GANTI REZIM GANTI SISTEM BANGUN PARTAI KELAS PEKERJA BANGUN SOSIALISME

Senin, 30 Agustus 2010

Hatta Rajasa Keseleo Lidah, Organisme Jadi Orgasme

JAKARTA - Entah tidak konsentrasi karena letih mengikuti sidang kabinet paripurna sejak siang hingga sore hari jelang Magrib atau benar-benar keseleo lidah, pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa benar-benar membuat yang mendengar mengernyitkan dahi.

Bayangkan Hatta keliru memilih kata yang memang mirp namun artinya berbeda sangat jauh ibarat langit dan bumi. Kata apakah itu?

Berikut kutipan ucapan Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (24/8/2010).

Hatta memberikan keterangan terkait produksi dan ketahanan pangan Indonesia pada 2010. Intinya, pemerintah optimistis akhir tahun ini stok beras nasional akan surplus lima juta ton.

"Iklim ekstrim seperti ini bisa mendatangkan orgas… (Hatta menahan suara sepersekian detik pada kata ‘s’) me-opt atau orgasme, apa? Penyakit yang bisa menimbulkan kerugian yang sekarang itu kita ketahui kurang, dia muncul kembali," katanya sambil berpikir keras, berusaha menemukan kata yang dimaksud, namun susah dilontarkan.

Maksud Pak Menteri barangkali adalah organisme yang menyerang tanaman padi, karena perubahan cuaca ekstrim sehingga dapat mengganggu produksi beras nasional.

Saat kata tersebut keluar dari mulut Hatta, puluhan jurnalis cetak dan elektronik yang meliput keterangan pers tersebut hanya bisa diam sembari berbisik satu dengan yang lain. Ada juga yang tertunduk karena tak kuat menahan tawa.

Sementara menteri lain, seperti Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri BUMN Mustafa Abubakar dan Menteri Pertanian Suswono juga diam seolah-olah tak terjadi apa-apa.

(teb)

Kutipan Pidato Bung Karno untuk Malaysia

Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu.

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo... ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia...
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!

Pengusaha Keluhkan Banjirnya Produk Kosmetik Impor

Pengusaha Keluhkan Banjirnya Produk Kosmetik Impor
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Para pengusaha dalam negeri mengeluhkan adanya tren membanjirnya produk impor kosmetik dan jamu yang mudah masuk ke pasar dalam negeri.

Sementara produk ekspor kosmetik dan jamu Indonesia ke negara-negara lain justru mengalami perlakuan yang ketat termasuk dihadang dengan non tarif barrier.

Ketua Bidang Industri Perdagangan GP Jamu dan Ketua Perkosmi Putri K. Wardani mengatakan tren semacam ini setidaknya terjadi semenjak adanya AC-FTA khususnya ketika produk jamu dan kosmetik sudah mengalami penghapusan tarif 0%.

"Masing-masing negara tujuan ekspor justru mengetatkan diri, berbeda sebelum adanya AC-FTA. Misalnya pendaftaran di negara tujuan ekspor lebih lama, dengan sendirinya ini sebagai non tarif barrier," katanya dalam acara konferensi pers di kantor Apindo, Jakarta, Senin (23/8/2010).

Namun kondisi yang berlawanan terjadi di Tanah Air, pemerintah Indonesia justru sangat terbuka terhadap barang-barang impor seperti jamu maupun kosmetik.

Ia mengambil contoh, masih banyaknya peredaran jamu dan kosmetik impor tanpa label bahasa Indonesia akan menjadi ancaman bagi konsumen karena konsumen tidak tahu isi dari produk yang mereka pakai. Misalnya label bahasa asing akan menyulitkan konsumen untuk mengetahui produk kosmetik pemutih yang mengandung zat berbahaya.

"Di lapangan banyak produk jamu dan kosmetik impor yang deras masuk tak berlabel bahasa Indonesia," katanya.

Hal ini tentunya berimbas terhadap nasib industri jamu dan kosmetik lokal. Ia mencatat pada triwulan I-2010 industri jamu turun 20% dan kosmetik stagnan. Sementara hingga semester I-2010, tercatat kenaikan produk impor jamu sampai 200%.

Putri menambahkan pasar kosmetik dalam negeri per tahunnya mencapai Rp 35 triliun, di mana sebanyak 20% diisi oleh produk impor sedangkan sisanya produk lokal.

"Tapi yang 20% itu legal, belum yang ilegalnya," jelas Putri.

Sejatinya kata dia masalah regulasi terkait pencegahan peredaran produk jamu dan kosmetik yang mengandung zat berbahaya sudah ditetap dalam beberapa regulasi namun sayangnya eksekusinya di lapangan masih nihil.

"Implementasinya itu yang kita tagih. Jangan menunggu kita teriak-teriak," katanya.

(hen/dnl)

Pemerintah 'Ngeles' Ditanya Soal Redenominasi

Pemerintah 'Ngeles' Ditanya Soal Redenominasi
Herdaru Purnomo - detikFinance

Jakarta - Pemerintah kembali menegaskan wacana redenominasi tidak pernah dibahas maupun dibicarakan dengan Bank Indonesia (BI). Padahal bank sentral berkomitmen akan menyampaikan bahasan mengenai redenominasi ke pemerintah dalam waktu dekat.

Hal ini disampaikan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa usai Rapat Koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (30/08/2010).

"Memang tidak ada rencana itu (redenominasi) pembahasan juga tidak ada," jelas Hatta.

Namun sumber detikFinance di BI menuturkan, pada hari ini telah dilakukan pembicaraan mengenai redenominasi antara pemerintah, BI, dan Wakil Presiden RI Boediono.

"Sebenarnya sudah ada pembicaraan. Tadi ada pertemuan antara Pak Darmin (Gubernur BI), Pak Agus Martowardojo (Menteri Keuangan), dan Pak Hatta," ujar sumber tersebut.

Namun, sumber tersebut mengatakan tidak mengetahui hasil pembahasan mengenai masalah redenominasi tersebut.

Hatta tadi ditemui usai melakukan rapat koordinasi di kantor BI, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida S. Alisjahbana.

Dikatakan Hatta pertemuan tersebut sama sekali tidak membahas soal rencana redenominasi rupiah. "Sama sekali tidak ada agenda pembahasan redenominasi dengan BI," ujarnya tanpa berkomentar lebih jauh soal redenominasi.

Menurut Hatta, agenda rapat koordinasi kali ini hanya membahas mengenai kondisi ekonomi makro dan persiapan harga-harga pasar menjelang lebaran.

"Kita biasa tukar info ini supaya rutin, jadi soal ekonomi makro hingga harga-harga menjelang lebaran. Sama sekali tidak membahas mengenai redenominasi," tuturnya.

(dru/dnl)

Minggu, 29 Agustus 2010

INESSA ARMAND (1875-1920)

INESSA ARMAND (1875-1920)

Inessa Armand lahir di Paris tahun 1875 dari keluarga pemain theater. Pada usia 18 tahun dia menikah dengan Alexander Armand, seorang industrialis kaya, tapi meninggalkannya 10 tahun kemudian dengan 4 anak untuk tinggal bersama saudara lelakinya, Vladimir, dimana dia mendapatkan anak kelimanya. Sepanjang hidupnya, Inessa tetap menyisakan persahabatan dengan suaminya bahkan suaminya mendukung pemeliharaan seluruh anak mereka serta memberi bantuan keuangan untuk aktivitas revolusionernya.

Pertanyaan-pertanyaan seputar masalah perempuan menyeret Inessa ke sosialisme. Dia percaya bahwa adalah hak setiap wanita untuk berusaha menjadi dirinya sendiri dan mengabdikan diri secara sosial. Armand pernah menjelaskan pada anak perempuannya, Inna, bahwa dia telah memperoleh pelajaran bahwa “pilihan yang tepat bukanlah menjadi sepenuhnya feminin, tapi menjadi manusia seutuhnya”. Dia mula-mula memfokuskan diri pada masalah pelacuran, yang dilihatnya sebagai metafor bagi penindasan perempuan.

Pada tahun 1903 Armand menjadi seorang Marxist. Sebagaimana dia tuliskan dalam sebuah surat untuk suaminya:

Kenyataannya adalah bahwa pada tempat yang utama aku memilih jalan ini daripada yang lainnya. Bagiku Marxisme bukanlah sekedar gelora muda, tapi penyempurnaan sebuah evolusi panjang dari kanan ke kiri..….. yang terakhir ini, di tahun yang reaksioner (1907) waktu yang kuhabiskan bersama kaum proletariat….membuatku lebih yakin.

Tahun 1905 dia ditangkap 3 kali dan menghabiskan waktunya selama 6 bulan dalam penjara. Tahun 1907 dia dikirim ke pengasingan di Archangel. Vladimir mengikuti dia, tapi tahun 1909 dia terserang tuberculosis dan harus ke Swiss. Armand melarikan suami yang sangat dicintainya ke perawat tapi Vladimir meninggal 2 minggu setelah kedatangannya.

Setelah menyelesaikan studi di Brussels, dia pindah ke Paris dimana dia bergabung dengan grup kecil kaum Bolshevik yang berkumpul disekeliling Lenin. Dia dengan cepat menjadi teman dekat Lenin dan Krupskaya. Beberapa orang mengatakan dia adalah pacar Lenin.

Tahun 1911 dia belajar sejarah gerakan sosialis pada sekolah musim panas Marxist di Paris. Tapi setahun setelahnya Lenin menyuruh untuk segera kembali ke Rusia sebagai wakilnya di Pravda. Polisi segera menciduknya dan memenjarakannya selama setahun sebelum ditebus (mantan, pent) suaminya. Dia segera kembali ke Eropa Barat dimana dia tinggal sampai tahun 1917. Disana dia bekerja dekat dengan Lenin. Dari pengasingan dia membantu Dewan Redaksi Rabotnitsa, sebuah jurnal perempuan yang diterbitkan oleh partai.

Armand kembali ke Rusia bersama Lenin setelah Revolusi Februari 1917. Sebenarnya dia punya kesempatan untuk berperan menjadi salah satu pimpinan sentral partai, sehubungan dengan perannya bertahun-tahun sebagai asisten Lenin, tapi dia lebih memilih pergi ke Moscow sebagai anggota biasa dan melakukan pengorganisiran massa.

Sesudah revolusi dia kembali menekuni minat awalnya, kondisi kaum perempuan, dengan membantu mendirikan, bersama Kollontai dan Samoilova, departemen internal partai untuk urusan perempuan. Dia adalah salah satu perempuan dari sebuah grup perempuan Bolshevik yang mengorganisir dan berbicara di Kongres Kaum Buruh dan Petani Perempuan Seluruh Rusia di tahun 1918, yang melibatkan lebih dari 1000 orang perempuan dari seluruh Rusia.

Pada saat yang sama dia menjabat ketua Dewan Ekonomi Soviet Moscow, yang berfungsi sebagai pengontrol dan manajer ekonomi di wilayah itu, dimana dia membuktikan diri sebagai pekerja keras dan administrator yang cakap. Awal tahun 1919 dia menghabiskan waktu 3 bulan lamanya di Prancis sebagai bagian dari wakil Soviet yang mengurusi pembebasan tawanan perang Rusia.

Bulan Mei 1919 Armand ditunjuk menjadi direktur Zhenotdel. Dia mengerahkan segala kemampuannya untuk membangun departemen baru dalam partai tersebut, yang dibantu 22 orang Bolshevik dan dipimpin oleh badan tidak resmi yang dibangun dari veteran-veteran kader-kader perempuan partai. Dengan Krupskaya dia menjadi Editor majalah departemen tersebut yaitu Kommunistka.

Waktu kerjanya yang terus-menerus mencapai 14 jam per hari menyebabkan kesehatannya semakin merosot. Awal tahun 1920 dia terserang pneumonia tapi bisa disembuhkan, tapi kembali kambuh pada bulan Agustus. Ketika anaknya ikut sakit juga mereka segera ke Caucasus untuk menyembuhkan diri. Saat kembali ke Moscow dia terserang Kolera dan meninggal 2 hari kemudian. Jenazahnya dimakamkan di depan Tembok Kremlin, sebuah tempat yang sangat terhormat bagi kaum komunis yang meninggal dunia.

*Diterjemahkan (entah oleh siapa--ed) dari Comrades in Arms, Bolshevik Women in the Russian Revolution,
karangan Kathy Fairfax, hal 33-4, terbitan Resistance Books, Australia.

ALEXANDRA KOLLONTAI (1872-1952)

ALEXANDRA KOLLONTAI (1872-1952)
(her determination before 1919 is my favorite--ed)

Lahir pada tahun 1872 dari keluarga pemilik tanah kaya-raya, dan besar di Rusia serta Finlandia. Dia mempelajari banyak bahasa asing yang sangat berguna dalam aktivitas revolusioner selanjutnya. Mulai terlibat dalam aktivitas politik pada tahun 1894, ketika baru saja melahirkan anak. Awalnya dia membantu mengajar di sekolah sore bagi buruh-buruh St.Petersburg. Dengan aktivitasnya itu, mau tidak mau dia mulai terlibat bersama massa rakyat dan aktif juga sebagai anggota gerakan bawah tanah Political Red Cross, sebuah organisasi yang bertujuan untuk membela para tahanan politik. Tahun 1895 dia mendapatkan dan membaca buku karangan Bebel yang berjudul Woman and Socialism, yang sangat mempengaruhi pemikirannya tentang pentingnya emansipasi perempuan.

Sebenarnya dia mulai tertarik akan sosialisme ketika dia dan suaminya mengunjungi satu pabrik tekstil besar, dimana secara jelas kelihatan betapa buruknya kondisi kaum pekerja di sana. Setelah itu dia mulai belajar Marxisme dan ekonomi. Lalu mulai berusaha menjadi anggota perkumpulan yang didirikan Lenin, yaitu Perkumpulan Perjuangan untuk Pembebasan Klas Pekerja. Disinilah ia menemukan tempat yang tepat dan segera terlibat dalam aksi-aksi pemogokan buruh tekstil, membikin selebaran-selebaran dan mengumpulkan sumbangan untuk pemogokan-pemogokan tersebut.

Sejak tahun 1898 ia sepenuhnya sudah meyakini Marxisme. Dia lalu meninggalkan suaminya dan pergi ke luar negeri untuk belajar. (Mereka kemudian bercerai). Tahun 1899 dia kembali ke Rusia dan memulai kerja-kerja bawah tanah bersama dengan kaum Sosial Demokrat. Tahun 1905 mulai kampanye—yang menempatkan dirinya sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah gerakan revolusioner—tentang pentingnya pengorganisiran buruh perempuan Rusia untuk menuntut hak-hak mereka. Terinspirasi oleh Peristiwa Minggu Berdarah dan menjadi saksi betapa dashyatnya gelombang pemogokan di seluruh Rusia, dia menjadi yakin bahwa kaum buruh perempuan harus direkrut dan diorganisir untuk terlibat dalam perjuangan politik. Tahun 1907, untuk mewadahi keresahan-keresahan buruh perempuan, dia mendirikan sebuah organisasi perempuan yang pertama, St.Petersburg Society for Mutual Aid to Women Workers.
Tahun 1908 sampai tahun 1917, dia dibuang ke pengasingan di luar Rusia. Dia aktif menjadi agitator untuk Partai Sosial Demokratik Jerman dan menjelang Perang Dunia I berkeliling ke Inggris, Denmark, Swedia, Belgia, dan Swiss. Selama dalam pengasingan mulai banyak terpengaruh oleh kaum reformis dari berbagai partai Sosial Demokrat Eropa.

