Studi kita tentang teori Marxis akan dimulai dengan pengamatan terhadap filsafat Marxisme, yaitu materialisme dialektis. Kita harus mulai dari filsafat karena filsafat memberikan landasan bagi pemahaman kita tentang ekonomi politik, strategi politik dan masalah teoretis lain yang kita hadapi dalam pergerakan. Filsafat memberikan cara pandang dan metode untuk menelaah semua persoalan yang dihadapi oleh pergerakan. Materialisme dialektis juga memberikan jangkar ilmiah yang kokoh tempat berpijaknya aktivitas kita dalam pergerakan.
Untuk memulai pembahasan ini kita harus menjawab pertanyaan: Apa itu filsafat? Secara singkat filsafat dapat dikatakan sebagai teori umum tentang kenyataan. FIlsafat meliputi penelahaan terhadap berbagai hal mendasar seperti hubungan antara berpikir dan keadaan (thinking and being); bagaimana segala sesuatu berubah dan berkembang; apakah ada kehidupan lain setelah tubuh mati atau tidak; dan sebagainya. Singkatnya, filsafat mengamati semua masalah yang berurusan dengan alam, masyarakat dan pikiran. Karena itulah filsafat menjadi titik tolak yang sangat baik untuk studi kita.Pengetahuan kita tentang ekonomi politik yang sudah dimiliki kini bisa diperiksa kembali landasan filsafatnya, apakah sudah berpijak pada cara pikir yang konsisten dan tepat atau belum.
Selama perjalanan sejarah manusia, sudah tak terhitung jumlah filsuf di dunia. Mulai dari pemikir-pemikir dalam masyarakat Yunani seperti Aristotle, Plato, Socrates dan seterusnya sampai pada pemikir-pemikir modern seperti John Stewart Mill dan Bertrand Russell. Dalam studi ini, kita tidak akan mengulas semua pikiran yang pernah dijabarkan manusia selama hidupnya, juga tidak sebagian dari mereka seperti yang lazimnya dilakukan oleh studi-studi filsafat. Titik berangkat kita adalah filsafat Marxis yang merupakan ungkapan filsafat yang paling maju dalam sejarah manusia.
Atas dasar apa kita bisa mengatakan bahwa Marxisme adalah ungkapan filsafat tertinggi yang pernah dibuat manusia? Pertama, karena akar dari materialisme dialektis ada pada proletariat, dan dengan karena itu, filsafat tsb juga menjadi cara pandang dunianya. Proletariat tidak berkepentingan untuk memisahkan masyarakat dalam kelas-kelas atau mempertahankan pemisahan yang sudah ada. Proletariat senantiasa berusaha memahami dunia dari sudut yang obyektif dan ilmiah. Semua aliran filsafat terdahulu terikat pada pandangan subyektif yang berusaha mempertahankan struktur kelas yang eksploitatif, tentunya demi keuntungan kelas penguasa. Filsafat Marxis-Leninis adalah filsafat pertama yang secara utuh dan lengkap bersandar pada kelas yang tidak punya kepentingan menindas dan dengan begitu mewakili cara pandang obyektif dan revolusioner di dunia. Kenyataan bahwa Marxisme-Leninisme terang-terangan merupakan pandangan yang membela tujuan dari kelas buruh sama sekali tidak bertentangan dengan asasnya yang obyektif dan ilmiah. Justru karena filsafat ini bersandar pada kelas buruh, maka ia dapat memberikan pandangan ilmiah terhadap kenyataan.
Marx dan Engels suatu saat mencatat: "Sama halnya seperti filsafat menemukan senjata materialnya di dalam proletariat, maka proletariat menemukan senjata spiritual mereka dalam filsafat." (Marx dan Engels, dikutip dalam _Handbook of Philosophy,_ disunting oleh Howard Selsam, Proletarian Publisher, 1949.) Namun, "senjata spiritual" yang disebut Marx di sini sama sekali bukan berarti "kepercayaan" atau optimisme berlebihan. Filsafat di sini justru berfungsi sebagai alat intelektual -- khususnya cara pandang yang revolusioner dan ilmiah -- yang sangat penting untuk menjalankan tugas dan strategi di dalam pergerakan.
Tentu saja, kebutuhan untuk memahami filsafat Marxis semakin terasa saat ini jika dibandingkan sekitar seratus tahun lalu. Rumitnya perkembangan internasional dengan situasi pertentangan kelasnya, dan juga perbedaan-perbedaan di kalangan revolusioner sendiri, makin mendesakkan kebutuhan akan adanya pemahaman yang seragam terhadap filsafat Marxis. Sayangnya, banyak orang yang menamakan dirinya revolusioner meniadakan kebutuhan ini, filsafat sering diabaikan dan diremehkan dalam gerakan revolusioner yang luas. Kebanyakan orang menyingkirkan persoalan filsafat ini karena dianggap kebutuhan akan jawaban-jawaban terhadap persoalan langsung dan kongkret itu jauh lebih penting. Pendekatan pragmatis seperti ini telah meniadakan atau mengecilkan arti dari filsafat Marxis sebagai alat yang bersifat ideologis.*
(Seri bacaan PRD Kodya YK) 3/2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar