itu atau di
Negara lain, atau untuk kepulangan ke tanah air, pemerintah setempat harus
memberi izin berdasarkan dokumen identitas pelaut dan paspor yang valid.
7. Kepemilikan dan pencabutan dokumen didokumentasikan dalam prosedur
yang dibuat secara tripartit. Dokumen identitas pelaut harus disimpan oleh
yang bersangkutan kecuali pelaut secara tertulis mengizinkan kapten kapal
untuk menyimpannya. Dokumen identitas pelaut harus dicabut manakala
pelaut tidak lagi memenuhi kondisi yang ditetapkan dalam konvensi.
8. Amandemen dari lampiran di kemudian hari mungkin akan dibuat oleh ILO
selaku badan tripartite maritime apabila disetujui oleh dua pertiga suara dari
anggota delegasi yang hadir dalam konferensi, termasuk sekurang-kurangnya
setengah dari jumlah Negara yang telah meratifikasi konvensi.
9. Ketentuan transisional diberlakukan kepada Negara-negara anggota ILO yang
telah meratifikasi Konvensi ILO No.108 Dokumen Identitas Pelaut, 1958.
Indonesia tidak meratifikasi Konvensi tersebut namun mengadopsi dalam
bentuk penerbitan “Buku Pelaut (Seaman Book)”.
10. Ketentuan pemberlakukan konvensi ILO No.185 mengenai Konvensi
Perubahan Dokumen Identitas Pelaut yang merupakan revisi dari Konvensi
ILO No.108 mengenai Dokumen Identitas Pelaut 1958 harus diawali dengan
ratifikasi konvensi dan dilaporkan kepada Direktur Jenderal ILO untuk
diregistrasi. Konvensi ini bersifat mengikat hanya kepada Negara-negara
yang ratifikasinya sudah diregistrasi oleh Direktur Jenderal ILO, dan harus
sudah berlaku mulai enam bulan setelah tanggal registrasi.
V. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Apabila terjadi perbedaaan penafsiran terhadap terjemahan dalam bahasa Indonesia,
maka yang dipergunakan adalah naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris.
Pasal 2.
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4800

Tidak ada komentar:

Posting Komentar