Kollontai bekerja bersama kaum Bolshevik sampai tahun 1906, kemudian bergabung dengan kaum Menshevik. Tapi perang dan pengkhianatan pimpinan-pimpinan kaum Sosial Demokrat menyebabkan ia kembali bergabung dengan kaum Bolshevik pada 1915. Dia menjadi pengikut setia Lenin. Pamfletnya yang berjudul Siapa Yang Butuh Perang ? (Who Needs War ?) yang disebar di prajurit-prajurit garis depan, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Ketika Revolusi Februari gagal, Kollontai sedang berada di Norwegia. Dia menunda kepulangannya ke Rusia untuk menunggu artikel Lenin yang berjudul Surat dari Jauh (Letters From Afar), supaya sekaligus dapat dia bawa ke Rusia. Sesudah sampai di Rusia (19 Maret) dia segera bergabung bersama Shliapnikov (yang kemudian menjadi partnernya) dan Molotov yang beroposisi terhadap taktik kompromis Stalin dan Kamenev dengan Pemerintahan Sementara. Dia kemudian terpilih menjadi anggota Komite Eksekutif Sovyet Petrogard. Mulai kepulangan Lenin pada awal April 1917, Kollontai memperlihatkan kesungguhan dan keseriusannya dalam mendukung slogan Seluruh Kekuasaan untuk Soviet (All Power to The Soviets).

Pada tahun 1917 dia adalah salah seorang dari orator partai yang paling populer, yang berbicara tanpa henti dalam berbagai pertemuan-pertemuan kaum buruh, prajurit dan pelaut. Pada Kongres Partai bulan Juli, dia terpilih menjadi anggota penuh Komite Sentral dan ambil bagian dalam pertemuan Komite Sentral tanggal 23 Oktober yang memutuskan segera dimulainya Pemberontakan.
Kollontai pernah menjabat Komisaris Kesejahteraan Umum dalam pemerintahan Soviet--dialah menteri perempuan pertama di dunia. Dia juga memainkan peran aktif sebagai oposisi kiri dalam partai yang menentang Perjanjian Brest-Litovsk dengan Jerman. Karena kasus ini dia gagal untuk dipilih kedua kalinya menjadi anggota penuh Komite Sentral; dia juga dipecat dari pemerintahan. Selama periode 1918 Kollontai aktif menjadi organiser dan agitator dan bulan November membantu menyelenggarakan Kongres Pertama Buruh dan Petani Perempuan Seluruh Rusia.

Sepanjang tahun 1919, meskipun diserang penyakit hati dan ginjal, Kollontai terus bekerja keras. Pada musim semi dan musim panas tahun itu dia bekerja sebagai agitator partai di Ukrania, dimana sedang timbul ketegangan antara kaum revolusioner dengan kaum kontra revolusi.

Bulan November 1920, sesudah kematian Inessa Armand, Kollontai menjadi kepala Zhenotdel, sebuah departemen dalam partai yang khusus mengurusi masalah perempuan, yang didirikannya bersama Armand dan Krupskaya. Akhir tahun 1920, ia bergabung dengan Oposisi Buruh, yang memperlihatkan mulai adanya kecenderungan birokrasi di dalam partai dan negara, serta bersama Shliapnikov menjadi pimpinan terasnya. Pada Kongres ke 10 partai bulan Maret 1921 program-program yang diajukannya dianggap sebagai anarko-syndikalis.

Tahun 1922 dia ditunjuk Stalin bekerja di luar Rusia yaitu menjadi perwakilan Soviet di Norwegia dan 1924-25 menjadi duta besar di sana—dialah duta besar perempuan pertama di dunia. Dia selanjutnya menjabat duta besar di Meksiko, kembali ke Norwegia, dan terakhir di Swedia sampai masa pensiunnya tahun 1945.

Meskipun dia dalam posisi berseberangan dan anti birokratisme, Kollontai tidak pernah menggabungkan diri dengan oposan Trotskyst. Dia merasa bahwa beroposisi terhadap Stalinisme yang sedang berkuasa di USSR adalah sia-sia. Dia kemudian menghindar dari dunia politik dan berusaha menunjukkan ‘kepatuhan’ pada aturan yang dibuat Stalin. Sebagaimana pengakuannya kepada seorang kawannya, “Saya telah meletakkan keyakinanku di sudut kesadaran yang akan muncul ketika ada kebijakan yang berusaha menindasku.”

Ketika teror kaum Stalinist menimpanya, juga kawan-kawannya kaum revolusioner selama bertahun-tahun, dia berusaha menyelamatkan diri. Pada tahun 1938, disamping Stalin dan yang mati secara alami lainnya, Kollontai adalah satu-satunya anggota Komite Sentral bulan Oktober 1917, yang tersisa tanpa lumuran darah. Bagi Stalin, dia adalah orang yang sangat mudah ditaklukkan tanpa kekerasan. Sebagai orang lama Bolshevik dan figur yang cukup populer dalam dunia internasional, dia bisa digunakan untuk menunjukkan kemajuan Soviet dalam masalah kebebasan perempuan.

Kollontai meninggal tahun 1952, terlupakan, pemikirannya dikekang tapi masih terus mendukung Uni Sovyet. Dia menganggap adalah sia-sia berbicara tentang keburukan pemerintahan Stalin ketika aroma kemenangan revolusi masih terasa. Dia menghibur diri dengan berpikir: “Semuanya akan hilang oleh waktu. Dan ide-ide yang humanistik akan selalu menang………..Kecenderungan garis reaksioner tidak akan mampu bertahan lama. Tidak akan pernah ! Sejarah telah membuktikan ini di banyak negara dan banyak masyarakat”.

Gerakan-gerakan pembebasan perempuan pada akhir 1960-an dan 70-an membawa kembali kenangan kepada perempuan yang luar biasa ini dimana dia berjuang begitu teguh untuk Sosialisme dan pembebasan perempuan.


*Diterjemahkan (entah oleh siapa--ed) dari Comrades in Arms, Bolshevik Women in the Russian Revolution, karangan Kathy Fairfax, hal 30-2, terbitan Resistance Books, Australia.
***

NADEZHDA (NADIA) KRUPSKAYA (1869-1939)

NADEZHDA (NADIA) KRUPSKAYA (1869-1939)

Lahir pada tahun 1869 di St. Petersburg , Nadia menjadi Marxist pada awal tahun 1890an. Dia adalah seorang guru, kemudian mulai terlibat dalam gerakan ketika membantu kelas sore pengajaran Marxisme bagi buruh. Selanjutnya, ikut mendirikan Perkumpulan Perjuangan untuk Emansipasi Klas Pekerja bersama-sama dengan Lenin, yang dia kenal pada tahun 1894. Akibat pemogokan-pemogokan yang terjadi tahun 1896 dia dipenjarakan selama 6 bulan dan kemudian dibuang ke Siberia selama 3 tahun. Di sana dia menikahi Lenin. Sepanjang hidup Lenin, Krupskaya adalah teman terdekatnya, sekretarisnya dan orang yang sangat dipercayai Lenin dalam seluruh kerjanya.

Tahun 1901 mereka dibebaskan dan meninggalkan Rusia menuju pengasingan. Krupskaya memainkan peran kunci dalam organisasi Kaum Sosial Demokrat Rusia di pengasingan dan menduduki berbagai posisi selama bertahun-tahun. Selama di pengasingan dia terus menerus menunjukkan minat yang sangat luar biasa dalam pengembangan pengajaran teori dan praktek progressif, belajar bahasa asing dan berbagai literatur.

Setelah Revolusi Februari dia bersama Lenin kembali ke Rusia. Dia selanjutnya bekerja di sekretariat Komite Sentral partai sampai terpilih mewakili Distrik Vyborg untuk Duma di Petrogard, dimana dia aktif dalam departemen pendidikan rakyat (popular education).

Sesudah Revolusi Oktober dia ditempatkan di Komisariat Rakyat untuk Pendidikan (People’s Commisariat of Education). Di sini ia menunjukkan minat khusus dalam pendidikan bagi orang dewasa. Pada saat yang sama dia membantu mengorganisir Zhenotdel dan organisasi-organisasi pemuda—seperti Komsomol dan Pioneers—serta menulis berbagai artikel untuk koran-koran maupun jurnal.

Meskipun sudah bergabung dalam barisan kaum revolusioner sebelum bertemu Lenin, cara pandangnya menjadi lebih tajam setelah pernikahan mereka. Kerjasama mereka selama puluhan tahun membuktikan ketepatan pandangan Lenin dan semakin meyakinkan Krupskaya atas analisis-analisis tersebut. Setelah meninggalnya Lenin, dia sedikit kesusahan menempatkan dirinya dalam perubahan situasi politik yang begitu cepat.

Walau posisinya berseberangan dengan Stalin, dia tidak pernah mundur akibat perpecahan dalam partai yaitu antara elemen revolusioner dan kaum kariris. Setelah secara berani bergabung bersama Trotsky dan Zinoviev pada tahun 1925-26, dia kemudian menyerah pada Stalin.

Sampai pada akhir hayatnya tahun 1939, di depan publik dia menanggung beban sebagai janda Lenin meskipun secara pribadi harus sabar menerima penghinaan melalui pengawasan dan sensor yang dilakukan oleh polisi-polisi rahasia Stalin. Dia seorang yang tak berdaya menyaksikan pembantaian hampir seluruh kaum Bolshevik, kawan-kawannya di masa-masa susah ketika berusaha mendirikan partai ataupun ketika menghadapi masa-masa sulit di pengasingan.

Krupskaya, tulis Trotsky dalam sebuah artikel untuk kematiannya, “adalah seorang yang luar biasa (outstanding personality) totalitas pengabdiannya, semangatnya, dan ketulusan jiwanya. Dia adalah wanita yang tak mudah dikelabui ……………seorang revolusionist sejati dan salah seorang yang paling tragis nasibnya dalam sejarah gerakan revolusioner”.

*Diterjemahkan (ntah oleh siapa--ed) dari Comrades in Arms, Bolshevik Women in the Russian Revolution,
karangan Kathy Fairfax, hal 33-4, terbitan Resistance Books, Australia.

Rosa Luxemburg: Sang Pedang Revolusi

Rosa Luxemburg: Sang Pedang Revolusi

Sumber : Tabloid Pembebasan Edisi V/Thn II/Februari 2003
Kontributor : Dewan Redaksi Tabloid Pembebasan, Januari 2004
Versi Online : Indomarxist.Net, 3 Februari 2004
* * *
Banyak sudah tulisan yang memahat nama agung perempuan ini, seorang pemimpin partai revolusioner Jerman (SPD); jurnalis dan penulis tersohor, sekaligus pemikir Marxis terkemuka. Rosa Luxemburg, tak hanya di Jerman, namanya abadi pula dalam perjuangan revolusioner di Polandia dan Rusia. Sebarisan karya-karya besarnya menjadi bagian dari penggerak perubahan sejarah. Seumur hidupnya, dengan sepenuh-penuh jiwanya, ia teguh berjuang demi tegaknya sosialisme.

Berakhir tragis. Setahun setelah revolusi Bolsyevik yang dengan gemilang meledak di Rusia, rezim Hitler menamatkan riwayatnya. Tengah malam pada Januari 1919, setelah menjalani perburuan panjang, beserta Wilhelm Pieck dan Karl Liebknecht, -- kawan-kawannya-- ia ditangkap tentara Jerman. Dalam perjalanan ke penjara mereka disiksa habis-habisan. Batok kepala Luxemburg dihantam dengan popor senjata, remuk. Belum selesai di situ, kepala perempuan yang sarat pikiran-pikiran radikal ini dihujani berpuluh-puluh peluru.
Mayatnya lantas dilempar ke sungai. Leo Jogiches, kawan karib sekaligus kekasihnya, terus mencari-cari hingga akhirnya ia sendiri tertangkap dan dibunuh tentara Jerman, sebelum berhasil menemukan mayat Luxemburg. Baru pada bulan Mei, mayat Luxemburg ditemukan mengapung, tersangkut di tiang pancang jembatan, di sebuah sungai di pinggiran kota Berlin.
Remuk, dan sudah membusuk. Toh, orang masih mengenali Rosa Luxemburg, masih mengenali sebelah kakinya yang cacat. Surat-surat indah, artikel, polemik yang ditulis pada kawan-kawannya, pada Leo Jochiches yang sering dipanggilnya “Julek”, adalah jejak-jejak berharga yang tertinggal sampai abad ini. Dia dikebumikan pada Juni di Friedrichsfeld berdampingan dengan kekasihnya. Juga bersama dengan jasad para revolusioner lainnya.

Keturunan Yahudi Yang Tersisih

Lahir pada bulan Maret 1871 di Zanosc, sebuah kota kecil di tenggara negara Polandia. Kelahirannya tepat beberapa hari sebelum kaum buruh di Paris mendeklarasikan Komune Paris, bentuk pertama pemerintahan sejati rakyat. Dia bungsu dari lima bersaudara dari keluarga kelas menengah keturunan Yahudi, yang mengenal makna tersingkir dan tertindas sejak belia.

Pada usia dua tahun keluarga mereka pindah ke ibukota, Warsawa. Di situ pula awal mulanya Luxemburg mengidap penyakit serius. Tulang-tulang tubuhnya tak tumbuh sempurna. Kakinya cacat. Dari tempat tidurnya ia belajar membaca. Sampai akhirnya Luxemburg kecil terlihat menonjol kecerdasannya. Seiring itu pula, jiwa pembebasnya yang terbentuk semenjak belia makin kokoh terbangun. Hasilnya, saat ia tamat sekolah dasar menjadi lulusan terbaik, namun dewan guru menolak memberikan penghargaan tersebut karena dinilai “terlalu suka menentang pihak yang berwenang".

Menatap Luxemburg secara fisik, alangkah jauh dari gambaran keperkasaan pahlawan besar. Tubuhnya teramat kurus dan cenderung tidak proporsional, ukuran lengannya terlalu pendek.Tulang panggulnya tak rata, sehingga ia harus berjalan dengan kaki timpang. Toh, ia memiliki pesona tersendiri; binar matanya amat tajam, terpancar energi dan keyakinan luar biasa. Itulah yang mampu menundukkan orang.

Tumbuh dengan jiwa pembebas, dengan semangat benci terhadap kezaliman, jelas bukan datang dari langit. Keluarganya lah yang mati-matian berjuang sebagai warga Yahudi yang tersisih, yang ikut membentuk keyakinannya. Ayahnya seorang terpelajar, memiliki pabrik kayu, yang memperkenalkannya dengan literatur politik. Ia mulai belajar tentang demokrasi modern. Sedang, sang ibu mewarisinya dengan kebijakan manusia. Seperti yang ditulisnya pada kawannya, Sophie Leibknect, Luxemburg mengatakan, ibundanya yang menganjurkan dirinya untuk membaca Injil sebagai sumber kebijakan manusia.

Luxemburg tertarik dengan politik sejak di sekolah menengah, ia bergabung dalam pergerakan revolusioner bawah tanah, dan menjadi anggota salah satu sel Partai Proletariat, yang bersekutu dengan kelompok Narodnik (populis) di Rusia. Dua tahun sesudahnya ia mulai dicari-cari petugas, terancam ditangkap. Untuk menghindar dari pemerintahan otoriter Alexander III, ia lari ke Swiss, pada tahun 1889.

Disana ia belajar di Universitas Zurich, di bidang ilmu alam, ekonomi dan hukum. Ia ikut pula dalam perjuangan kelas pekerja, aktif dalam kehidupan politik para imigran dari Polandia dan Rusia. Kota Zurich itu sendiri merupakan kiblat bagi kaum kiri untuk belajar, seperti dua orang Marxis termasyur dari Rusia, Plekhanov dan Akselrod. Rosa sempat belajar Marxisme, ikut perdebatan-perdebatan dan menjadi seorang teoretisi Marxis terkemuka. Di sana ia mematangkan Marxismenya. Ia meyakini dirinya sebagai bagian dari kelas proletar. Dia yakin, hanya sosialisme lah yang dapat memberikan kemerdekaan sejati dan keadilan sosial. Marxisme bukanlah hanya sebuah sistem teoritis untuk mengatasi semua persoalan, lebih daripada itu, dia merupakan metode menguji proses perubahan ekonomi pada masing-masing tahapan dari perkembangan sejarah beserta semua hasil dari kepentingan, gagasan, tujuan dan aktivitas politik masing-masing kelompok dalam masyarakat.
Luxemburg berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu politik dengan menulis karya ilmiah tentang perkembangan kapitalisme di Polandia. Sebuah gelar yang dianggap sebagai di luar kelaziman, lantaran pada waktu itu belum pernah ada perempuan yang sampai tingkat doktor.

1892, adalah titik awalnya secara total berserah diri dalam politik. Luxemburg mendirikan Partai Sosialis Polandia, namun beberapa waktu kemudian dia berselisih dengan para pimpinan Partai tersebut, yang dianggapnya terlalu berkompromi dengan nasionalisme borjuis.
Selanjutnya pada tahun 1893, bersama-sama dengan Leo Jochiches ia mendirikan Partai Sosial Demokrat, yang bersifat lebih revolusioner. Masih sebagai organisasi bawah tanah, Luxemburg pergi ke Paris dan bekerja sebagai editor koran partai Sprawa Robotnicza. Selain sebagai penulis, ia lebih menyukai posisinya sebagai orator, sedangkan Leo lebih berkonsentrasi pada kerja-kerja organisasi. Dia menjadi seorang tokoh penting dalam Partai Sosial-Demokrat Jerman tanpa meninggalkan peranannya sebagai seorang pemimpin gerakan revolusioner Polandia.
Luxemburg mendapat kewarganegaraan Jerman tahun 1898 setelah menikah dengan Gustav Lubeck, seorang pimpinan sayap kiri SPD. Ia berpartisipasi pada Internasional Kedua dan pada revolusi 1905 di Rusia bergabung dengan partai Sosial Demokrat.

Seorang Petarung Sejati

Rosa Luxemburg adalah sang petarung sejati. Seorang visioner yang mempunyai pikiran jauh ke depan. Tak pernah gentar berhadapan dengan para pengkritiknya, berdebat dengan sesama orang revolusioner, dan tidak jarang berbeda pendapat dengan Lenin, karena keadaan di Rusia amat berlainan dengan kondisi di Jerman waktu itu, sehingga kaum Bolsyevik mengembangkan stategi dan taktik yang berbeda pula.

Ia selalu melawan unsur-unsur nasionalis dalam gerakan kiri Polandia. Waktu itu sebagian dari wilayah Polanda dikuasai oleh Rusia. Pada dasarnya Lenin setuju bahwa semua nasionalisme harus dilawan. Namun Lenin melihat masalah itu dari sudut pandangan seorang warga Rusia, yaitu seorang warga dari bangsa penindas, dan dia berusaha menyadarkan kaum buruh Rusia yang mesti menjamin hak rakyat Polandia untuk merdeka. Hanya dengan menjamin hak ini kaum buruh Rusia bisa ikut membantu dalam mengatasi nasionalisme di Polandia, karena nasionalisme muncul sebagai akibat dari penindasan yang dilakukan oleh administrasi Rusia.

Luxemburg menganggap sikap Lenin ini sebagai kompromi dengan nasionalisme. Perdebatannya kompleks, karena sebetulnya Luxemburg juga ingin menjamin hak tersebut untuk sejumlah bangsa tertindas lainnya. Pada dasarnya pendekatan Lenin harus dinilai lebih benar karena lebih dialektis. Dia menyimak perjuangan nasional dan perjuangan kelas dari dua sisi: "Kami orang Rusia harus menekankan hak rakyat Polandia untuk merdeka, sedangkan kawan-kawan Polandia harus menekankan hak mereka untuk bersatu dengan kami."

Luxemburg juga mengecam sepak terjang kaum Bolsyevik setelah mereka mengambil alih kekuasaan. Kritik ini, dalam sebuah naskah yang ditemukan setelah dia meninggal dunia, terkadang disalah artikan. Rosa dengan antusias mendukung revolusi Oktober yang dipimpin oleh Partai Bolsyevik: "Pemberontakan Oktober tidak hanya menyelamatkan Revolusi Rusia dalam kenyataan, tetapi juga menyelamatkan nama baik gerakan sosialis internasional ... masa depan kita di mana-mana diperjuangkan oleh kaum Bolsyevik."

Kritiknya yang ketiga menyangkut soal demokrasi. Sebelum Oktober, kaum Bolsyevik menuntut agar majelis konstituante (yang mewakili rakyat dengan cara parlementaris borjuis) mesti dipanggil. Setelah insureksi Oktober, ketika soviet-soviet (dewan-dewan utusan buruh, tentara dan petani) mengambil alih kekuasaan, pihak Bolsyevik tidak lagi mendukung majelis konstituante yang didominasi oleh pihak reformis dan borjuis itu.

Ketika majelis itu akhirnya berkumpul, malah dibubarkan oleh kaum Bolsyevik. Menurut Luxemburg tindakan ini tidak demokratik Tapi yang harus dimengerti di sini adalah perbedaan antara demokrasi borjuis dan demokrasi buruh (sosialis). Dalam prinsip, soviet-soviet adalah lebih unggul karena berdasarkan kaum buruh yang memilih wakil-wakil mereka di tempat kerja.Dalam kenyataan, soviet-soviet merupakan kekuasaan kelas buruh, sedangkan majelis konstituante dikuasai oleh pihak kontrarevolusi. Jika kaum Bolsyevik mau mempertahankan kekuasaan kelas buruh, mau tidak mau majelis konstituante harus dibubarkan.

Cukup jelas, bahwa salah satu kesalahan terbesar Rosa adalah ketidakbersediaannya untuk membangun sebuah partai tipe Bolsyevik beberapa tahun terlebih dahulu. Namun kita tidak boleh membandingkan Lenin dan Luxemburg begitu saja. Lenin mengembangkan sebuah partai tipe baru karena harus menghadapi kondisi baru di Rusia. Sebelum tahun 1914 dia tidak pernah menuntut agar Rosa keluar dari Partai Sosial Demokrat Jerman. Malah Lenin lebih percaya pada para pimpinan partai itu. Baru ketika perang dunia meledak, dan para pimpinan sosial demokrat mengkianati kelas buruh dengan mendukung perang tersebut, Lenin akhirnya mengakui: "Rosa Luxemburg terbukti benar: sudah jauh-jauh hari dia sadar bahwa Kautsky adalah seorang teoretisi oportunis."

Pada tahun 1905, revolusi Rusia yang pertama meledak. Di sini, pemogokan massa menjadi motor revolusi, dan fenomena itu memberikan pengertian baru yang mendalam untuk memahami hubungan erat antara perjuangan ekonomi dan perjuangan politik. Para pimpinan sosial-demokrat seperti Bernstein dan juga Karl Kautsky (yang waktu itu masih mengaku sebagai seorang revolusioner) tidak setuju dengan pemogokan massa, karena mereka menganggap aksi-aksi semacam itu kurang politis. Namun Luxemburg menekankan bahwa di masa revolusi, perjuangan ekonomi berkembang serta meluas menjadi perjuangan politik, dan sebaliknya: “Gerakan semacam ini tidak hanya bergerak ke satu arah, dari sebuah perjuangan ekonomi ke politik, tetapi juga dalam arah sebaliknya. Setiap aksi massa politik yang penting, setelah mencapai puncak, menimbulkan sejumlah pemogokan ekonomi massa. Dan prinsip ini bukan hanya relevan untuk pemogokan massa secara terpisah, tetapi juga untuk revolusi secara keseluruhan. Dengan perluasannya, klarifikasi dan intensifikasi perjuangan politik, perjuangan ekonomi bukan hanya tidak surut, bahkan sebaliknya berkembang luas sekaligus menjadi lebih terorganisir dan lebih intensif. Ada pengaruh timbal-balik antara kedua macam perjuangan itu.”

Setiap serangan dan kemenangan baru dalam perjuangan politik akan berdampak secara dahsyat kepada perjuangan ekonomi, karena dengan meluasnya cakrawala kaum buruh serta motivasi mereka untuk memperbaiki kondisi mereka, pengalaman tersebut juga mempertinggi semangat tempur mereka. Setiap selesai gelombang aksi politik, ada endapan subur, dari situ akan muncul ribuan perjuangan ekonomi, dan sebaliknya.

Puncak pemogokan massa adalah "pemberontakan terbuka, yang hanya akan terealisir sebagai titik kulminasi dari serangkaian pemberontakan lokal yang mempersiapkan medan (yang hasilnya selama beberapa waktu mungkin adalah kekalahan sementara, sehingga aksi tersebut mungkin tampaknya ‘gegabah’)." Betapa hebatnya peningkatan kesadaran kelas yang dapat dihasilkan oleh pemogokan-pemogokan massa ini: “Yang paling berharga (karena paling abadi) dalam naik turunnya arus gelombang revolusi, adalah perkembangan jiwa kaum proletar. Keuntungan yang didapat oleh lompatan intelektual yang tinggi kaum proletar akan menjamin kemajuan mereka secara terus menerus dalam perjuangan politik dan ekonomi yang akan datang.”

Serangan yang gagal dari sayap kiri dari Partai Sosial Demokrat, "Liga Spartakus", di bawah kepemimpinan Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht, telah menyeretnya ke penjara --Spartakus adalah seorang budak yang memberontak pada zaman Romawi kuno; Liebknecht adalah satu-satunya anggota parlemen Jerman yang melawan Perang Dunia I semenjak awal--, di tahun 1916 sampai 1918.

Dari balik tembok penjara lah ia justru menemukan kekuatannya. Disini ia berjuang keras melewati masa-masa depresi, ia tak mengeluh mengatakan berjuta penderitaannya. Selain menulis tentang Revolusi Rusia, satu-satunya hal yang membahagiakan adalah bisa menulis surat untuk Leo-nya, yang berselisih 15 tahun, yang kemudian dijatuhi hukuman mati lantaran mengedarkan seruan mogok bagi para para tentara dan buruh pabrik senjata. Sebelum kematiannya, dia telah memutuskan dengan Clara Zetkin dan Mathild Jacob untuk mempublikasikan tulisan-tulisan karya Luxemburg. Hanya pada Leo lah ia nyatakan kepedihan hatinya: “Jika saat ini, nyawaku mendahului pergi, aku tak sanggup lagi berkata-kata sebagai ungkapan perpisahan, dan hanya bisa menerawang dengan tatap kosong keputusasaan. Sejatinya, aku jarang sekali berkehendak untuk bicara. Minggu-minggu berlalu tanpa mendengar suaraku sendiri”.

Surat-suratnya terus mengalir dari penjara. Luxemburg, seseorang yang mempunyai kecintaan yang dalam pada kehidupan, dia juga meluangkan waktu dengan merenungkan “burung-burung, hewan serta puisi.”

Tentang Perjuangan Perempuan

Kendati secara khusus jarang menulis tentang gerakan perempuan, terhadap gerakan perempuan sikapnya jelas. Baginya, kebebasan perempuan adalah bagian dari pembebasan dari penindasan kapitalisme. Ia menentang pemisahan terhadap gerakan perempuan dan gerakan politik. Sebagai ketua partai ia lebih menempatkan dirinya sebagai pimpinan revolusioner dari laki-laki dan perempuan. Ia berdiri mutlak diantara pertarungan politik.

Menurutnya, perempuan dapat mencapai kemerdekaannya secara penuh hanya dengan memenangkan revolusi sosial dan menyingkirkan perbudakan ekonomi mereka pada institusi keluarga, dan dia mencurahkan seluruh energinya untuk dipersembahkan pada revolusi. Luxemburg menolak pandangan tentang peran-peran stereotip perempuan yang biasanya, yang lazimnya ada di organisasi.

Ia tak pernah tertarik pada fungsi-fungsi administratif, keuangan, dan kerja-kerja pengorganisiran.Ia lebih suka berpidato dan menulis.Ia memahami pentingnya mengorganisir perempuan untuk menjadi bagian dari perjuangan revolusioner, dia tetap menolak untuk dipaksa dalam beberapa peranan tradisional perempuan ke dalam partai. Luxemburg memandang perempuan sebagai bagian yang terekspoitasi, termasuk di dalamnya kelas pekerja, bangsa-bangsa minoritas dan petani. “Seorang perempuan, harus berani untuk terlibat dalam politik, sebuah wilayah yang hampir seluruhnya dikuasai oleh laki-laki”, demikian ungkapnya.

Dalam sebuah surat yang ditulis yang ditulisnya di penjara, dia meminta Sophie Liebknecht untuk meneruskan bacaannya. “Engkau harus terus-menerus mengasah batinmu, dan hal tersebut akan sedikit mudah untukmu jika fikiranmu senantiasa segar dan lentur”.

Dalam sebuah pidato pada Rally Perempuan Sosial Demokratik Kedua, 12 Mei 1912, Luxemburg menyatakan bahwa hak memilih kaum perempuan adalah sasaran yang tepat. Dia berpendapat bahwa “gerakan massa untuk memperolehnya bukanlah (sekedar) tugas bagi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat proletariat. Lemahya hak-hak yang diberikan oleh pemerintah Jerman adalah hanya salah satu rantai belenggu yang menghalang-halangi kehidupan masyarakat. Lemahnya hak-hak pada kaum perempuan menjadi alat yang paling penting dari klas kapitalis yang berkuasa.”***

Buruh Pabrik Rokok Malang Protes THR Diturunkan

Buruh Pabrik Rokok Malang Protes THR Diturunkan
Sabtu, 28 Agst 2010 20:18:11| Sospol | Dibaca 11 kali
Malang - Sedikitnya 500 buruh pabrik rokok PT Adi Bungsu di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu melakukan protes kepada perusahaan rokok tersebut, karena tunjangan hari raya (THR) pada tahun ini nilainya diturunkan.

Salah satu buruh, Alfiyah (31), mengatakan protes dilakukan para buruh setelah adanya pengumuman penurunan nilai THR yang dilakukan mandor.

"Ketika para buruh masuk pabrik untuk bekerja, Sabtu pagi, tiba-tiba mandor pabrik mengumumkan bahwa THR tahun ini turun dari Rp1,8 juta menjadi Rp1,1 juta," ucapnya mengungkapkan.

Alfiyah menjelaskan, setelah mendengar pengumuman tersebut, kemudian semua buruh yang berjumlah 500 keluar pabrik dan melakukan aksi protes di depan pabrik.

"Kami protes dengan mengadakan mogok kerja kalau tidak dituruti permintaan kami, yakni mengembalikan nilai THR seperti tahun lalu," katanya menegaskan.

Ia menjelaskan, tuntutan para buruh meliputi supaya Fadhila yang juga kepala personalia PT Adi Bungsu diturunkan, lalu THR para buruh tidak diturunkan.

Sementara salah satu perwakilan pihak pabrik, Heri Sunarko, menjelaskan tuntutan para buruh akan dipenuhi dalam waktu dekat.

Untuk itu diharapkan supaya para buruh tetap tenang, sebab yang menjadi permintaan para buruh dalam waktu dekat akan dituruti pihak manajemen.

"THR tidak akan dikurangi yakni tetap Rp1,8 juta, sementara permintaan mundur Pak Fadhila akan dipenuhi juga, sebab Pak Fadhila sudah siap turun dari personalia," ujar Heri menegaskan.

Usai mendengar penjelasan Heru, kemudian para buruh mengakhiri aksinya dengan bubar secara sendirinya."Kedepan, pihak pabrik juga akan tetap menyesuaikan gaji serta THR para buruh dengan UMK Kota Malang," ujar Heri berjanji.

K E P U T U S A N B E R S A M A, T E N T A N G HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2010

K E P U T U S A N B E R S A M A
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 1 TAHUN 2009
NOMOR : SKB/13/M.PAN/8/2009
NOMOR : KEP.227/MEN/VIII/2009
T E N T A N G
HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2010
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Menimbang :
a. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas pemanfaatan hari-hari kerja, hari-hari libur, dan cuti bersama, dipandang perlu menata pelaksanaan hari-hari libur nasional dan mengatur cuti bersama tahun 2010;
b. bahwa penataan hari-hari libur dan pengaturan cuti bersama tahun 2010 sebagaimana tersebut pada huruf a menjadi pedoman bagi instansi pemerintah dan swasta sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan produktivitas kerja;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b di atas, perlu ditetapkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010.

Mengingat :
1. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-hari Libur sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1971;
2. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek;
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008; Keputusan Menteri Agama Nomor 331 Tahun 2002 tentang Penetapan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional.
4.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010 adalah
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
KEDUA : Untuk kepentingan pelaksanaan ibadah Hari Raya Idul Fitri dan Hari
Raya Idul Adha Magi umat Islam, maka tanggal 1 Syawal 1431 H dan 10
Dzulhijjah 1431 H, ditetapkan kemudian dengan Keputusan Menteri
Agama.
KETIGA : Unit kerja/satuan organisasi yang berfungsi memberikan pelayanan
langsung kepada masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah yang
mencakup kepentingan masyarakat luas, seperti: rumah
sakit/puskesmas, unit kerja yang memberikan pelayanan telekomunikasi,
listrik, air minum, pemadam kebakaran, keamanan dan ketertiban,
perbankan, perhubungan, perpajakan, bea cukai, dan unit kerja
pelayanan lainnya yang sejenis agar mengatur penugasan pegawai,
karyawan, dan pekerja/buruh pada hari-hari libur nasional dan cuti
bersama yang ditetapkan, sesuai dengan peraturan perundang
undangan.
KEEMPAT : Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud pada dictum
KESATU mengurangi hak cuti tahunan pegawai, karyawan dan
pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
ketentuan yang berlaku pada masing-masing instansi /lembaga
/perusahaan.
KELIMA : Pelaksanaan cuti bersama di kalangan dunia usaha sebagaimana
Dimaksud pada diktum KESATU diatur oleh lembaga atau perusahaan
Yang bersangkutan.
KEENAM : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA
NOMOR : 1 TAHUN 2009
NOMOR : SKB/13/M.PAN/8/2009
NOMOR : KEP.227/MEN/VIII/2009
TENTANG
HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2010
A. HARI LIBUR TAHUN 2010
No Tanggal Hari Keterangan
1. 1 Januari Jumat Tahun Baru Masehi
2. 14 Februari Minggu Tahun Baru Imlek 2561
3. 26 Februari Jumat Maulid Nabi Muhammad SAW
4. 16 Maret Selasa Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1932
5. 2 April Jumat Wafat Yesus Kristus
6. 13 Mei Kamis Kenaikan Yesus Kristus
7. 28 Mei Jumat Hari. Raya Waisak Tahun 2554
8. 10 Juli Sabtu Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW
9. 17 Agustus Selasa Hari Kemerdekaan RI
10. 10-11 September Jumat - Sabtu Idul Fitri 1 Syawal 1431 Hijriyah
11. 17 November Rabu Idul Adha 1431 Hijriyah
12. 7 Desember Selasa Tahun Baru 1432 Hijriyah
13. 25 Desember Sabtu Hari Raya Natal
B. CUTI BERSAMA TAHUN 2010
Tanggal Hari Keterangan
9 September Kamis Cuti Bersama Idul Fitri
13 September Senin Cuti Bersama Idul Fitri
24 Desember Jumat Cuti Bersama Hari Raya Natal

Sabtu, 28 Agustus 2010

Haji Misbach: Muslim Komunis

Haji Misbach: Muslim Komunis



Sumber : Tabloid Pembebasan Edisi V/Thn II/Februari 2003

Kontributor : Dewan Redaksi Tabloid Pembebasan, Januari 2004

Versi Online : Indomarxist.Net, 3 Februari 2004

* * *

Haji Misbach memiliki posisi yang unik dalam sejarah di Tanah Air. Namanya sedahsyat Semaun, Tan Malaka, atau golongan kiri lainnya. Di kalangan gerakan Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut lantaran pahamnya yang beraliran komunis. Menurut Misbach, Islam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.

Lahir di Kauman, Surakarta, sekitar tahun 1876, dibesarkan sebagai putra seorang pedagang batik yang kaya raya. Bernama kecil Ahmad, setelah menikah ia berganti nama menjadi Darmodiprono. Dan usai menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach.

Kauman, tempat Misbach dilahirkan, letaknya di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Di situlah tinggal para pejabat keagamaan Sunan. Ayah Misbach sendiri seorang pejabat keagamaan. Karena lingkungan yang religius itulah, pada usia sekolah ia ikut pelajaran keagamaan dari pesantren, selain di sekolah bumiputera "Ongko Loro".

Menjelang dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik di Kauman mengikuti jejak ayahnya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka rumah pembatikan dan sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI). Bicara kepribadian Misbach, orang memuji keramahannya kepada setiap orang dan sikap egaliternya tak membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Sebagai seorang haji ia lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa, Misbach mulai aktif terlibat dalam pergerakan pada tahun 1914, ketika ia berkecimpung dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond)-nya Marco. Pada tahun 1915, ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin, yang edisi pertamanya tertanggal 15 Januari 1915 dan kemudian menerbitkan Islam Bergerak pada tahun 1917. Surat-surat kabar ini menjadi media gerakan yang sangat populer di Surakarta dan sekitarnya.

Marco Kartodikromo, salah satu tokoh pergerakan pada saat itu berkisah tentang Misbach:

".. Di Pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memaki kain kepala dari pada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut "Haji".

Apa yang tersirat dari tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme seorang Haji, sekaligus pedagang yang sadar akan penindasan kolonialis Belanda dan tertarik dengan ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada jaman itu.

Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum/vergadering yang dijadikan mimbar pemblejetan kolonialisme dan kapitalisme.Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap.

Pada 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Bulan Juli 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Walaupun bukan yang pertama diasingkan tapi ia-lah orang yang pertama yang sesungguhnya berangkat ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri.

Orang menggambarkan Haji Misbach sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan anak-anak muda penikmat klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang populer. Satu tulisan tentang Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda, Misbach menjadi kawan berbincang yang enak, sementara di tengah pecandu wayang orang Misbach lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang.



"... di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama."

Takashi Shiraisi mengungkapkan perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan Surakarta. Ini dikaitkan dengan persamaan dan perbedaan antara KH Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan, Misbach, seorang muslim ortodoks yang saleh, progresif, dan hidup di Surakarta.

Di Yogya, Muhammadiyah yang lahir pada 1912 di Kauman, segera menjadi sentral kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin Masjid Agung dan ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya. Dahlan sendiri sempat dipercaya menjadi chatib amin. Para penganjur Muhammadiyah umumnya anak-anak pegawai keagamaan. Kala itu birokrat keagamaan umumnya adalah alat negara sehingga, kata Shiraisi, wewenang keagamaannya tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena jabatannya. Meskipun mereka berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa dibandingkan para kiai yang pesantrennya bebas dari negara.

Kendati demikian, reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah. Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan dan menjelaskan maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam, membangunkan keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh misionaris Kristen dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan pemerintah.

Lain dengan di Surakarta. Kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan Muhammadiyah. Ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah Mamba'ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906) dan SI pun sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa, Medan Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain tersalur. Kelompok ini menyebut diri "kaum muda Islam".

Beda pergerakan Islam Surakarta dan Yogya, di Yogya reformis tentu juga modernis, tetapi di Surakarta kaum muda Islam memang modernis tetapi belum tentu reformis. Kegiatan keislaman di Solo banyak dipengaruhi kiai progresif tapi ortodoks, seperti Kiai Arfah dan KH Adnan. Sampai suatu ketika ortodoksi yang cenderung menghindar ijtihad itu terpecah pada 1918.

Perpecahan kelompok Islam di Surakarta dipicu artikel yang dimuat dalam Djawi Hiswara, ditulis Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI. Ketika artikel itu muncul di Surakarta tidak langsung terjadi protes, tetapi Tjokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono. Seruan itu muncul di Oetoesan Hindia, sehingga bangkitlah kaum muda Islam Surakarta.

Tjokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), yang mencuatkan nama Misbach sebagai mubalig vokal. Mengiringi terbentuknya TKNM, lahir perkumpulan tablig reformis bernama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV). Haji Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Segeralah beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium. Komunitas yang dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tiba-tiba menjadi dinamis. Kaum muslimin Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada 24 Februari 1918 yang konon dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto mengirim Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam), dua orang kepercayaannya di TKNM. Waktu itu terhimpun sejumlah dana untuk pengembangan organisasi ini. Muslimin Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya penghinaan terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari "kaum putihan" Surakarta. Belakangan, muncul kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba saja mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi Hiswara setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan bin Semit. Buntutnya, Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Beredar artikel menyerang petinggi TKNM. Muncul statemen seperti "korupsi di TKNM dianggap sudah menodai Nabi dan Islam".

Dalam situasi itu muncul Misbach menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite TKNM dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertama Misbach di media ini, Seroean Kita. Dalam artikel itu Misbach menyajikan gaya penulisan yang khas, yang kata Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran kemudian keluar lagi dari ayat itu. "Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig."

Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda. Menurut Shiraisi, ada dua perbedaan SATV dibanding Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di tengah masyarakat keagamaan Yogya, sedangkan SATV adalah perhimpunan muslimin saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis non muslim. Kedua, militansi para penganjur Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa bekerja di Muhammadiyah berarti hidup menjadi muslim sejati. Sedangkan militansi SATV berasal dari rasa takut untuk melakukan manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Di mata pengikut SATV, muslim mana pun yang perbuatannya mengkhianati kata-katanya berarti muslim gadungan.

SATV menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut mereka bukan Islam sejati, tetapi "Islam lamisan", "kaum terpelajar yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri." Dasar keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideolognya, "membuat agama Islam bergerak". Misbach kondang di tengah muslimin bukan sekadar karena tablignya, melainkan ia menjadi pelaku dari kata-kata keras yang dilontarkannya di berbagai kesempatan. Ia dikenal luas karena perbuatannya "menggerakkan Islam": menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.



"Jangan takut, jangan kawatir"

Misbach sangat antikapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Tak peduli apakah dia juga seorang aktivis organisasi Islam. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah jalan yang akan dilawan dengan gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan, secara tegas dianggapnya berseberangan dengan misi keadilan.

Misbach membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, membebani pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai "suara dari luar dunia petani". Bunyinya, "Jangan takut, jangan kawatir". Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Ekstremitas sikap Misbach membuat ia ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan pertemuan kring (subkelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH), organisasi para bumiputera.

Misbach menegaskan kepada rakyat "jangan takut dihukum, dibuang, digantung", seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis. Misbach mengagumi Karl Marx, dia sempat menulis artikel Islamisme dan Komunisme di pengasingan. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agama pun dirusak oleh kapitalisme sehingga kapitalisme harus dilawan dengan historis materialisme.

Misbach kecewa terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa. Berjuang melawan kapitalisme tak membuat Misbach tidak menegakkan Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama dengan berjuang melawan setan. Misbach pun ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI Merah, memilih ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI), bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta.

Terkait dengan "teror-teror" yang terjadi di Jawa, Misbach tetap dipercaya sebagai otaknya. Misbach ditangkap. Dalam pengusutan sejumlah fakta memberatkannya meskipun belakangan para saksi mengaku memberi kesaksian palsu karena iming-iming bayaran dari Hardjosumarto, orang yang "ditangkap" bersama Misbach. Hardjosumarto sendiri juga mengaku menyebarkan pamflet bergambar palu arit dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom Mangkunegaran.

Namun Misbach tetap tidak dibebaskan. Dia dibuang ke Manokwari, Papua, beserta dengan istri dan tiga anaknya. Selama penahanan di Semarang, tak seorang pun diizinkan menjenguknya. Misbach hanya dibolehkan membaca Al-Qur’an. Di pengasingan, selain mengirim laporan perjalanannya, Misbach juga menyusun artikel berseri "Islamisme dan Komunisme".

Medan Moeslimin kemudian memuat artikel Misbach tersebut,

“…agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.”
Ditengah ganasnya alam di tempat pembuangannya Misbach terserang malaria dan meninggal di pada 24 Mei 1926 dan dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, di samping kuburan istrinya.****

Pelajaran-Pelajaran dari Revolusi (yang gagal) 1968

Pelajaran-Pelajaran dari Revolusi (yang gagal) 1968
Oleh Doug Lorimer

Revolusi Prancis di tahun 1968 dimulai pada bulan Desember 1967 dengan pemogokan delapan sekolah tinggi/lanjutan (setingkat SLTA) untuk mendukung sebuah demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang memotong anggaran jaminan sosial. Aksi tersebut diiukuti oleh sekolah-sekolah lainnya di bulan Januari 1968, mereka (para demonstran), di aksi lanjutan ini, melakukan protes atas dikeluarkannya para aktivis dari sekolah. 
Para siswa yang dikeluarkan adalah anggota dari The Jeunesses Communistes Revolutionnaires (JCR), sebuah organisasi pemuda sosialis revolusioner yang bergabung dengan Internasionale ke Empat. 
JCR, yang mengadakan konferensi yang di hadiri 120 aktivis kampus dan sekolahan di bulan April 1966, adalah sebuah kekuatan politik sentral dalam radikalisasi di kalangan mahasiswa dan pelajar (selanjutnya disebut studen) Prancis. 
Radikalisasi ini dipenuhi dengan membesarnya perasaan tidak puas atas sistem pendidikan yang ada. 
Dalam tahun-tahun setelah Perang Dunia II, ada perkembangan yang cukup mencolok dari mahasiswa yang ada di Universitas-universitas di Prancis: dari 123.000 di tahun 1946 menjadi 514.000 ditahun  1968. Dalam buku Revolusi Prancis 1968 yang diterbitkan di tahun yang sama, jurnalis koran  London Observer Patrick Seale dan Maureen McConville menjelaskan konsekuensi dari hal tersebut: 
“Jumlah tekanan yang besar (the sheer persure of number) menghapuskan segalanya. Dibawah beban, universitas-universitas, dan terutama sekali Sorbonne, mengubah karakter mereka dari klub kecil yang elitis menjadi inefisien, pabrik yang jorok dari pendidikan, dimana semuanya dikorbankan untuk problem kecil yang melibatkan semua orang…”
Ketika kondisi ini menjadi basis untuk pembesaran dari ketidakpuasan, ada sikap oposisi terhadap perang yang dilakukan imperialis untuk melawan revolusi Vietnam, yang mana hal tersebut merubah ketidakpuasan-ketidakpuasan menjadi sebuah radikalisasi yang massif melawan masyarakat borjuis sebagai kesatuan. 
Seale dan McConville memberikan penjelasan yang sangat gamblang atas peranan Gerakan Anti Perang Vietnam dalam perkembangan aktivitas politik para studen. Mereka menulis: 
“Salah satu dari pemandangan yang mengejutkan dari Revolusi Mei adalah ketika para studen meneriakkan slogan: KEKUASAAN ADA DI JALANAN BUKAN DI PARLEMEN! Ini adalah sebuah fenomena yang membuat pemerintahan barat menggigil: ini semua adalah sebuah penolakan atas institusi-institusi politik yang sangat elitis dan nilai-nilai yang di tanamkan oleh orang tua mereka…”
“Dari bulan Desember 1966, serombongan Comites Vietnam lyceens (CVLs) – Komite Sekolah untuk Vietnam--dibentuk di Prancis. Mereka adalah bagian kecil dari kelompok (yang) berselisih dengan organisasi sekolahan  Partai Komunis Prancis (CPF)…karena mereka berpendapat kebijakan CPF atas Vietnam sangat jinak atau moderat sekali…”
Partai Komunis (selanjutnya kita sebut CP), seperti Partai Stalinis lainnya di dunia, berpihak pada sikap “perdamaian”yang abstrak atau negosiasi,  dari pada menyuruh para imperialis untuk minggat dan membiarkan penduduk Vietnam untutk menentukan nasibnya sendiri. 
Seale and McConville menuliskan bahwa CVLs telah diinisiasi dan di gabungkan kedalam Committee Vietnam National (CVN): 
Pada musim gugur tahun 1966, JCR dan sekutu-sekutunya, seperti beberapa “Castrois”, the Parti Socialiste Unifie (PSU), dan sebuah kelompok sayap kiri yang melepaskan diri dari grup sosialis, membentuk sebuah organisasi front Vietnam yang bertujuan untuk mendapatkan opini publik yang lebih besar. Organisasi tersebut bernama Committee Vietnam National (CVN)…beberapa (a litter) komite CVN tumbuh di sekolah dan, meskipun beroposisi dengan kepala sekolah, mereka mampu membuktikan kesuksesan-nya dalam pemobilisasian massa. Karena hal tersebutlah kubu politik sayap kiri memutuskan untuk memobilisasi mereka dalam setiap aksi-aksi politik. 
Dari komite-komite sekolah untuk Vietnam itulah CALs (semacam serikat pelajar radikal)   terbentuk. “CVLs”, dijelaskan oleh Seale dan Mconville, ”menyediakan infrastruktur bagi pembangunan CALs, dari protest mengenai Vietnam menjadi aksi-aksi terhadap persoalan-persoalan yang ada di Prancis secara spesifik”. 
Berikut penjelasan dari proses ini: 
“Serikat Buruh Prancis, UNEF (serikat  mahasiswa nasional) dan serikat pelajar mengadakan aksi mogok pada 13 Desember 1967. Aksi ini dilakukan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang memotong anggaran jaminan sosial. Yang mengejutkan dalam aksi ini adalah bergabungnya hampir separo penduduk kota Paris…Di bulan Januari 1968, Roman Goupil-seorang pelajar yang masih berumur 16 tahun- yang mengorganisir aksi di Lycee Condorcet,  dikeluarkan dari sekolah dengan alasan dia telah menghasut kawan-kawannya agar meninggalkan kelas dan bergabung dalam aksi..para pemimpin dari CVLs berdiskusi melalui telepon dan membahas rencana mereka selanjutnya untuk menyikapi kasus ini.  Mereka memutuskan untuk mengadakan aksi,  ratusan massa berpartisipasi dalam aksi tersebut dan meriakkan yel-yel tuntutan tentang kekebasan dalam berekspresi (Freedom of expression in the lycees), yang tampaknya yel-yel tersebut sangat mudah untuk dipahami seperti yang diyakini oleh para pemimpin komite…”
Tanggal 22 Maret 1968 polisi menangkap lima orang aktivis anti-perang setelah peristiwa pemboman Bank Amerika di Paris. Dan di siang yang sama ratusan mahasiswa menduduki gedung admisnistrasi di Nanterre untuk memprotes penahanan tersebut. Kemudian Dekan merespon itu semua dengan menghentikan semua kegiatan perkuliahan. Semenjak kejadian itu tiada hari tanpa aksi dan demonstrasi di Nanterre. 
Sebuah kampanye untuk memboikot ujian di luncurkan. Tanggal 2 dan 3 Mei direncanakan sebagai “Hari Studi Anti-Imperialis”di Nanterre. Sekali lagi, penguasa kampus mengalami kepanikan dan akhirnya mereka menutp kampus. 
Tanggal 3 Mei, para mahasiswa di Sorbonne dan CALs di beberapa sekolah atas di Paris menyatakan solidaritasnya atas kejadian yang menimpa kawan-kawan mereka di Nanterre. Dan di sore yang sama ratusan mahasiswa dan pelajar yang melakukan demonstrasi harus berlarian untuk menghindari tindakan brutal dari polisi. 
Seale dan McConville menulis: 
“Pertempuran jalanan di 3 Mei, yang mengikuti invasi dari polisi ke Sorbonne, mengakibatkan effek yang sangat hebat bagi orang-orang muda. Kegiatan di kelas-kelas menjadi terhenti karena para pemuda itu ingin mendiskusikan situasi yang sedang terjadi, kemudian mereka mulai menggabungkan diri dengan demonstrasi-demonstrasi yang ada, walaupun banyak juga yang terluka setelah berpartisipasi dalam demo-demo tersebut. Tanggal 10 May CALs mengadakan aksi mogok serentak seharian penuh di Paris. Aksi ini diikuti kurang lebih 8-9 ribu partisipan, mereka berjalan untuk menemui senior mereka yang sudah lebih dulu melakukan aksi besar dan berakhir pada barikade…”
“Setelah Sorbonne diduduki, CALs mengambil alih Grand Amphitheathre untuk rapat umum di 19 Mei. Dan setelah pertemuan tersebut mereka memutuskan untuk mengadakan aksi mogok serentak dan menduduki sekolah-sekolah. Hari selanjutnya gerakan ini diikuti dengan massa yang lebih besar lagi, guru-guru mulai bergabung dan menghabiskan malam-malam mereka bersama-sama dengan para demonstran. Komite-komite juga mengdakan diskusi-diskusi yang  tidak hanya membahas tentang problem sekolah dan kampus saja tapi juga membahas permasalahan-permasalahan politik, dengan topik-topik seperti perjuangan studen di eropa, aturan-aturan kampus di masyarakat, jaringan buruh-studen, dll…”
Hasil yang sama juga didapatkan oleh para pemimpin-pemimpin mempunyai political advanced di kampus selama pendudukan itu.
Tapi sebagaimana Seale dan McConville berkomentar di bukunya:
“Para buruh tidak bergabung dengan aksi protes nasional yang dilakukan oleh studen, meskipun kejadian Mei mempunyai effek yang sangat signifikan bagi ledakan-ledakan studen di Berlin, Roma atau Buemos Aires. Benar-benar situasi yang sangat kontradiktif…dimana para studen memberikan sesuatu yang dicontoh secara cepat oleh kawan-kawan mereka di lain negara, membawa krisis ini ke level yang lebih tinggi. Akan tetapi para pekerja tetap dengan tenang bekerja dan menunci gerbang mereka rapat-rapat…”
Di tanggal 7 Mei, 30.000 menduduki jalan-jalan di kota Paris selama lima jam penuh, menuntut agar kampus dibuka kembali dan para aktivis yang ditahan di bebaskan. 
Sebuah pelajaran bagi massa aksi berhasil dipetik di tanggal 9 Mei di daerah Latin Quarter, daerah sekitar Sorbonne. Ketika itu massa memaksa untuk bertahan sampai besok, jumat 10 Mei, dan kejadian itu menjadi terkenal dengan sebutan malam barikade-barikade (night of barricades) ketika 35.000 demonstran merusak barikade dan terjadi perang batu dengan CRS (polisi anti huru-hara Prancis). 
Sekitar 400 studen masuk rumah sakit. Dan banyak lainnya yang terluka akibat tindakan CRS. Meskipun begitu, para studen tidak kalah. Masyarakat mengecam tindakan brutal polis-yang ditayangkan oleh stasiun televisi- dan mendesak pemerintah untuk memenuhi tuntutan studen. 
Tanggal 11 Mei, para pemimpin buruh dari tiga konfederasi serikat buruh merespon opni publik yang sedang berkembang atas tindakan represif yang dilakukan polisi, dan mereka merencanakan aksi mogok nasional selam 24 jam penuh yang akan diadakan pada hari senin tanggal 13 Mei. 
Di hari itu sekitar satu juta buruh dan studen berjalan menuju kota Paris. Kontingen studen secara eksplisit menyatakan untuk mengakhiri kepemimpinan rezim semi bonarpatis Charles de Gaulle sambil menyanyikan lagu “sepuluh hari sudah cukup”. Bendera Tricolore diturunkan dari gedung-gedung pemerintahan dan diganti dengan bendera MERAH. Akan tetapi aksi di 13 Mei ini tidak direspon lebih lanjut oleh para aristokrat-aristokrat serikat buruh dan mereka pun kecuali perintah untuk membubarkan diri. 
Bagaimanapun, aksi para pekerja tersebut telah membesarkan hati para studen, dan sekita 20-25 ribu buruh bertemu dan memutuskan untuk bergabung dengan para studen dan menguasi Sorbonne. 
Tanggal 14 Mei para pekerja kembali ke pabriknya masing-masing, tapi mereka kembali dengan rasa percaya terhadap kekuatan dari mobilisasi massa. Kejadian ini terutama sekali dialami para buruh-buruh muda, yang banyak dari mereka telah bergabung dalam aksi protes studen mulai tanggal 3-10 dan ikut bertempur bersama studen di malam barikade. 
Secara spontan, para pekerja mulai mengambil alih pabrik. Di 14 Mei para pekerja pabrik SudAviation di Nanterre mengunci manajer di ruang kerjanya dan menyatakan mereka telah mengambil alih pabrik. 
Dihari yang sama, para pekerja pabrik Renault meninggalkan peralatannya dan mendeklarasikan perebutan pabrik. Besoknya mogok menjalar ke dua pabrik Renault l;ainnya dan sorenya pabrik terbesar Renault di Parisian suburban dari Biliancout tidak bisa menjalankan prose produksi karena 30 ribu pekerjanya melakukan aksi mogok. 
Dari kejadian tersebut, aksi mogok terjadi di hampir seluruh daerah di Perancis. Sebagaimana yang dikatakan seorang buruh muda Renault: “Para student memulai kereta berjalan, dan kita berterima kasih. Ketika kita melihat kereta berhenti dan akan mulai berjalan lagi, kami mulai berelompatan unutuk naik”
Dalam waktu seminggu aksi mogok ini telah melibatkan 10 juta dari 15 juta pekerja yang ada di Prancis. 
Perlawanan massa studen berperan sebagai sebuah detonator dalam sebuah pemberontakan massif para pekerja. Tapi sebuah detonator tidak akan bekerja kecuali ada bahan yang berpotensi sebagai bahan peledak. Apakah bahan yang berpotensial sebagai bahan peledak itu? 
Ketika negara-negara industri kapitalis mempunyai pengalaman sedikitnya selama dua dekade dari pemtumbuhan ekonomi yang berlangsung secara pesat, kesenjangan sosialpun semakin lebar. Sebanyak satu juta orang dan hampir separo dari penduduk Prancis yang mempunyai pendapatan, dibayar dengan upah yang sangat rendah yang mana pendapatan tersbut hanya mencapai satu level diatas level subsistensi. 
Selain itu, di 1968 lebih dari satu juta orang tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur, kesemuanya itu memukul perasaan buruh-buruh muda. Di Burgundi, sebagai contoh kecil, 25 % pemuda di bawah usia 25 th menjadi pengangguran. 
Hak berserikat di pabrik-pabrik diabaikan. Satu-satunya jalan untuk mengekspresikan ketidakpuasan adalah melalui aksi-aksi massa. Tahun 1967, di pabrik Renault di Le Mann dan Caen terjadi perang batu dengan polisi selama terjadi pemogokan. 
Sebagaimana diamati oleh Seale dan Mc Convile: “Para pekerja menolak untuk mengadakan negosiasi, dan menggunakan cara-cara yang lebih keras. Ini berarti sebuah upaya pengambilalihan…”
Ketika mengambil metode aksi massa, para pekerja menggerakkan sebuah revolusi sosial yang masih yang mana mereka mempunyai potensi revolusioner yang jernih. 
Ini semua adalah hasil dari fomat-format yang dibikin oleh komite-komite aksi massa yang ada di Paris. Mereka tidak hanya bermunculan di sekolah-sekolah, universitas-universitas, kantor-kantor pemerintahan, asosiasi profesional, dan tempat-tempat kerja, tapi juga di daerah-daerah pemukiman. 
Menurut Seale dan Mc Conville, “Apa yang menjadi gambaran umum mereka…adalah sebuah ide tentang revolusi yang harus kamu lakukan sendiri, tanpa harus meninggalkan yang lainnya. Itu semua adalah keinginan untuk terpimpin dalam aksi-aksi ekstraparlementer”
Gerakan ini mencapai puncaknya di  minggu terakhir di bulan Mei, ketika terdapat sekitar 450 komite yang ada di Paris (belum daerah lainnya). Bagaimanapun, mereka tetap terlokalisir dan hanya kehilangan koordinasi di kota-kota yang mempunyai basis besar. 
Di luar Paris perkembangan yang sama juga terjadi. Yang paliang bagus adalah apa yang terjadi di Nantes, utara Brittany di 23 Mei. Sebuah komite sentrak pemogokan- yang terdiri dari serikat buruh, petani dan studen-mengadakan aksi di balai kota, dan mendeklarasikan dirinya sebagai penguaa baru kota praja tersebut. 
Dan di gedung-gedung sentral pemerintahan, terutama di kota Paris, sudah ditinggalkan oleh para penghuninya, hanya ada para penjaga pintu dan polisi yang kekuatannya sangat kecil. 
Atas perkembangan ini, Sean dan Mc Conville menulis: “Pemogokan yang terjadi di Nantes berubah dari yang awalnya sebuah aksi protes menjadi aksi revolusi. Disana muncul embrio-embrio pengganti institusi tua masyarakat borjuis, yang mana itu semua diparalelkan dengan aksi mogok…”
Selama seminggu, dari 24-30 Mei, pemerintahan De Gaulle mengalami kegoncangan yang cukup hebat. Akan tetai sayangnya CP dan pemimpin-pemimpin serikat buruh menolak untuk melakukan penggantian-atau sebuah insureksi-pemerintahan. 
Dan yang lebih parah lagi, ketika 10 juta pekerja sedang menjalankan aksi mogok, para aristokrat-aristokrat serikat buruh ini menolak rancangan diadakannnya sebuah aksi mogok nasional.Mereka membatasi diri hanya pada tuntutan ekonomis seperti kenaikan upah, jam kerja yang lebih pendek, dll. Bahkan mereka bekerja sama dengan rezim De Gaulle dengan mengatakan studen-studen yang radikal sebagai provokator. 
Di 29 Mei, CP dan pemimpin federasi serikat buruh (CGT) membuat aksi sejuta massa di jalan-jalan kota Paris dimana, untuk pertama kalinya, pemimpin-pemimpin Stalinis mengikuti slogan-slogan politik yang ada. Mereka juga berada di barisan yang sama dengan para demonstran yang menuntut sebuah Pemerintahan Rakyat. 
Dan di saat-saat terakhir, para bangsawan-bangsawan CGT itu memerintahkan massa untuk membubarkan diri. Tidak ada lagi rally, tidak ada lagi speakers… 
Malam itu De Gaulle berkonsultasi dengan para jendralnya. Sebuah rencana telah berhasil disusun, dan para tentara yang paling loyal kepadanya telah di mobilisasi. Markas besar oprasi militer mengambil tempat di Verdun. Besoknya pada pukul 04.30 pm, muncul di televisi dengan mengabarkan bahwa pertemuan nasional yang terjadi tidak berhasil menghasilkan solusi dan menawarkan pemilu untuk memilih anggota parlemen di tanggal 23 Juni. 
Melihat hal itu, birokrat-birokrat CP menerima dengan antusias tawaran dari De Gaulle. Seminggu sebelum pemilihan,mereka (CP) berlomba-lomba dengan kubu Gaullis dan dengan yakin mengatakan bahwa merekalah penguasa baru Prancis. Seminggu setelah pidato De Gaulle, para pekerja mencapai kata sepakat dengan para bangsawan serikat buruh. Dan pada pemilu, para pendukung De Gaulle meningkatkan support mereka terhadap pimpinannya. 
Dari pertengahan Mei sampai pertengahan jni 1968, Prancis di cengkeram oleh pemberontakan buruh yang hebat di dalam sejarahnya, tapi sayangnya semua itu harus di akhiri dengan pemilu yang malah memperkuat Partai-partai yang berkuasa, Banyak orang-orang kiri revolusioner menjuluki CPF sebagai pengkhianat. Tapi bagaimana sebenarnya birokrat-birokrat CPF bisa melakuakan pengkhianatan dan dari 10 juta massa yang ada hanya sedikit yang mengambil sikap oposisi? 
Inilah pelajaran yang berharga dari Mei-Juni 1968. Ketika kelas pekerja Prancis ambil bagian dalam aksi, dimana (peranan kelas pekerja itu) menjadi sebuah potensi dinamis revolusioner bagi mereka (kelas pekerja), tapi mayoritas kelas pekerja Prancis tidak mampu secara cepat untuk melewati batasan antara tuntutan-tuntutan mendesak yang bersifat ekonomis dan perubahan masyarakat secara radikal. 
Ada kesenjangan kesadaran revolusiner di antara mayoritas kelas pekerja, dan mampu dimanfaatkan oleh bangsawan-bangsawan serikat buruh reformis untuk di giring ke ilusi pemilu parlementer. 
Revolusi-dalam skala dan militansi yang hebat- sebagai mana di ekspresikan oleh Lenin di tahun 1902 dalam pamplet Apa yang harus dikerjakan: ”Sejarah semua negeri menunjukkan bahwa kelas pekerja, dengan kemampuan yang mereka miliki, mampu untuk mengembangkan kesadaran serikat buruh…”
Kesadaran sosialis revolusioner, sebagaimana ditekankan oleh Lenin, hanya dapat dipasokkan  ke kelas pekerja  dari luar, ketika terjadi perlawanan spontan  antara kelas pekerja dengan pemerintah, melalui ideologi yang membaja dan kerja-kerja organisasi dari sebuah Partai Marxis Revolusioner. 
Kekuatan marxis revolusioner Prancis di Mei-Juni 1968 hanya berjumlah sekitar 300-400 orang. Mereka tidak punya kekuatan untuk menantang hegemoni ideologis yang dilakukuan para  pemimpin buruh reformis. 
Daniel Bensaid, dulunya adalah salah seorang pimpinan JCR dan sekarang menjadi anggota pimpinan dari Ligue Communiste Revolutionnare, juga mengungkapkan hal yang sama. Dia mengatakan:
“Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa itu (kejadian di Mei-Juni’68) adalah aksi mogok besar terakhir di abad ke sembilan belas ini. Tapi mungkin juga menjadi aksi mogok besar pertama di abad ke-21. Kita tidak tahu dan itu semua tergantung pada apa yang kita lakukan saat ini…”
“…kelas pekerja telah di format sedemikian rupa selama bertahun-tahun oleh kemakmuran dan expansi dari welfarestate, seperti hak-hak yang demokratis. Tahun 1968 bukanlah sebuah krisis revolusiner seperti di 1920an, 1930an..”
 “Ya, memang terdapat sebuah gerakan yang mendalam dari kelas pekerja yang mampu mengguncang borjuasi, tapi tidak terdapat faktor subyektif, tidak ada kepemimpinan revolusioner yang mengakar di kelas pekerja. Kekuatan dari birokrasi membuat kita harus melakukan sesuatu dengan tingkat kesadaran mayoritas massa kelas pekerja. Kita dapat melihatnya sekarang lebih baik..”
Sebagaiman disimpulkan oleh Bensaid, ”Ada sebuah usaha untuk mendepolitisasi interpretasi atas kejadian  tahun 1968. Kita harus mempertahankan makna politis yang sebenarnya dan dinamisasi di tahun 1968, tidak hanya merayakannya tapi juga harus mampu memberikan arti yang politis..”
Bagi kita sekarang, itu semua berarti melakukan rededikasi diri kita untuk memperkuat kekuatan revolusioner yang sadar di negeri ini agar kita dapat mempersiapkan secara lebih baik transformasi gerakan spontan kelas pekerja, yang mana mampu mengguncang para kapitalis, ke dalam sebuah perlawanan revolusioner untuk kekuasaan kelas pekerja dan sosialisme. 

Demokrasi Kerakyatan

Demokrasi Kerakyatan

Sejarah Singkat Partisipasi Individu dalam Masyarakat

Sebelum kita dapat mendisikusikan tentang sebuah bentuk demokrasi, yang benar-benar memberikan kesempatan untuk semua anggota masyarakat terlibat di dalamnya dan kemudian juga sekaligus menegakkannya, paling tidak kita mencoba memahami bagaimana partisipasi anggota masyarakat berkembang hingga sekarang.
Demokrasi dikatakan Abraham Lincoln: "Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Pernyataan ini memang sangat terbuka, dalam arti orang bisa terjebak dalam perdebatan untuk mengartikan siapa itu rakyat. Ataupun, justru kalimat ini menutupi kenyataan yang sebenarnya. Dalam kenyataannya, pada saat Lincoln mengatakan hal itu, demokrasi tak lebih sebuah klaim atas keseluruhan masyarakat. Sementara Lincoln mempromosikan emansipasi kaum kulit hitam, ia sendiri adalah wakil dari elemen masyarakat yang memiliki kendali atas alat-alat pemenuhan hajat hidup mayoritas rakyat (pabrik-pabrik dan perkebunan). Apakah para budak kulit hitam yang "diemansipasikan" kemudian memiliki kendali atas pabrik-pabrik? Apakah para buruh pada saat itu memiliki hak yang sama dengan para manajer dan pemilik saham dalam menentukan kerja di dalam sebuah pabrik?
Demokrasi bukanlah sebatas dunia politik, tetapi juga harus diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kerja-kerja pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam bekerja, dalam menentukan produksi, dan hal-hal yang selama ini dianggap rutin dan remeh-temeh yang justru sebenarnya adalah penentu keberadaan manusia di dunia ini.

Demokrasi Yunani, Demokrasi Para Pemilik Budak

Demokrasi sering dikaitkan dengan pola pemerintahan dalam Athena, dan polis-polis lainnya di Yunani. Bahkan kata demokrasi inipun dari kata Yunani demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan).
Masyarakat Athena dan polis-polis lainnya adalah masyarakat yang terlibat dalam persaingan-persaingan ekonomi yang kemudian melahirkan konflik-konflik bersenjata. Kenyataan sejarah seperti inilah yang mengkondisikan pembentukan sebuah organisasi masyarakat yang bernama polis itu sendiri, di mana segala persoalan-persoalan publik dibicarakan dalam forum-forum yang melibatkan anggota masyarakat. Bentuk seperti ini akan menjamin tersedianya angkatan perang untuk membela kota mereka ataupun menyerang kota lain.
Pada awalnya, para tuan tanah merupakan penduduk asli daerah tengah perkotaan. Lalu perdagangan telah dibangun, harga-harga tanah melambung tinggi dan para tuan tanah menggunakan posisinya untuk mengontrol pemasaran hasil produksi dan sudah barang pasti mereka menggunakan posisi dominan mereka untuk meminjamkan bibit kepada penduduk-penduduk miskin yang tinggal dipinggiran dan untuk menambah perbudakan.Semua Negara kota di Yunani dan Romawi dijalankan atas dasar dan prinsip yang sama, seluruh penghuni Negara kota (polis dalam bahasa Yunani ) bersatu untuk menghadapi Negara kota lainnya, tapi sebenarnya terbelah didalam dirinya sendiri, dibedakan menjadi dua kaum: antara wargakota dan budak.
Pada awalnya wargakota yang miskin (mereka disebut Plebeian dalam bahasa Romawi ) sama sekali tidak memiliki hak-hak politik. Perjuangan mereka adalah perjuangan politik, perjuangan untuk meraih posisi yang dapat penentu kebijaksanaan di negara-kota mereka. Kemenangan demokrasi tak terelakkan di Athena, hal ini terjadi setelah warga negara kota yang miskin mampu memenangkan perang laut di Salamis melawan orang persia yang ingin merebut kota itu. Meskipun mereka terlalu miskin untuk mempersenjatai diri mereka sendiri, mereka menyediakan pendayung-pendayung yang handal kepada Armada Laut Athena. Sebuah persatuan yang rapuh telah tebentuk antara warga negara yang kaya dan yang miskin melalui ekspansi keluar dan penaklukan budak-budak. Kemudian penduduk yang miskin tidak terlalu tertekan, karena orang-orang kaya memiliki cadangan tenaga kerja.
Tapi Demokrasi Athena –Demokrasi untuk warga kota – berbasiskan pada eksploitasi terhadap kaum-kaum non warga kota: yaitu para budak yang tidak memiliki hak-hak politik. Demokrasi Athena sebenarnya adalah sebuah mekanisme untuk memaksakan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa kepada kaum-kaum yang tertindas dan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa di dalam perang.
Negara berpihak kepada kaum yang berkuasa, struktur masyarakat berdiri di atas kerja kaum budak –semua perkembangan pesat dalam bidang seni, budaya dan filsafat dapat terjadi karena kerja keras budak yang dieksploitasi, hal ini menyebabkan para pemilik budak memiliki banyak waktu untuk istirahat, masyarakat kemudian berkembang.
Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa demokrasi model Yunani, demokrasi bagi minoritas untuk menundukkan mayoritas bukanlah demokrasi yang sejati.

Kekuasaan Tirani

Dalam perkembangan masyarakat manusia, telah berulang kali bagian terbesar masyarakat dipaksa untuk tunduk baik secara kesadaran maupun karena penggunaan alat-alat kekerasan seperti senjata. Tak jarang penggunaan kekerasan sebagai alat pemaksa kehendak dilakukan karena kehendak minoritas masyarakat memang bertentangan dengan kebutuhan mayoritas masyarakat.
Sering kali, ketika kita melihat sebuah tirani kita hanya terfokus pada satu orang diktator, seorang tiran. Namun kenyataan yang terjadi selama berkuasanya sang Tiran tersebut, ia hanyalah perwakilan ataupun penampakan dari sekelompok minoritas yang ingin mendapatkan hak-hak khusus di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat.
Bagi sebagian besar orang Eropa di bawah Imperium Romawi, Julius Caesar adalah seorang tiran. Legiun-legiunnya yang membawa pedang dan tameng merah sangat efektif menaklukkan suku-suku primitif di dataran Eropa Barat. Sistem pajak dan kerja paksa diberlakukan tanpa perlawanan yang berarti. Tapi apakah Julius Caesar bertindak atas kehendaknya sendiri? Dari mana asalnya para legiuner-legiuner, perwira-perwira, dan jendral-jendral pasukan Romawi yang tak terkalahkan itu? Sangat jelas, mereka adalah orang-orang yang dibiayai ataupun memang berasal dari keluarga-keluarga tuan tanah di Roma. Caesar berkuasa atas dukungan Senat, sebuah badan permusyawaratan kaum patricia (tuan-tuan tanah dan pemilik budak) Romawi. Tanpa perluasan teritorial yang kemudian menghasilkan pajak dan budak, mustahil Romawi dapat berkembang. Dan para patricia pemilik colonate (perkebunan besar) pun akan kesulitan memperkaya diri karena mereka akan selalu membutuhkan budak-budak untuk mengerjakan colonate mereka.
Gubernur-gubernur jendral Hindia Belanda juga memiliki latar belakang yang sama. Di tanah jajahan mereka adalah tiran, yang menggunakan bala tentara untuk menaklukan perlawanan-perlawanan reaksioner dan sia-sia para bangsawan Jawa dan untuk memastikan rakyat jajahan membayar pajak tanah dan pajak kepala. Tetapi siapakah pendukung mereka sebenarnya di tanah jajahan, apakah para prajurit “londo” dan setengah “londo”? Jelas bukan, mereka adalah justru orang-orang yang dipaksa secara ekonomi menjadi prajurit di tanah air mereka. Pendukung kebijakan-kebijakan para gubernur jendral adalah para pemilik (perampas tanah) perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik baik di tanah jajahan ataupun negara induk mereka. Gubernur Jendral Hindia Belanda adalah wakil dari minoritas masyarakat Belanda, para bangsawan dan pemilik modal.
Ketika Soeharto berkuasa, apakah Soeharto sendirian dalam merebut kepresidenan dari Soekarno? Jangan lupakan peranan Nasution dan jendral-jendral lainnya yang merebut kursi kepemimpinan MPRS! Jangan lupakan “jasa” para komandan-komandan wilayah militer yang melancarkan jalan Soeharto dengan membantai ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI serta memenjarakan jutaan lainnya!
Apakah tidak adanya tiran-tiran ini lalu masyarakatnya menjadi demokratis? Jangan lupa, mereka adalah penampakkan nyata dari minoritas masyarakat yang menginginkan hak-hak khusus dan kekayaan pribadi. Seorang tiran dapat muncul dan pergi, dapat diganti-ganti, tapi ketika ada minoritas masyarakat yang ingin memaksakan kehendak mereka dengan kemudian menindas mayoritas masyarakat, maka tidak dapat negara itu dikatakan demokratis. Kekuasaan tirani adalah wujud kasar kekuasaan minoritas di atas mayoritas.

Kritik atas Demokrasi Liberal dan Demokrasi Indonesia Sekarang

Ketika kita mendengar kata demokrasi, sebagian besar kita akan menghubungkannya dengan pemilu dan parlemen. Dan ini juga tampaknya menjadi kesadaran mayoritas rakyat, bahwa demokrasi hanyalah ada di pemilu dan parlemen. Bahwa mereka boleh berdemokrasi hanya di pemilu dan parlemen. Tak heran setiap kali pemilu di Indonesia selama 32 tahun represi rejim Soeharto, maka gegap gempita rakyat menyambutnya. Saat itulah rakyat bisa ikut campur ke dalam DPR melalui partai-partai yang bisa menawarkan janji perbaikan hidup. Terlepas dari adanya maksud-maksud dalam pendanaan kemeriahan tersebut, gegap gempita rakyat Indonesia menghadapi pemilu bukanlah sesuatu yang berdasar hanya pada bayaran. Lebih jauh daripada itu, itulah ekspresi kebebasan mereka setelah dalam kehidupan normal mereka selalu diwarnai oleh represi militeristik dari institusi-institusi militer dan sipil pendukung Orde Baru.

Namun ketika kita pertanyakan: Apakah Rejim Orde Baru demokratis? Tentu saja jawabannya tidak. Dari pengalaman Indonesia, kitapun sudah tahu bahwa adanya pemilu dan parlementer bukanlah jaminan tegaknya demokrasi. Seorang demokrat liberal akan berteriak, “Tapi itu karena adanya Orde Baru!”

Kenyataan Lemahnya Kontrol Rakyat

Setelah Soeharto tumbang oleh desakan modal dan masyarakat,  pada 7 Juni 1999 diadakan Pemilu multipartai pertama semenjak penggabungan partai-partai di 1970an. Tak kurang 100 partai politik berdiri, mendaftar sebagai kontestan pemilu. Hanya 48 partai yang lolos kualifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kampanye, partai-partai lama berhasil melakukan penggalangan-penggalangan massa, menebar janji-janji, dan membagi-bagi uang untuk membeli suara rakyat. Rakyat Indonesia begitu percaya bahwa partai-partai besar ini akan memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan rakyat.
Setelah Pemilu, masuklah masa persidangan MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, plus remeh temeh kenegaraan lainnya. Namun inilah yang membuktikan bahwa parlemen dan pemilu bukanlah sarana demokrasi untuk rakyat. Di sinilah bukti bahwa wakil-wakil “rakyat” di parlemen akan selalu memiliki kemungkinan untuk berkhianat kepada massa pendukungnya. Dan Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan 2000 dan sidang-sidang DPR terbukti bukanlah sidang untuk kepentingan rakyat. Sidang-sidang itu adalah sidang-sidang untuk membicarakan kepentingan kaum penguasa dan mengeluarkan produk hukum untuk membela kaum penguasa dan memaksakan kehendak minoritas kepada mayoritas.
Dan jika kita melihat negara-negara yang mengedepankan liberalisme, hal yang berbeda secara teknik namun sama pada intinya juga terjadi. Kebijakan-kebijakan peperangan yang menghabiskan pajak untuk persenjataan bukan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat justru terjadi pada negara-negara liberal. Dan justru kebijakan-kebijakan tersebut disahkan oleh lembaga perwakilan rakyat mereka.
Akan tetapi memang tak aneh jika parlemen hanya memperhatikan kaum yang berkuasa secara ekonomi dan politik. Asal-usul parlemen di Eropa adalah sidang para pembayar pajak. “Tak ada pajak tanpa perwakilan!” teriak para bangsawan Inggris yang perlahan telah berubah menjadi kaum merkantilis (pedagang). Dipimpin Oliver Crommwell, mereka memenggal Raja Charles I, mendirikan Republik Inggris, dan di dalamnya sebuah sistem parlemen yang anggotanya adalah para tuan tanah dan pedagang kaya. Hal yang sama terjadi di revolusi Perancis, meski dengan intervensi rakyat pekerja yang lebih besar. Anggota Konvensi (parlemen hasil revolusi) hanyalah kaum intelektual, pengusaha, dan tuan tanah baru. Tidak ada para hamba dan petani penggarap, yang sebenarnya menjadi motor utama revolusi tersebut. Dan bentuk dan isi parlemen seperti ini masih dipergunakan di seluruh negara yang mengusung nama demokrasi.
Dengan bentuk seperti ini, parlemen apapun yang akan dipilih oleh pemilu sebersih-bersihnya, pastilah hanya akan membela kaum penguasa ekonomi dan politik, pastilah hanya mementingkan minoritas di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat. Artinya, kontrol rakyat terhadap berjalannya negara sangatlah lemah.

Pemerintah dan Masyarakat

Ketika desakan untuk terlibat dalam politik dari kaum pekerja Eropa terhadap para penguasa negeri-negeri mereka semakin mendekati garis revolusi, hak untuk ikut memilih wakil dalam parlemen, membentuk partai-partai politik, dan berorganisasi diberikan. Ilusi yang ingin dibuat adalah rakyat berperan dalam penentuan kebijakan negara. Bahkan dalam abad 20 ini, seorang buruh ataupun petanipun dapat masuk ke dalam parlemen. Partai-partai buruh diperbolehkan untuk ikut pemilu dan masuk parlemen. Lalu apakah kemudian ini sudah demokratis?
Contoh Indonesia dapat menjelaskan hubungan pemilu, parlemen, dan pemerintah. Tanggal 20 Oktober 1999, Gus Dur resmi menjadi kepala pemerintahan. Di parlemen, kursi-kursi mulai didominasi oleh kaum reformis, baik yang asli ataupun yang gadungan. Namun, apakah negara Indonesia saat ini akan tunduk kepada mayoritas rakyatnya? Meskipun rakyat kemudian bisa masuk ke dalam parlemen, selama birokrasi yang ada tidak dibubarkan maka kekuasaan rakyat menjadi dagelan populisme belaka. Kabinet di masa tahun 1950an datang dan berganti, anggota parlemen bisa diubah-ubah oleh pemilu, tapi apakah kepolisian, angkatan bersenjata, kehakiman, kejaksaan, departemen-departemen, dan pemda-pemda menjadi demokratis dan tunduk pada kontrol masyarakat? Jawabannya jelas tidak. Mereka memang diisolasikan dari awal dari pengaruh pemilu dan intervensi konstitusional masyarakat lainnya. Kalaupun ada demokratisasi di birokrasi seperti pemilihan kepala desa, kepala desa tersebut haruslah tunduk kepada camat dan bupati yang semuanya dididik oleh pendidikan birokrat dan selalu menjadi birokrat, pelaksana negara yang tidak dikontrol langsung oleh masyarakat yang ia perintah.
Ketika kita amati metode rekrutmen pegawai negeri, contohnya, kita lihat untuk menjadi pegawai yunior dalam sebuah kementrian, harus melalui sebuah ujian. Aturan ini tampaknya sangat demokratik. Tetapi, tidak semua orang dapat mengikuti ujian apapun untuk tingkat manapun. Ujian untuk menjadi pegawai yunior sebuah biro kecil pemerintahan tidak sama dengan ujian untuk posisi sekretaris jendral sebuah kementrian atau kepala staf tentara. Selintas, ini juga kelihatan normal-normal saja.
Tapi, sebuah tapi yang besar, ujian-ujian ini memiliki tingkat-tingkat yang memberikan ujian-ujian tersebut sifat selektif. Anda harus punya gelar tertentu, anda harus sudah mengambil kursus-kursus tertentu, untuk dapat mengambil posisi-posisi tertentu, khususnya posisi-posisi penting. Sistem seperti itu akan menyisihkan sejumlah  besar orang yang tidak dapat mengikuti pendidikan tinggi ataupun setingkatnya, karena kesempatan yang sama untuk pendidikan sebenarnya tidak ada. Kalaupun ujian pegawai negeri terlihat demokratis di permukaan, ia juga sebuah instrumen yang selektif yang hanya akan menerima orang-orang yang tunduk kepada penguasa atau berasal dari kaum penguasa itu sendiri.
Setelah kita lihat awal dan hasil dari parlemen dan pemilu, dapatlah terlihat dengan nyata di hadapan kita: Tak satupun negara demokrasi liberal ataupun liberal malu-malu seperti Indonesia yang demokratis, tunduk kepada kehendak mayoritas masyarakat. Negara-negara tersebut justru kemudian menjadi alat pemaksa kehendak minoritas terhadap mayoritas.

Penindasan oleh Si Kuat atas Si Lemah

Kita tidak dapat berbicara demokrasi hanya sebatas untuk urusan politik belaka, urusan menentukan kebijakan negara saja. Namun kita harus jauh lebih dalam, ke dalam keseharian kehidupan masyarakat kita. Tidak demokratisnya demokrasi liberal, bukan terletak hanya sebatas pada parlemen, tetapi justru terletak di pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, rumah-rumah, pasar-pasar, keluarga-keluarga dalam masyarakat kita.
Kehidupan sehari-hari masyarakat adalah perjuangan anggota-anggota masyarakat sebagai sebuah kesatuan dalam memperoleh kebutuhan sehari-harinya. Artinya, dasar adanya masyarakat adalah pemenuhan ekonomi, dengan kata lain urusan perut. Tetapi ini tidak sesempit urusan perut belaka, justru hubungan-hubungan yang terjadi antar manusia dalam memenuhi urusan perut itulah yang mendirikan masyarakat.
Tidak demokratisnya masyarakat, penindasan minoritas terhadap mayoritas, justru terlihat di dalam pabrik-pabrik, kantor-kantor, pasar-pasar, dan tempat-tempat mencari nafkah lainnya. Di dalam sebuah perusahaan, yang menentukan saat bekerja, saat istirahat, saat berlibur, perencanaan produksi, perencanaan penjualan, dan yang paling penting pembagian upah, adalah pemilik perusahaan yang pada prinsipnya tidak melibatkan partisipasi kaum buruh. Kalaupun ada pelibatan, biasanya berupa konsesi (sogokan kecil dan sementara) ketika posisi sosial dan politik kaum buruh sedang menguat, misalnya dalam keadaan gelombang pemogokkan besar-besaran. Namun begitu posisi buruh melemah, maka para pimpinan perusahaan (tentu saja mereka adalah para pemilik modal) langsung mencabut konsesi tersebut dan mengkonsumsi seluruh keuntungan yang diperoleh perusahaan. Padahal, seluruh keuntungan itu tak akan ada tanpa adanya kerja kaum buruh.

 

Demokrasi Kerakyatan

Lalu demokrasi seperti apakah yang akan membawa manusia ke dalam kemakmuran dan kesejahteraan bersama? Seperti apakah demokrasi yang benar-benar manusiawi?
Pertama, demokrasi baru ini haruslah menjadi jawaban atas segala pertentangan-pertentangan yang ada di dalam masyarakat yang ada. Ia harus menjadi alat keseluruhan masyarakat untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat, bukan hanya untuk segelintir minoritas masyarakat. Ia harus tidak lagi memisahkan pemenuhan kebutuhan masyarakat (ekonomi) dengan pengaturan dalam masyarakat itu sendiri (politik) dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri (sosial). Tidak ada lagi pemisahan antara negara dan masyarakat, artinya tidak ada anggota masyarakat yang terus menerus kerjanya hanya menjadi aparat negara (tentara dan birokrat), akan tetapi semua anggota masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan negara dan berkesempatan yang sama serta bergiliran dalam menjalankan fungsi-fungsi aparat negara.
Kedua, demokrasi ini haruslah menjadi perwujudan kehendak sejati mayoritas anggota masyarakat (secara ekonomi, sosial, dan politik), didasarkan atas kesetaraan posisi dan kerja tiap anggota masyarakat (tidak ada lagi penghargaan berlebihan terhadap kerja mental dan kerja manual, tetapi menghargai usaha, kemampuan, dan kebutuhan tiap individu), dan haruslah melahirkan sebuah hubungan antar manusia yang bekerja sama saling menguntungkan sebagai satu kesatuan (kolektif).
Ketiga, segala hasil keputusan bersama, hasil dari proses demokrasi itu sendiri, harus secara disiplin dijalankan oleh semua anggota masyarakat. Minoritas yang tidak sepakat dengan keputusan tersebut boleh tetap beradu argumen dengan mayoritas lainnya, tetapi mereka harus dengan disiplin dan tanggung jawab menjalankan keputusan yang mereka tentang itu. Perbedaan pendapat yang mereka lakukan boleh mereka propagandakan sebagai bahan pembicaraan dalam proses pengambilan keputusan berikutnya.
Singkat kata, demokrasi jenis baru ini adalah demokrasi yang benar-benar melibatkan seluruh anggota masyarakat secara utuh dan nyata (tidak hanya di atas proklamasi-proklamasi yang indah-indah), yang benar-benar proses keseharian dalam hidup seluruh anggota masyarakat, dan direncanakan sekaligus dijalankan dengan kedisiplinan oleh seluruh rakyat. Karenanya dapat dikatakan sebagai Demokrasi Kerakyatan.

Partisipasi Semua Individu

Dalam mewujudkan dirinya, demokrasi kerakyatan harus dijalankan dengan prinsip partisipasi aktif setiap individu. Siapapun yang ingin memastikan terjadinya demokrasi kerakyatan harus memastikan adanya kesempatan dan kemauan untuk setiap individu berpartisipasi aktif. Karenanya, negara yang melandaskan dirinya kepada demokrasi kerakyatan haruslah memiliki ciri sebagai berikut.
Pertama, tidak memisahkan dengan jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Lembaga-lembaga yang dibutuhkan adalah yang dapat membuat hukum sekaligus menegakkannya. Singkatnya, masyarakat di setiap tempat kehidupan mereka harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus menjalankan kerja politik dan ekonomi. Ini sangat penting, sebagai jalan terbaik untuk mengurangi sebanyak mungkin ruang-ruang kosong antara kekuasaan nyata, yang semakin terkonsentrasi pada lembaga permanen (kepolisian, pemerintahan daerah, dan sebagainya), dengan kekuasaan fiktif yang tersisa pada dewan-dewan (parlemen). Kekosongan ini adalah ciri dari demokrasi liberal. Tidak akan cukup hanya mengganti musyawarah semu dengan musyawarah yang lain, jika tidak satupun yang berubah mengenai kekuasaan kosong ini. Dewan-dewan ini haruslah memiliki kekuasaan eksekutif
Kedua, jabatan-jabatan publik harus dipilih langsung, sampai tingkat setinggi-tingginya. Tidak hanya anggota dari dewan yang dipilih. Hakim, pejabat tinggi, perwira milisi, pengawas pendidikan, manajer pekerjaan umum, harus juga dipilih. Tentu saja akan sangat mengejutkan untuk negara seperti Indonesia. Tapi pada negara demokrasi liberal tertentu, AS, Swiss, Kanada, ataupun Australia, telah memakai pemilihan langsung pada sejumlah peran-peran publik. Di AS, serif dipilih oleh sesama warganya. Dalam demokrasi kerakyatan, pemilihan pejabat publik harus juga dibarengi dengan hak untuk menarik kembali pada semua kasus, misalnya menurunkan pejabat yang tidak memuaskan setiap saat.
Lalu, kendali permanen dan ketat atas penjalanan peran-peran negara harus dilakukan, dan pemisahan antara yang menjalankan kekuasaan negara dan masyarakat yang diatasnamakan dalam kekuasaan tersebut, dibuat sekecil mungkin. Itulah sebabnya diperlukan kepastian pergantian secara konstan dari pejabat terpilih, untuk mencegah orang memegang jabatan secara permanen. Penjalanan peran negara, dalam skala luas, harus dilakukan secara bergantian oleh warga secara keseluruhan.

Lenyapnya Diskriminasi dan Penghargaan Atas Kesetaraan Antar Manusia

Untuk menjamin dirinya tak lagi membiarkan penindasan yang kuat terhadap yang lemah, dalam menjalankan prosesnya demokrasi kerakyatan harus menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ide-ide diskriminatif yang didasarkan kelamin, suku bangsa, ataupun cacat tubuh. Untuk itu, sebagai tahap pertama, negara harus melindungi kaum-kaum yang selama ini didiskriminasi oleh sistem penindasan yang ada. Dan ide-ide rasis, seksis, dan yang merendahkan orang-orang cacat harus dilarang.
Kedua, kesetaraan juga harus terjadi dalam proses penjalanan fungsi negara. Tidak ada gaji yang sangat tinggi. Tak satupun pejabat, anggota dewan perwakilan dan legislatif, individu yang menjalankan sebuah kekuasaan negara, menerima pendapatan yang lebih tinggi dari pendapatan pekerja terlatih. Inilah satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mencegah orang dari mencari jabatan sebagai cara untuk memperkaya diri dan menghisap dari masyarakat, dan tentunya satu-satunya cara untuk menyingkirkan pemburu karir dan parasit yang ada pada mesyarakat sebelumnya.
Kesetaraan yang dimaksud di sini bukanlah yang hanya diakui oleh hukum saja, tetapi didorong oleh fasilitas-fasilitas negara. Untuk menjamin arah kesetaraan ini, negara harus memprioritaskan kebijakan-kebijakannya kepada penyediaan lapangan pekerjaan bagi seluruh anggota masyarakat, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumsi minimum, dan penyediaan fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dapur bersama, transportasi massal, binatu swalayan, penitipan bayi, dan tempat-tempat rekreasi di setiap wilayah tinggal yang dibangun dan kemudian dikelola bersama oleh masyarakat di wilayah tersebut. Dan yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan pangan dan pendidikan.
Ketika kebutuhan pangannya terpenuhi, tak seorangpun akan terpaksa menjajakan tenaganya kepada orang lain dan kesempatan untuk membeli tenaga (mempekerjakan) orang lain akan relatif kecil. Namun ini juga harus diikuti dengan kewajiban setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dengan adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, maka tiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dan kerjanya di dalam masyarakat. Salah satu alat diskriminasi saat ini adalah pendidikan yang telah diperoleh seseorang. Kesempatan yang sama dalam pendidikan juga akan membuat ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi dimonopoli oleh sebagian kecil masyarakat, tetapi menjadi milik masyarakat dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.

Mayoritas Di Atas Minoritas

Hal yang paling prinsip dalam menjalankan Demokrasi Kerakyatan adalah tetap menjaga demokrasi sebagai alat kepentingan seluruh anggota masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat. Memang sulit untuk mencapai kesepakatan untuk semua orang, namun perwujudan yang paling logis dari seluruh masyarakat adalah bagian mayoritas dari masyarakat tersebut. Inilah alasan kenapa kaum penguasa selalu menggunakan penipuan-penipuan seperti parlemen dan pemilu, untuk membuat seolah-olah keputusan yang diambil dalam parlemen adalah kehendak mayoritas masyarakat. Contohnya, ketika dalam pengaturan upah kita dapat lihat bahwa dengan mata telanjang kebutuhan mayoritas rakyat (kaum buruh) disetarakan dengan kerakusan para pemilik modal dalam negosiasi-negosiasi tertutup di dalam gedung parlemen.
Sifat kerakyatan adalah sifat yang berorientasi kepada mayoritas rakyat. Jadi dalam demokrasi kerakyatan, keputusan diambil berdasarkan kehendak dan kebutuhan mayoritas dan ini secara nyata. Bukan sebatas pengambilan suara saja, tetapi proses diskusi, perdebatan, dan akhirnya penalaran haruslah diadakan di permusyawaratan rakyat terkecil. Bentuk-bentuk pemilihan umum dan parlemen seperti sekarang (sebatas pengambilan suara) adalah penghambat dari kekuasaan mayoritas rakyat, karena justru menjebak mayoritas ke dalam perintah-perintah minoritas.
Namun, demi menjamin kesalahan seperti itu, kebebasan  pendapat dan berekspresi harus dijamin, selama kebebasan tersebut tidak dimanfaatkan untuk menipu dan menindas mayoritas rakyat ataupun menghancurkan kekuasaan mayoritas. Tentu saja pelarangan tersebut dan pengadilan terhadap pelanggarannya juga harus melalui permusyawaratan-permusyawaratan rakyat.

Kesadaran Masyarakat Baru, Kepentingan Bersama Di Atas Kepentingan Pribadi

Setiap anggota masyarakat saat ini bertindak dan berpikir secara individual, hanya tentang diri mereka sendiri dan sebatas untuk diri mereka sendiri. Ini disebabkan oleh kerja-kerja mereka dapat dilakukan secara individu dan ketegangan yang sangat tinggi dari persaingan untuk bertahan hidup. Konflik-konflik sosial yang horisontal selalu terjadi antara dua kepentingan individual yang berbeda. Tapi harus dipahami juga, bahwa mayoritas masyarakat masih sebenarnya bekerja dalam sebuah kekolektifan, yang sudah jauh lebih modern dari kolektivitas “gotong royong”. Di dalam pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan telah terbukti bahwa kerja-kerja dalam group (“teamwork”) baik dalam unit-unit yang kecil maupun unit-unit yang besar mampu mendongkrak produktivitas. Tetapi mereka masih direpresi dan dikecoh oleh ideologi-ideologi usang dan kolot seperti demi kepentingan bangsa, kesatuan dan persatuan, kebajikan relijius, dan beban-beban parasit masyarakat seperti hubungan keluarga tradisional pedesaan.

Namun, inilah landasan berdirinya Demokrasi Kerakyatan: Kolektivisme untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Dari mulai urusan pembersihan lingkungan sampai penyediaan taman kanak-kanak, dari kerja-kerja di dalam pabrik-pabrik sampai berhubungan dengan dunia internasional.

Kolektivisme membuat semua orang menyerahkan segala kemampuan mereka untuk masyarakat dan mendapatkan segala kebutuhan mereka dari masyarakat. Demi kemajuan masyarakat, anggota-anggota masyarakat harus menyumbangkan kerja-kerja sukarela yang diarahkan oleh negara untuk membangun fasilitas-fasilitas umum yang akan mereka gunakan dan kelola bersama. Kerja-kerja sukarela inilah yang nantinya merubah masyarakat dan memperdalam kolektivisme tadi, sehingga posisi kepentingan bersama di atas kepentingan individu bukan sekadar slogan tetapi juga kenyataan dan kesadaran masyarakat.


Dewan Rakyat, pewujud Demokrasi Kerakyatan

Kita telah bicara tentang bermacam-macam bentuk demokrasi, tentang perubahan masyarakat, dan tentang demokrasi kerakyatan. Tapi bagaimana mewujudkannya? Apa alatnya? Apakah kita bisa memakai struktur negara yang ada sekarang?
Untuk menjawabnya kita harus membuka kepala kita, singkirkan semua pemahaman-pemahaman kolot dan kuno tentang masyarakat dan negara, lihatlah kenyataan di sekitar kita yang selalu diwarnai oleh penderitaan dan pemaksaan kehendak, dan pikirkan logika yang ditawarkan oleh demokrasi kerakyatan.
Pertama, perubahan bentuk demokrasi ini membutuhkan sebuah pengorganisasian masyarakat, terutama bagian mayoritas yang selalu dipaksa oleh minoritas penguasa negara dan modal.
Kedua, perubahan bentuk demokrasi ini adalah perubahan yang revolusioner sekaligus evolusioner. Pada saat awal pertumbuhannya, proses pendidikannya kepada massa rakyat, dan pengorganisasiannya akan berkembang secara evolusioner dalam pertambahan jumlah massa aktif, terdidik dan terorganisasi. Namun di saat-saat tertentu ia akan berlipat ganda seperti jamur di musim hujan, dan dengan segera, bahkan terkesan dengan sangat mendadak, menjadi kekuatan yang dapat menjadi alat mayoritas rakyat untuk mewujudkan demokrasi sesejati-sejatinya.

Perwakilan dan Partisipasi

Kenyataan saat ini di mana jumlah anggota masyarakat luar biasa besar, ratusan juta, membuat sulit untuk melibatkan semuanya langsung dalam proses permusyawaratan. Sama dengan demokrasi liberal, demokrasi kerakyatan juga menggunakan perwakilan untuk permusyawaratan yang akan menentukan hajat sebuah masyarakat. Namun perwakilan ini tidak boleh mengalahkan prinsip partisipasi penuh dan aktif setiap anggota masyarakat dalam mengatur dan mengarahkan kerja-kerja pemenuhan kebutuhan masyarakat. Di dalam Demokrasi Kerakyatan, permusyawaratan terkecil adalah fondasinya. Permusyawaratan terkecil adalah wujud dari demokrasi langsung, dimana partisipasi aktif setiap anggota masyarakat terfasilitasi. Ini berbeda dengan konsep perwakilan demokrasi liberal di mana demokrasi langsung lebih bermakna pemilihan dan pemungutan suara tanpa permusyawaratan yang sebenarnya.
Para wakil-wakil rakyat dalam Demokrasi Kerakyatan adalah orang-orang yang bertanggung jawab kepada massa di bawahnya, sehingga bila ia tidak dapat menjalankan amanat yang diberikan oleh yang memilihnya, ia bisa setiap saat digantikan oleh masyarakat yang memilihnya.
Wakil-wakil masyarakat inilah yang menjalankan fungsi-fungsi negara, terutama dalam mengkoordinasikan anggota-anggota masyarakat lainnya dalam kerja-kerja sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh anggota masyarakat secara kolektif, yaitu kesamaan kebutuhan-kebutuhan secara individu.
Pengorganisasian masyarakat yang menggunakan permusyawaratan langsung dan permusyawaratan perwakilan inilah adalah wujud negara dan masyarakat yang kembali dipersatukan, keduanya menjadi tidak berbeda dengan jelas. Negara adalah masyarakat dan masyarakat adalah negara. Dan organisasi para pelaksana fungsi-fungsi negara ini sesuai dengan konsep perwakilannya kita namakan saja Dewan Rakyat.
Dewan Rakyat adalah bentuk negara yang lahir dari masyarakat yang ada sekarang. Ia harus dibangun di dalam masyarakat sekarang dan ditegakkan oleh mayoritas masyarakat. Dalam tahap-tahap awal perkembangannya, ia harus dibentuk dari komite-komite aksi rakyat yang menginginkan perubahan, ia harus bisa memasukkan massa yang lebih luas, dan ia bergerak sebagai alat perjuangan mayoritas rakyat untuk mendirikan kedaulatan mereka, kedaulatan rakyat yang sejati.

Kekuasaan Legislatif sekaligus Eksekutif

Jaminan kedua atas sifat-sifat kerakyatan dan tetap berjalannya fungsi-fungsi koordinasi masyarakat adalah digabungnya fungsi eksekutif dan legislatif dalam Dewan Rakyat. Sekali lagi, masyarakat di setiap tempat kehidupan mereka harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus menjalankan kerja politik dan ekonomi.
Dalam setiap periode tertentu masyarakat mengadakan permusyawaratan, baik yang langsung di setiap tempat (lokal) kehidupan masyarakat ataupun yang perwakilan untuk mengkoordinasikan lokal-lokal dan regional-regional yang ada, untuk mengevaluasi kerja-kerja dan keadaan obyektif yang telah terjadi untuk kemudian merumuskan program kerja masyarakat ke depan: kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi, fasilitas apa saja yang harus dibangun, dan bagaimana keduanya harus dijalankan.
Setelah perencanaan masyarakat ini tuntas, maka ia harus dijalankan oleh setiap anggota masyarakat dengan pengawasan orang-orang yang dipilih, para wakil-wakil masyarakat, untuk menjamin dijalankannya rencana bersama tersebut dengan dengan ketepatan dan kedisiplinan. Tanpa adanya pengawasan sangat wajar jika orang lupa menjalankan tugas-tugasnya sehingga program-program bersama kemudian justru terbengkalai dan masyarakat juga yang merugi.

***

Dewan Rakyat dan Demokrasi Kerakyatan adalah satu hal yang tak dapat dipisahkan, seperti tak bisa dipisahkannya teori dan praktek dalam kehidupan sehari-hari kita. Adalah tugas kaum demokrat radikal untuk mengorganisasikan massa rakyat untuk membangun dewan rakyat dan sekaligus mewujudkan demokrasi sejati, demokrasi kerakyatan